Amalia ( Ummi)
Tak pernah kusangka, kini aku menjalani hidup seperti idolaku Putri Diana. Menjadi orang ketiga yang dipaksa masuk diantara dua orang yang saling mencinta, sungguh sangat menyiksa hati. Persis seperti yang pernah Putri Diana ungkap dalam sebuah wawancara dengan sorot mata sedihnya, "there was three of us in this marriage, so it was a bit crowded." Tak pernah ada senyum manis, tatapan, sentuhan penuh cinta untukku. Semua yang ia lakukan padaku didasari keterpaksaan bukan tulus cinta layaknya sepasang suami istri. Tapi sebaliknya, aku begitu mencintainya. Pria pertama dalam hidupku yang kemudian dengan mudahnya tulus kucintai sepenuh hati hingga detik ini.
23 tahun usiaku saat itu, ketika Teh Fatima
(Murobiahku di pesantren dulu) datang menemui Ummi dan Abi di rumah menyampaikan niat baiknya mengkhitbahku untuk suaminya. Kala itu, Abi dan Ummi menyerahkan semua keputusan sepenuhnya padaku. Sebelum memberi jawaban, aku meminta waktu pada Teh Fatima untuk Istikharah, di bulan kedua setelah Khitbah, aku menerima permintaan Khitbahnya.Seminggu kemudian Teh Fatima datang bersama suaminya untuk Nadzor (melihat wajah dan anggota tubuh yang secara syariat boleh dilihat pada calon istri). Saat itu lah untuk pertama kalinya, Aku melihatnya. Dia terlihat sangat gagah untuk pria seusianya, mungkin karena pekerjaannya yang seorang abdi negara. Sorot matanya teduh, senyumnya menyejukan, suaranya penuh wibawa. Bisa dibilang hari itu, aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.
Enam tahun usia pernikahan mereka saat Teh Fatima divonis dokter menderita menapause dini hingga sulit baginya (saat itu) memberikan keturunan. 4 tahun lamanya waktu yang dibutuhkan Teh Fatima untuk meyakinkan suaminya menikah lagi dan akhirnya di 10 tahun usia pernikahan mereka, usahanya berhasil juga doanya siang malam terkabul, suaminya resmi menikahiku.
Awal pernikahan, A Bagja bersikap sangat baik padaku. Sikap baiknya itu, meyakinkanku pernikahan kami ke depannya akan berjalan dengan baik, meski pada malam pertama A Bagja meminta maaf belum bisa menyentuhku dan mengatakan akan sulit baginya menaruh hati padaku, aku tetap yakin akan ada suatu masa di mana aku pada akhirnya akan menjadi bagian pengisi hatinya sama seperti Teh Fatima.
Nyatanya aku salah, semakin banyak waktu berlalu aku sadar A Bagja tidak pernah menganggapku istrinya, baginya aku hanyalah gadis muda yang diminta istrinya untuk dinikahi juga teman tidur sekamar di akhir pekan.
Selama lima bulan menikah, terus menerus menyaksikan hangatnya perlakuan A Bagja pada Teh Fatima tanpa pernah sekalipun merasakan kehangatan itu padahal aku dan Teh Fatima sama-sama istri yang dinikahinya, di bulan keenam aku yang merasa sangat lelah, terpukul, dan sedih akhirnya memutuskan menyerah dan menceritakan keadaan yang sebenarnya antara aku dan A Bagja pada Teh Fatima. Hingga detik ini, aku masih ingat sekali perkataanku pada Teh Fatima kala itu, "Aa begitu mencintai Teteh. Saking besar cinta Aa pada Teteh, Aa tidak pernah sekalipun menyentuh saya apalagi menafkahi saya secara batin." Teh Fatima terkejut mendengarnya, "saya bingung, Teh, salah saya apa? Saya juga bingung harus bagaimana saya sekarang? Saya merasa tidak berharga dan gagal menjadi seorang istri. Saya merasa hanya jadi pengganggu dan benalu. Saya merasa tidak pantas berada di rumah ini, Teh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, Dia, dan Mereka
General FictionBerkisah tentang beragam kisah cinta dan bagaimana mereka mencinta.