Be Alright: Mark, Bira, dan Hilmi

510 72 24
                                    

Harusnya hari ini jadi hari yang paling kelabu buat seorang Mark Dianggara. Hari di mana dia akhirnya benar-benar melepaskan satu mimpi besarnya dan mulai melangkah, melalui jalan baru yang ia harap bisa membantu meraih mimpi-mimpi lainnya.

Selama tiga bulan masa terendah di hidupnya, banyak hal yang Mark pelajari tentang hidup. Hidup ternyata tak selalu membiarkan manusia mendapatkan semua yang mereka inginkan. Ada kalanya hidup membiarkan manusia berusaha mati-matian mendapatkan keinginannya. Ada kalanya juga hidup tak peduli bagaimana keadaan manusia. Terpuruk atau tidak kah, bisa bangun untuk memulai hari atau tidak kah.  Hidup akan tetap menjadi dirinya, terus berlanjut, memaksa manusia ikut serta di dalamnya, sampai di mana Tuhan beri batas berhenti.

Seperti hari ini untuk Mark, hari pertama kuliah yang tidak ia ingini. Masih sulit untuk Mark menerima kenyataan bahwa usahanya mati-matian belajar hingga larut setahun belakangan ini, ditambah mengikuti bimbel berbulan-bulan sampai memaksanya vakum dari dunia basket yang ia cintai,berakhir sia-sia. Membayangkan saja tidak pernah akan menghabiskan waktu 4 tahun untuk mendapat gelar sarjana bukan dari salah satu universitas negeri di Bandung saja Mark. Apalagi berpikir telah resmi menjadi mahasiswa baru di UNBAN, salah satu Universitas Swasta di Bandung, tepatnya di Dipatiukur. Ditambah tidak ada satupun teman SMA-nya yang kuliah di satu jurusan dengannya di kampus ini

Tapi Mark nggak jadi bete hari ini gara-gara kucing dan... dia cewek takut kucing tapi lagi jongkok dan merasa khawatir buat seekor kucing.

"Kucing! Meeeng~ Meng~ sini!" Mark yang baru turun dari mobil Daddynya mematung melihat seorang cewek dengan rambut cepol ke atas, memakai kemeja pink dipadu sweater coklat susu tengah berjongkok di dekat ATM BAC depan kampus. Harusnya bisa Mark abaikan dan lanjut jalan ke kelas, tapi rasa penasaran malah bikin Mark menghampiri cewek itu.

"Kenapa kucingnya?"

"Ini... kakinya kayaknya patah, tadi pas turun angkot gue lihat dia ketabrak mobil di depan terus dia langsung lari ke sini sambil agak pincang gitu. Kasian deh keluar darah banyak banget. Gue pengen bawa dia ke klinik hewan gitu deket sini, tapi gue nggak bisa ngambil dia, gue... takut kucing... hehe." Cewek itu garuk belakang kepalanya, maksain senyum, bikin Mark ikut senyum juga. Mark buru-buru ngeluarin hoodienya dari dalam ransel dan inisiatif pakai hoodienya buat bungkus tubuh si kucing lalu gendong kucingnya setelah tubuh si kucing terbungkus sempurna hoodie.

"Hoodie lo-"

"Nggak apa-apa, bisa dicuci. Yuk, kita ke klinik sekarang!"

"Ah, iya." Keduanya terus jalan keluar kampus menuju klinik hewan yang si cewek yakin letaknya cuma beberapa meter dari kampus.

"Gue pernah lihat waktu registrasi sama Ibu ada klinik hewan deket-deket sini. Nggak yakin seberapa deket tapi gue yakin masih sekitaran sini juga. Tapi sepagi ini udah buka belum ya klinknya?"

"Di deket rumah gue ada klinik hewan juga. Sekarang jam setengah delapanan, harusnya sih udah buka." Mark senyum lagi nanggepinnya. "By the way, gue Mark. Lo?"

"Mark?"

"Iya, Mark."

"Beneran nama asli lo?"

"Hahaha iya lah. Kenapa emangnya? Anehnya?"

"Nggak aneh tapi keren."

"Lo bukan orang pertama yang kaget pertama kali denger nama gue, tapi jadi yang pertama bilang keren."

"Emang beneran keren kok, kayak nama member Westlife favorite kakak gue."

"Actually, my mom gave me this name because she's a big fan of Westlife Mark."

"Hah, serius?!! Mama lo ngefans juga ke dia! Kereeeennn!!! Kakak gue dan Mama lo kalau ketemu bakalan heboh banget kayaknya. Eh iya, gue Sabira Tathia, panggil aja gue Bira." Cewek itu berhenti jalan, ngulurin tangannya yang segera disambut Mark. "Komunikasi, 2017."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku, Kamu, Dia, dan MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang