Chapter 19. Sekutu

16K 3.3K 1K
                                    

Spam komen lagiiiii

***

"Aku pergi dulu, ya, An," pamitku saat Anie kembali dari ruang HRD.

"Nggak makan dulu, In? Udah jam makan siang, lho, ini."

Tanpa menunda kegiatan membereskan meja, aku menggeleng. Izin meninggalkan pekerjaan lebih awalku sudah disetujui, aku harus bergegas, atau akan terlambat. Besok pekerjaanku pasti makin menumpuk habis kutinggalkan seharian, mustahil izin dua kali dalam seminggu.

"Aku jarang lihat kamu makan akhir-akhir ini." Anie terlihat cemas, ia duduk dan mengambil kotak makan siang dari tasnya. Kubikel kami bersebelahan, dia seorang ibu muda yang manis dan baik, sering mengingatkanku supaya menjaga kesehatan.

"Thanks," ucapku, menerima sepotong risol yang dibuatnya sendiri.

"Makan," katanya. "Aku nggak tahu apa masalahmu, tapi kalau kamu sakit ... masalah itu makin nggak selesai-selesai. Mukamu udah pucat, lho."

Kugigit sepotong besar risol sampai memenuhi mulutku dan membuat Anie tertawa melihatnya. Aku berpamitan sekali lagi sebelum pergi. Susah payah kuhabiskan potongan risol yang sebenarnya lezat itu, dan diam-diam kusimpan sisanya karena aku tak sanggup menghabiskannya dalam keadaan seperti ini. Aku memang harus makan, beberapa hari terakhir aku kesulitan menelan makanan, tapi itu tidak mengherankan. Lambung dan otakku selalu sinkron, ia tak mau bekerja kalau otakku sedang kalut. Setiap menghadapi masa sulit yang membuatku stres, aku pasti langsung kena maag. Sekarang ini badanku sudah tak karuan rasanya, hanya karena aku sibuk berpikir, aku belum tumbang.

Kuparkir mobilku di seberang gerbang sekolah, berjejer di antara mobil-mobil lain yang menunggu anak sekolah pulang. Sudah seminggu Adam tidak kembali, hari ini anak kelas 12 masuk lagi. Tak seorang kawan Adam pun yang mau memberitahu keberadaannya, meski aku hanya tahu sangat sedikit dari mereka. Dia tidak menjawab telepon, atau membalas pesanku, bahkan panggilan dari nomor yang kupinjam dari teman kantor yang tak dikenalnya pun tak ia tanggapi. Ia benar-benar serius ingin mengujiku. Dia sudah siap apapun jawabanku. Menurutku itu sungguh kejam, aku tak diberinya pilihan. Dia tak mengizinkanku mencintainya sebagai kakak seperti selama ini, egois sekali. Dia hanya tampak dewasa, tapi di balik itu ia hanya remaja biasa yang tak malu-malu mengancam untuk mendapatkan keinginannya.

Yang membuatku takjub adalah keyakinannya akan perasaanku, dari mana ia menarik kesimpulan bahwa aku merasakan hal yang sama?

Bilang padaku, kamu nggak merasakannya.

Aku bergidik setiap kali mengingatnya.

Pandangan kosongku kembali tertuju ke arah jendela, gerbang masih sepi. Mataku pedas dan ngantuk karena lapar dan kurang tidur. Aku berusaha tetap terjaga supaya tidak terlewat bila bel sekolah berdentang. Sesekali, aku memejamkan mata, menelisik kembali kenangan kebersamaan kami sebelum rasa malu menyergap dan membakar darah di kepalaku hingga wajahku merah padam.

Rasa bibir Adam seperti tak mau pergi.

Rasa rinduku bercampur aduk dengan perasaan takut dan malu yang teramat sangat. Setiap kali aku memandangi tubuhku di cermin, aku merasakan ada tatapan lain mengintaiku, turut menelanjangiku. Aku tak pernah merasa sendiri, seolah setiap sudut rumah itu mengawasiku. Batinku nelangsa, sepi bagaikan siap menghabisiku.

Saat Adam tak ada lagi di rumah, jejak-jejak kehadiran seseorang yang menandakan bahwa aku tak sendiri dan selama ini kuanggap bagian dari rumah kami memunculkan diri. Mug biru kesayangannya, sandal rumahnya yang selalu berceceran, juga remote control yang terselip di sandaran sofa dan sempat kugerutui seakan-akan Adam ada di sana.

My Younger BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang