Chapter 14. Sampai Kapan?

19.2K 2.9K 792
                                    

Aku langsung update part 15 kalau spam komennya bisa sampai seribu 😝

Mau baca POV Adam?
Baca author note-ku di bawah, ya.

***

"Bastian juga nggak kalah oke," Tante Lydia membisik.

Aku yang menerima telepon sambil menyetting muka dengan bedak tipis-tipis berhenti mendadak secara refleks.

"Okean Bastian malah kalau sama Satrio," imbuh Tante Lydia seolah belum cukup bikin aku syok.

Aku nggak bilang apa-apa lho, mau pergi ke mana, sama siapa. "Kok tante tahu?"

"Mamanya Bastian yang bilang, dia nggak cerita, sih. Dia curiga denger Bas ngobrol di telepon sama siapa, adiknya yang menduga-duga. Jadi bener?"

Yah aku nggak bisa mengelak, tapi enggan mengakuinya. Tante Lydia akan berpikir ini kelanjutan dari usahanya menjodohkan kami, dia akan minta di-update setiap kali ada kemajuan. Tentu saja, dia nggak akan mau mendengar ada kemunduran.

"India ... kamu nggak berniat ngasih tahu Tante?"

"Cuma keluar makan malam kok, Tan, nggak ada yang serius," aku mengelak.

"Ada yang serius juga malah bagus, kalau kamu segera menikah, tante yakin tante dan bude yang lain akan segera melupakan insiden kemarin. Menikah, punya keluarga sendiri, jadi kalaupun kamu masih jagain Adam—meski lebih bagus kalau dia mulai mandiri—ada yang jagain kamu...."—hening—"India ... tante udah bilang, kan, nggak ada untungnya mutus tali silaturahmi. Kamu nggak akan tahu kapan kamu akan membutuhkan mereka...."

"Ya, Tante ...."

Diam-diam, aku merasa nggak ada gunanya juga berbaikan dengan Tante Lydia kalau mereka masih beranggapan begitu. Memang sebenarnya bukan beliau sasaran kemarahanku, tapi paling tidak kupikir itu membuka mata mereka bahwa seharusnya aku lebih dipercaya dalam menentukan pilihan dan menjalani hidupku sendiri, ternyata mereka memang hanya sekelompok orang-orang tua congkak yang butuh dimintai maaf dan dituruti keinginannya.

Aku menghadap ke cermin setelah pembicaraan kami usai. Kalau dipikir-pikir ... usiaku memang sudah hampir 30 tahun ..., nggak usah diingetin terus, aku juga ingin punya pendamping. Wajah Bastian berkelebat di benak, tapi yang muncul di samping pantulan wajahku justru Adam.

Aku menjerit.

Adam menutup telinganya.

"Ngapain kamu masuk ke sini? Kan sudah kubilang, ketuk pintu dulu!"

"Aku ketuk-ketuk pintu, kakak nggak nyaut. Kalau lagi nggak pake baju pasti pintunya dikunci, kan?"

Tetap saja kupukul lengannya karena masih kesal dan kaget. "Ya ampun, Dam ... mau apa, sih?"

"Mau minta uang sedikit buat jajan," katanya, lalu memantul di atas permukaan kasur. "Kasurku tuh udah agak sempit tau, Kak."

Aku mengambil dompet di atas meja rias. "Iya, aku juga mikir gitu, nanti kita beli lagi besok, ya? Kamu mau ke mana malam ini?"

"Jalan, ini kan malam minggu. Kamu juga mau pergi, kan?" Adam menadahkan tangannya. "Tapi entar dulu, deh, jangan beli kasur dulu. Belum tentu aku masih lama tinggal di sini."

Uang di tangan yang siap kuletakkan di telapak tangannya mengambang di udara.

"Aku belum mastiin mau kuliah di mana," ucapnya, menyabet sejumlah rupiah di tanganku. Adam membalas tatapanku, "Besok mau kubicarakan sama yang lain, enaknya mau kuliah di mana. Kalau kami jadinya ngampus di tempat yang sama, rencananya mau ngontrak bareng."

My Younger BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang