Chapter 25. Hard to Say

22.1K 2.9K 868
                                    

Good morning ❤️
Hari ini almarhumah Mamaku ultah.
I wish she were here. I miss her.

Anyway... Spam komen yang banyak yaaaa!

***

Aku nggak bisa konsentrasi bekerja.

Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang Adam selalu merasa rendah diri di hadapan Bastian. Seperti yang sebelumnya setelah ia berpikir melihatku bermesraan dengan Bastian di teras dan tidak marah tapi kemudian pergi dari rumah, semalam dia tidak membahas mengenai Bastian sama sekali. Kami hanya berbasa-basi sebentar sambil minum segelas air sebelum masuk kamar masing-masing dan tidur. Paginya dia sudah selesai sarapan saat aku turun, Dimas datang menjemput sehingga aku tak punya kesempatan untuk bertanya lebih lanjut. Mengerikan sekali kalau dia sudah menahan diri begitu. Semakin ia tak marah, semakin aku kepikiran. Lagi pula, kenapa Dimas mampir untuk berangkat bersama segala? Bukannya semalam Bastian bilang dia mau bolos? Aku tak mampu mengusir itu dari benakku dan tak tahan menghubungi Bastian untuk menanyakannya, aku khawatir kalau-kalau mereka menyusun strategi.

"Oh iya, Dimas ditelepon mamanya dan disuruh pulang nggak lama setelah kalian pergi. Kayaknya dia udah keseringan kelayapan," terang Bastian waktu aku nanya, suaranya masih terdengar berat dan mengantuk.

"Ada apa?" tanyanya.

"Tadi pagi dia ke rumah jemput Adam," jawabku. "Apa menurutmu mereka merencanakan sesuatu?"

Aku mendengar Bastian mendengung seperti lebah. "Seperti apa?"

Seperti pergi dari rumah sekali lagi karena kamu bertingkah seperti kekasihku di hadapannya semalam?

"Seperti membolos," ujarku alih-alih.

"Halah, biarkan saja kalaupun mereka membolos, mereka sudah ujian, kan? Sekolah harusnya udah meliburkan mereka, mereka cuma disuruh masuk supaya nggak berkeliaran seperti pengangguran"—jeda—"Yah, meskipun itu berarti mungkin mereka sedang berkeliaran seperti pengangguran."

Aku tersenyum sendiri mendengar Bastian versi linglung mengoceh. "Kamu kurang tidur, ya?" tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

"Aku baru tidur dua jam lalu," Bastian menguap.

"Oh, maaf, ya? Apa event-nya sudah selesai?"

"Sudah, tinggal stand makanan di luarnya yang masih bertahan. Kalau event pet show dia cuman ikut sehari, kasian anjing-anjingnya dia bilang. Aku bisa tidur dengan tenang sampai kamu pulang kantor nanti sore, mau kujemput jam berapa?"

"Eh?"

"Kok 'eh'? Kan kamu bilang mau nebus yang kemarin, mumpung kamu yang nelepon. Biar nggak kesannya akuuu melulu yang telepon. Kalau HP-ku disadap, orang bisa mikir aku ngejar-ngejar kamu kayak psycho."

Tawaku meledak tertahan mengingat aku masih di kantor.

"Nah gitu dong ketawa," ucap Bastian pelan dengan suara merdu, membuat tawaku berhenti seketika. "Aku senang sekali kalau kamu ketawa, udah cantik jadi makin cantik. Aku mau lihat senyummu lagi malam ini, kalau enggak ... aku ke kantormu sekarang cuma mau lihat kamu senyum, lalu pulang. Gimana?"

"Apa?"—lagi-lagi aku tertawa—"Gombal banget, sih, Bas?"

"Aku sebenarnya ngantuk, tapi senyummu sepadan lah buatku ngambil risiko mengemudi sambil ngantuk-ngantuk."

Aku membuat suara menyerupai bunyi kentut dengan menggetarkan dua belah bibirku.

"Aku senang kamu nelepon," Bastian mengubah suaranya seperti saat merayu, diimbuhi efek tarikan napas panjang yang diembuskan tanpa suara.

My Younger BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang