selain abu-abu

78 14 1
                                    

.

"Mau pulang bareng?"

Aku bahkan baru membuka mulut untuk menjawab tawaranmu kala sebuah suara menjengkelkan justru menyela,

"Enggak usah dipaksa, Jan, kalo enggak mau."

Membuatku mencibir. Lantas mengembalikan atensi padamu, lalu menggeleng. "Enggak usah."

"Tuh, denger. Ayo, pulang!" Suara menjengkelkan itu terdengar lagi.

"Yan, diem," kamu ganti menyela, membuatnya menggantikanku mencibir. Tatapanmu kembali padaku. "Udah, enggak pa-pa, ayo? Kan rumah kita searah."

Sekali lagi, aku menggeleng ringan. Aku terbiasa berangkat ke dan pulang dari sekolah seorang diri. Seperti juga kamu terbiasa berangkat dan pulang sekolah berdua dengan adikmu yang menyebalkan itu.

Lagipula, aku lebih suka sendirian.

Tapi rupanya, kepekaanmu yang salah sasaran justru membuatmu tersenyum kala menangkap lirikan singkat yang kuarahkan pada sosok yang berdiri di sisimu. Adikmu. Yang berwajah sama persis sepertimu, dengan tubuh sedikitㅡsangat sedikit sekaliㅡlebih tinggi darimu.

"Oh, gara-gara Oyan, ya?" terkamu, ngawur. Aku menganga. Tapi sebelum akuㅡatau adikmu ituㅡsempat memprotes, kamu melanjutkan, sembari mendorong pelan bahu adikmu, "Oyan, sih,"

Lalu, mengabaikan suara tidak terima yang dilontarkannya, kamu kembali tersenyum ke arahku. "Enggak pa-pa, kok. Oyan emang gitu anaknya. Tapi dia sebenernya enggak keberatan."

Hal terakhir yang kuinginkan hari ini adalah perdebatan.

Maka untuk pertama kalinya,

Hari itu, aku menerima ajakan pulang bersama dari seorang teman. Membuat adikmu terpaksa menggerutu karena aku menjajah tempat duduknya dalam becak langganan kalian yang membawa kita pulang.




---





Sejak itu, kamu tidak membiarkanku berangkat dan pulang sekolah sendirian. Tidak peduli betapa Royhanㅡadik kembarmu yang kamu panggil Oyan ituㅡmengumpat dan memprotes, kamu tetap bersikap baik padaku. Sesuatu yang cukup mengganggu, pada awalnya.

Lama setelahnya, aku baru mempelajari bahwa kamu memang orang yang sehangat itu. Yang tidak segan menawarkan tangan pada siapa pun yang membutuhkan. Yang begitu ramah menyapa, dan berteman dengan siapa saja di sekolah.

Dosa pertamaku yang tidak pernah kuakui di hadapanmu adalah aku bahkan tidak mengingat namamu sampai beberapa hari setelah perkenalan kita. Terima kasih kepada Royhanㅡaku ingat namanya karena guru di kelasku selalu mempromosikannya sebagai kandidat siswa teladan dari kelas sebelahㅡyang selalu meneriakkan namamu setiap kalian beradu pendapat, setidaknya aku bisa memanggilmu seperti kebanyakan orang.

Ojan.

Belakangan, aku baru mengetahui nama lengkapmuㅡFauzan Akbar Pratama. Kali ini, terima kasih kepada lomba azan yang kamu menangkan, yang membuat namamu diumumkan pagi itu setelah upacara bendera.

Lalu sebagai anak berusia sembilan tahun yang terbiasa mendengar bentakan dan makian kasar, terbiasa merasa tidak diinginkan dan tidak berguna, terbiasa merasa ingin menghilang dari dunia,

Menerima segala sikap baikmu itu,

Aku harus bagaimana?

Karena sekeras apapun aku menolakmu,

Kamu terus menawarkan hangat yang tidak pernah kutemui sebelumnya.

Ini tidak bagus. Aku lebih suka menjadi sendirian. Tidak terlihat. Tidak dipedulikan.

Tapi kamu seolah tidak mau berhenti menawarkan pertemanan.

"Kalo ada PR yang susah, ke rumah aja. Kita bisa belajar bareng."

Tawarmu waktu itu. Aku nyaris mendengus tertawa. Pikirmu, aku tidak tahu prestasi akademismu di sekolah? Biasa saja. Lebih baik dariku, tapi tidak juga sebaik itu. Lalu mungkin, wajahku terlalu menggambarkan semuanya. Karena setelahnya, kamu buru-buru menambahkan sambil meringis,

"Oyan, kan, pinter."

Membuatku gagal menahan tawa.

Dan membuatmu ikut tertawa.

Kurasa, itu kali pertama aku tertawa bersama orang lain.

Kamu tahu? Ternyata rasanya tidak seburuk yang kukira.

Mungkin aku harus mulai membiarkanmu terus berada di sekitarku, supaya aku bisa menemukan warna lain dalam hidup selain abu-abu.








***

Rentang Satu Asa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang