AMBIVALEN 4

86 25 2
                                    

Asya berjalan menuju kamar mamahnya, ia mengetuk pintu tetapi tidak ada yang menggubris dari dalam ruangan.

"Mah, mama are you okay?" Tanyanya sedikit meninggikan suara.

Tak ada jawaban dari dalam, ia tau mamahnya ada di dalam sana, akan tetapi tidak mau membukakan pintu untuk Asya.

"Mamah kalau gak buka pintu, Asya nekat dobrak pintunya." Tak ada balasan sama sekali.

"Mah are you okay?" Air mata mulai membendung di pelupuk mata Asya, ia tau mamahnya tidak baik-baik saja.

"Hmm Mamah baik-baik aja," jawab Mamah Asya dari dalam kamar.

Tapi Asya tau mamahnya bohong, di dengar dari suaranya saja sudah sangat jelas bahwa ada kesedihan mendalam yang di alami mamahnya.

Asya berusaha berfikir agar mamahnya mau bercerita dengannya walau tidak saling menatap satu sama lain.

"Mah, Asya mau cerita sama Mamah, buka pintunya." Sama sekali tidak ada pergerakan dari Mamahnya untuk membukakan pintu untuknya.

"Baiklah, Mamah gak mau liatin muka Mamah ke Asya kan? Okay fine. Mamah nyender ke pintu begitupun dengan Asya, okay."

"Pergilah Asya, gak usah urusin Mamah," jawab mamahnya dengan sedikit terisak.

Asya tidak mau mendengar ucapan mamahnya, ia tetap menyenderkan tubuhnya ke pintu, dan membuat kepalanya menunduk di atas lipatan lengannya.

Tau mamahnya juga duduk di balik pintu itu, ia mulai bercerita semua yang memang ingin ia ceritakan.

"Mamah nangis kan? Asya tau kok," gumamnya.

Di depan ayahnya Asya kuat, bahkan sangat kuat. Tapi, di dekat atau di hadapan mamahnya ia sama sekali tidak berdaya.

"Berat banget kan mah. Asya sedikit nangis tau mamah juga nangis. Sakit banget mah liat ayah kek gitu," gumamnya, air matanya tak bisa lagi ia tahan, sakit hati dan kecewanya campur aduk.

Di dalam kamar, di balik pintu itu. Wanita paruh baya, yaitu mamah Asya menahan suara tangisannya. Ia menganggukkan kepalanya mendengar ucapan anak semata wayangnya.

"Mah Asya lelah pura-pura kuat. Asya juga lelah liat keadaan keluarga ini. Mamah cerainya kapan sih?" Jelasnya sambil terisak.

"Asya harus tetap kuat."

Mendengar balasan dari mamahnya membuat air mata Asya semakin deras berjatuhan. "Harus kuat yah? Harus terus pura-pura?"

Isak tangis mulai terdengar dari dalam maupun dari luar kamar. Keduanya menangisi keadaan yang terjadi sekarang. Rumit, satu kalimat yang bisa menggambarkan keadaan keluarga ini.

"Harus kuat yah Mah?"

"Harus kuat sayang, harus!"

"Tapi Asya lelah mah."

"Gak ada yang mudah sayang, kuat yah."

Mamahnya membuka pintu dan langsung menarik putrinya kedalam pelukannya. Mereka berdua saling menguatkan, tetapi air mata tak bisa di tahan untuk tak keluar.

"Udah dua tahun ayah gituin Mamah, Mamah gak pernah mau lepas dari ayah. Kenapa mah?" Tanya Asya yang sudah sangat kecewa dengan ayahnya.

"Asya gak tau sisi baik dari ayah."

"Sisi baik apalagi yang Asya harus tau Mah?"

Tak membalas pertanyaan putrinya, mamah Asya hanya bisa memeluk dengan erat putrinya. Jika pun ia menjawab pertanyaan putrinya, putrinya tidak akan mengerti.

"Cinta Mamah pada ayah sudah sangat buta," katanya sambil terus berusaha melepaskan pelukan mamahnya, ada sedikit kekecewaan dirinya kepada mamahnya.

Keduanya kembali meratapi nasibnya. Dimana keduanya ditempatkan pada nasib yang sangat sial. Yang satu seakan tidak memiliki cinta pertama lagi di dunia, dan yang satunya seakan cinta terakhir dan seumur hidupnya di renggut oleh alam semesta. Rasanya sakit.

•••••

See you next part
Jangan lupa vote

AMBIVALENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang