Spam komen yaaa....
Lama kan kalau nggak seribu komen update-nya.
I know it's reposted, but come on baca lagi. Doain proses penerbitannya lancar.***
Kupikir, Adam akan marah. Ternyata tidak. Aku sudah bertekad tak menghiraukannya karena ini urusanku, semakin aku mempertimbangkan perasaannya, semakin hubungan kami akan tak jelas batasannya.
Aku yang berniat bangun agak siang karena lelah, terkejut mendapatinya duduk di tepi tempat tidurku dengan sikap teramat manis. Aku berpikir cepat. Oh, kulihat rambutnya sudah basah dan rapi. Apa gerangan alasan yang membuatnya pergi mandi tanpa dikejar-kejar hari libur begini? Bandung. Benar sekali. Bandung. Aku kembali memejam, sengaja berguling memunggunginya.
"Kaaak ...," rengeknya.
Kalau begini saja dia panggil kakak. Coba kalau tetap kularang, dia pasti mengamuk dan bersikap kurang ajar. Aku pura-pura nggak mendengar dan malah membunyikan napas. Adam tahu aku nggak tidur, dia mendecapkan lidah, diam sebentar.
"Kalau nggak bangun, aku tetap pergi, kok," katanya. Mataku membuka, menatap tembok putih di hadapanku. "Bedanya mungkin aku ngambil uang kakak di dompet tanpa izin ..."—aku masih tetap tak merespons—"atau minjem Dimas, kalau nggak dikasih ya ngamen ..., kalau terpaksa bobol ATM ...."
Aku mendengkus mendengar ancamannya.
"Kakak nggak benar-benar ngelarang aku pergi gara-gara nggak ada guru yang ngawasin, kan? Aku sudah cukup gede untuk bepergian atas inisiatifku sendiri, aku ke sini mau minta duit, bukan minta izin," katanya berani.
"Kalau aku nggak ngasih?" sambarku geregetan setengah mati.
"Ya nggak apa-apa, tapi jangan salahin aku kalau aku nggak pulang—" Adam mengaduh karena aku berbalik secepat kilat dan mencubitnya.
"Semalam kupanggil kenapa diem aja?" tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.
Adam menggerakkan bahu kasar sambil menggosok bekas cubitanku.
"Kirain marah, terus misal pergi pun ... nggak mau minta uang ...," ujarku.
"Jadi maunya gitu?" tanyanya dengan nada menantang. Aku tak menjawab, kunaikkan selimut hingga dada sebelum bangkit duduk. Adam membantuku mengambil karet rajut yang biasa kupakai mengikat rambut di meja rias. Ia diam saja mengamatiku merapikan rambut, dan masih tak berkata-kata setelah aku selesai. Aku memanggil namanya, baru ia mengerjapkan mata dan bertanya, "Kenapa aku harus marah?"
"Semalam kamu kupanggil kenapa diem aja?" kuulang pertanyaanku.
"Oh. Udah ngantuk," celetuknya ketus.
Jadi dia benar-benar nggak berniat membahas, padahal sebelumnya sempat melarangku pergi dengan Bastian? Atau dia hanya menahan diri karena takut aku nggak akan mengizinkannya pergi kalau dia ngajak ribut? Kulihat Adam memainkan ujung seprai yang mencuat dengan acuh tak acuh. Mungkin dia memang nggak peduli.
"Aku harus sampai ke rumah Dimas jam sepuluh," katanya membuyarkan lamunanku. "Mau ngasih uang saku enggak?"
"Aku belum bilang kamu boleh pergi, lho, Dam. Aku masih cemas kalau kalian pergi tanpa pengawas—"
Adam mengesah. "Ya ampun ... kita semua tuh udah gede dan ini tuh cuma mau ke Bandung. Triana aja seminggu sekali pulang ke Bandung, sendirian, sampai di sana kami langsung dijemput papinya dan dibawa ke vila. Udah. Setelah itu kami nggak kemana-mana. Besok sore pulang. Kalau mau ada apa-apa, ada apa-apa-nya belum sempet ngapa-ngapain juga kami udah sampe rumah lagi, Kak!"
"Bisa aja kamu kalau belum kejadian!" gerutuku sebal meski barusan nyaris ketawa. "Kalau udah kejadian, ada apa-apa, aku juga yang repot, kan? Kamu tuh—"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Younger Brother
Fiksi UmumPada hari di mana sebuah kecelakaan maut menghabisi nyawa ibunya, India baru berusia 18 tahun. Penyesalan terbesar India Maheswari adalah tak segera membiarkan mendiang ibunya bahagia dengan sang kekasih setelah ayahnya lebih dulu meninggalkan merek...