"Janji sama gue, jangan ngelukain ini lagi."
"Iya."
"Iya apa?"
"Iya, gue janji."
"Janji apa?"
"Iya, gue janji buat enggak ngelukain ini lagi. Bawel lo."
"Makasih, ya. Makasih udah bertahan sejauh ini. Lo hebat."
---
Di saat seperti ini, aku menyesali keusilan Tuhan yang dulu terus menyatukan garis takdir kita. Karena ketika itu tidak lagi terjadi, aku kesulitan menerima.
Pada akhirnya, waktu terus berjalan tanpa tahu berhenti. Ia tidak menungguku bersiapㅡia menggilasku tanpa ampun kala aku tak juga mampu menguatkan tapak.
Kamu tidak lagi berada di sekitarku. Kamu sudah menjejak lebih jauh, keluar dari kota kecil ini demi menuntut ilmu. Aku senang, setidaknya Tuhan masih membiarkan Royhan menyertaimu. Rupanya, semesta kalian memang tidak bisa terpisah dari satu sama lainㅡsekali lagi, kalian akan menuntut ilmu di tempat yang sama. Di kampus yang sama, meski dengan fakultas yang saling berjauhan.
Tidak apa. Setidaknya kalian masih bisa tinggal bersama.
Setidaknya, kamu baik-baik saja.
Aku tidak.
Itu tidak kuberitahu padamu, tentu saja. Aku hanya mengabarimu bagian-bagian bahagiaㅡaku mendapat pekerjaan, rekan kerjaku tidak bermuka dua, bosku tidak menyebalkan. Aku tidak memberitahumu bagaimana rumahku semakin ramai sekarangㅡsungguh berisik, kepalaku sampai pening. Aku juga tidak memberitahumu soal suara-suara di kepalaku, mereka kadang membuatku nyaris melanggar janji. Kamu juga tidak tahu tentang rentenir gila yang kemarin datang ke rumahku. Ayah berjudi. Utangnya banyak sekali.
Fauzan,
Sepertinya, kamu menilaiku terlalu tinggi. Aku tidak sehebat itu.
Hari ini sunyi. Setelah kemarin bertengkar hebat semalaman, Ayah dan Ibu sepertinya memutuskan untuk beristirahat. Baguslah. Pendengaranku bisa ikut melepas lelah.
Masih pukul satu siang. Shift-ku dimulai jam empat sore nanti. Dulu, dulu sekali, aku hanya akan merasa sangat letih dan tertekan di malam hari. Bekas-bekas yang kamu temukan di tanganku ituㅡyang sudah semakin membaik karena tidak lagi kutambah dengan yang baruㅡselalu kubuat ketika sudah gelap. Siang hari terlalu ribut. Aku tidak akan bisa menyembunyikan diri.
Tapi hari ini berbeda. Setelah apa yang terjadi kemarin, kurasa hari ini menjadi dua ratus kali lebih melelahkan dari biasanya. Aku ingin tidur. Lebih baik kalau selamanya. Jadi, kuputuskan untuk mengambil satu batang refill cutter dari laci meja. Benda tipis itu masih baru. Selalu sangat tajam ketika pertama kali dikeluarkan dari kotaknya. Semakin tajam, semakin mudah.
Lalu kemudian, mataku bertemu pandang dengan smiley. Kamu bilang, dia akan membantuku tersenyum di saat sulit. Kamu tahu? Melihatnya sekarang justru membuatku merasa diejek.
Siapa yang bisa tersenyum memikirkan utang dengan nominal yang membuatmu mempertimbangkan kemungkinan menjual diri?
Fauzan,
Kamu tidak mengerti, kan?
Kehidupanmu terlalu putih. Noda-noda seperti ini tidak akan pernah kamu pahami. Janji yang dulu kubuat itu, bagaimana kalau sekarang kubawa pergi saja bersamaku?
Mungkin, memang ini yang seharusnya kulakukan sejak dulu. Siang ini saja. Akan kuakhiri.
Tapi mendadak saja, ponselku bergetarㅡaku sengaja membisukannya ke mode diam agar ia tidak membangunkan orang rumah. Namamu muncul di layar, begitu saja. Mungkin, sekali lagi, Tuhan sedang mempermainkan kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rentang Satu Asa✔
Fiksi UmumUntuk setiap kebaikan hati yang tidak terhitung sampai hari ini, Terima kasih banyak. Kamu baik sekali. Kalau aku menyerah sekarang, Kamu tidak marah, kan? [t/w: suicide] ㅡAug, 2020.