Chapter 15. Kancing Baju

20.7K 3.1K 582
                                    

Yah nggak bisa seribu sih komennya.
Lama-lamain aja la 😝
Mau 1k komen ya biar langsung update. Kalau nggak 1k komen, aku update 5 hari lagi 🥰

***

"In... kamu nggak apa-apa?"

Aku terkesiap, tapi langsung bisa menguasai diri. "Oh nggak apa-apa, aku dengerin kamu, kok."

Bastian menatapku curiga, tapi bibirnya tetap tersenyum manis. "Kirain kamu ngelamun," katanya. "Kayaknya lagi ada pikiran, ya?"

Aku juga nggak tahu kenapa aku nggak bisa menikmati kebersamaanku dengan Bastian meskipun dia super-menyenangkan. Kami hanya jalan-jalan, nonton, kemudian mengakhirinya dengan duduk-duduk di kafe adiknya sambil menikmati live music. Sesekali, Bastian menjelaskan bagian-bagian kafe yang sedang direnovasi. Sedikitpun tidak membosankan, malah obrolan kami terasa tidak dipaksakan. Kami bertukar pikiran tentang hal-hal tak penting, tanpa beban seperti hubungan kami sebelumnya. Namun, aku selalu saja tiba-tiba melamun. Kalau tak kosong, pikiranku melayang ke—siapa lagi kalau bukan—Adam.

Kalau hanya sikapnya yang buruk, aku sudah biasa menghadapi. Hanya saja ... ah, mungkin hanya perasaanku saja. Atau jangan-jangan anggapan semua orang mengenai hubungan kami sudah mulai memengaruhiku? Entah mengapa, aku terus-menerus berusaha menjaga perasaannya, padahal seharusnya aku tak perlu melakukannya. Seperti tadi saat Bastian menjemput, aku sengaja menahannya sampai Adam pergi duluan. Sampai habis alasanku, Bastian yang tak sabar akhirnya bilang mau menunggu kalau aku belum siap. Begitu Bastian tiba dan aku menemuinya, Adam keluar kamar dan melihat kami berbincang sebelum pergi. Ia seperti sengaja memberitahu bahwa ia tak senang, tersenyum pun tidak saat Bastian menyapa.

Seharusnya aku mengabaikannya, kenapa aku terlalu memikirkan pendapatnya? Kalau aku menganggapnya adikku, aku tak punya alasan memedulikan suka atau tidak suka dia pada pasangan kencanku. Kurasa tidak ada kakak perempuan yang peduli pada pendapat adik laki-lakinya berkaitan dengan kehidupan cinta mereka, kan?

"Kamu lelah?" tanya Bastian lembut. "Mau kuantar pulang?"

"Tapi band temanmu belum naik, kan?" Sejak tadi Bastian bercerita tentang band indie kawannya yang sedang naik daun dan akan tampil malam ini. Dia agak memaksaku supaya aku mau ke kafe, akhirnya aku mau meskipun ragu, takutnya Adam dan kawan-kawannya ke sini. Lagi-lagi aku khawatir dia tak senang melihatku bersama Bastian.

"Belum, sih," jawab Bastian. "Aku takut kamu nggak nyaman."

Alisku mengumpul di tengah, aku merasa nyaman-nyaman aja, kok. Tapi, mungkinkah orang yang lagi nyaman di sisi orang lain beberapa kali tertangkap melamun dan mendesah? Mungkin Tante Lydia benar, aku sudah terlalu lama sendirian.

"I am okay," kataku meyakinkan.

"Oke kalau gitu, mau pesan minuman lagi?"

Secara otomatis, bola mataku melirik gelas minuman yang masih penuh sambil mengulum senyum.

Pipi Bastian merona, "Aku benar-benar kuwalahan," katanya.

"Kuwalahan? Kenapa?"

Dengan berani dan tanpa aba-aba, Bastian menyelipkan jemarinya dalam jemariku, aku terlalu kaget untuk menolak. "Aku harus gimana supaya kamu terkesan?"

Mataku mengerjap, belum habis kagetku karena jemariku disentuh tanpa kuizinkan, Bastian sudah melancarkan serangan kedua yang membuat debar jantungku terlewat satu detakan. Bukannya marah, aku hanya tak menyangka. Siapa yang punya jawaban untuk pertanyaan semacam itu tentang dirinya sendiri?

Bastian sepertinya tahu kesulitanku. Pertanyaannya menjadi lebih mudah kucerna, "Kupikir setelah kemarin kita berbincang-bincang, kamu akan lebih terbuka, apa masih ada yang mengganggu pikiranmu?"

My Younger BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang