Chapter 17. Sister

20.2K 2.7K 739
                                    

Spam komen pleeeease 😘😘😘😘

***

"In the cookies of life, sister is the choco chips."

Waktu aku pulang kerja Senin petang, Adam masih belum tiba di rumah. Mbak Karmi menyambutku dan langsung membuatkanku teh manis karena wajahku tampak pucat. Aku letih sekali, jiwa dan raga. Kalau mamaku masih hidup, dia pasti akan bilang; sekarang kamu tahu rasanya, India. Dulu aku juga pembangkang, terlebih setelah ayah nggak ada. Aku sering sekali meninggikan nada bicaraku, apapun yang diperbuat mama selalu salah di mataku. Aku sama sekali nggak nyangka, karma itu pahit banget rasanya.

Bel rumah berdentang beberapa saat setelah pembantu rumah tangga kami pamit pulang. Aku berjalan cepat ke pintu, tahu pasti itu bukan Adam karena dia bawa kunci, tapi tetap saja berharap. Ternyata Bastian. Senyumnya mengembang canggung saat melihatku membuka pintu, aku mempersilakannya masuk.

"Kamu harus mulai belajar mengatakan apa yang ada di benakmu dengan jujur, India," katanya saat duduk, dia tampak kecewa sehingga tak berbasa-basi. "Aku tahu kita jalan tanpa kesepakatan apa-apa, tapi rasanya agak kejam kalau semua panggilan dan pesanku kamu abaikan."

"Aku minta maaf, Bas, aku lagi banyak pikiran," kataku dengan nada memohon.

Bastian menggeleng samar sebelum bertanya lembut, ia seolah membelaiku dengan suaranya, "Apa ada yang salah denganku kemarin?"

Seandainya saja aku bisa membagi perhatianku dari memikirkan Adam, aku bisa pura-pura baik-baik saja dan merespons ketulusan Bastian. Namun, aku juga tahu bagaimana hubungan yang sedang dimulai bekerja, tak akan mungkin cukup hanya dengan sekali dua kali respons, sementara aku sedang tak bisa menyabangkan pikiran. Kenyataannya, mungkin memang aku tak terlalu tertarik pada Bastian, meskipun aku sama sekali tak membencinya. Aku senang bersamanya, tapi belum bisa menjadikannya prioritas yang bisa menyisihkan beban pikiranku.

"India ...."

"Sama sekali enggak," responsku cepat gara-gara kaget, meski suara selembut itu seharusnya tak mampu mengejutkan siapapun.

"Maksudku ... kalau memang kamu nggak suka kuganggu, kamu boleh bilang terus terang. Aku akan paham—"

Aku memotong, "Ini bukan soal kamu."

"Aku tahu ini bukan soal aku," katanya, kemudian lambat-lambat ia membasahi dan menggigit bibirnya. "Dan itu makin bikin aku kecil hati, sebenarnya. Paling nggak enak lho, habis keluar sama seseorang dan semuanya baik-baik saja ... lalu nggak ada tanggapan sama sekali darinya. Masih mending kalau kemarin kamu ketus ...."

Aku makin gusar.

"Siapa? Adam?" terkanya.

Aku bahkan tak ingin bertanya dari mana Bastian mendapat gagasan. Secara refleks aku menghapus sesuatu yang tak ada di bawah mataku hingga Bastian memajukan badannya memeriksa, mengira aku menangis. Aku tersenyum dan menggeleng, "Aku cuma capek."

"Gara-gara mikirin Adam?"

"Mungkin harusnya aku udah nggak terlalu ngatur-ngatur dia, ya?"

"Iya," Bastian mengangguk cepat. "Aku juga punya adik yang jaraknya agak jauh, sekakaknya Adam lah, jadi aku tahu. Ada fase-nya mereka kayak gitu. Sabar aja. Awasin, tapi jangan terlalu keras. Kita juga pernah muda, kan? Kita pasti pernah ada dalam stage serupa. Mungkin saja... nggak seekstrem anak lain, tapi itu kan yang kita ingat, beda sama yang orang lain ingat."

Sesudah Bastian mengakhiri uraian panjang lebarnya, aku langsung mengangguk setuju. Bukan karena benar-benar sepaham, tapi lebih karena aku nggak ingin ia mengatakan sesuatu yang sudah kutahu. Pada saat-saat begini, aku tak ingin mendengarnya, sebab selama ini memang kupikir begitu, sampai kejadian kemarin.

My Younger BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang