karet gelang warna merah

45 13 0
                                    

Yang lucu adalah, sejak hari itu, kamu semakin enggan membiarkanku sendirian.

Sekali lagi, satu tingkatan pendidikan kulalui dengan keberadaan kamu dan Royhan di sekitarku. Tidak banyak yang berubah. Royhan masih congkak dan menyebalkan seperti saat di sekolah dasar. Dan kamu masih begitu ramah pada siapa saja. Membuat kaum hawa mulai berbondong mengagumimu.

Tapi selain itu, kamu masih Fauzan yang kukenal.

Tetap Ojan yangㅡmeminjam kalimat Royhanㅡterlalu naif dan sok baik hati.

Padahal, kamu memang sebaik itu, kan?

"Gimana ulangan matematikanya?" tanyamu siang itu, kala kita tengah menanti angkutan umum yang akan membawa kita pulang.

Sadar kamu tidak bertanya pada Royhanㅡtapi bertanya padakuㅡaku lantas mengedikkan bahu. "Biasa aja," balasku. Lalu meringis. "Tapi remidial, sih."

Kamu lantas tertawa geli. Tidak apa, aku tidak tersinggung. Aku tidak pernah mengatakan ini padamu, tapi aku suka melihatmu tertawa.

"Heh, enggak usah ngetawain orang," Royhan menyelaㅡmembuatku cukup terkejut karena dia jarang membelaku. "Nilai lo juga ngepas KKM, Jan. Kurang satu soal lagi, remidial bareng deh, lo berdua."

Tawamu makin menggema. Membuatku, mau tak mau, ikut melepas tawa. Royhan tidak jauh berbeda. Ia berusaha menahannya, namun gagal. Kurasa aku akan mengingat hari ini baik-baik karena ini adalah momen-momen langka di mana kita tertawa bersamaㅡbertiga.



---



Tapi seperti kutipan usang yang mengatakan bahwa setiap kebahagiaan akan diikuti kesengsaraan, kurasa hidupku juga demikian.

Semua tawa yang mulai kucecap di masa SMP ini tidak mengubah apa-apa.

Aku tetap aku, yang selalu terpaksa menulikan telinga setiap kali pulang ke rumah. Ibu dan ayahku tidak pernah berhenti saling berteriak satu sama lain. Mengherankan, ya? Maksudku, jika mereka memang saling membenci sebanyak itu, kenapa terus bertahan tinggal satu atap selama bertahun-tahun? Tidakkah mereka sakit kepala?

Aku sakit kepala.

Aku selalu sakit kepala.

Kemudian, rasa pening  yang menyakitkan itu berakhir membawaku ke babak lain dalam kebencianku pada kehidupan.

Lalu, lagi-lagi,

Kamu menjadi satu-satunya orang yang menyadari.

Aku tidak tahu bagaimana kamu mendadak menarik pergelangan tangan kiriku untuk kemudian menyejajarkannya dengan matamu. Ini sudah jauh dari sejak bel pulang berbunyi. Hanya ada kita berdua, duduk bersisian di teras gedung aula, menunggu Royhan selesai dari pembinaan olimpiadenya.

Tatapanmu beralih dari kulit pergelangan tanganku, pada seutas karet gelang warna merah yang melingkar di sana, lalu ke wajahku. Sorotmu mengganggu. Karenanya, aku berusaha melepaskan diri.

"Loㅡ"

Ucapanmu terhenti di udara, bersamaan dengan tanganku yang terhempas bebas dari cengkraman. Aku membuang muka, menghindari matamu.

"Kalo ada masalah, bilang gue."

Suaramu terlampau tenang dan tidak menghakimi. Membuatku lekas kembali menoleh ke wajahmu.

Benar.

Tidak ada penghakiman.

Atau sorot kasihan.

Hanya ada sepotong kepedulian.

Tapi, benarkah itu? Atau aku hanya mulai membayangkan hal-hal yang tidak perlu?

"Lo bisa cerita apa aja ke gue. I'm all ears," ucapmu ringan, seringan kapas.

Kamu lalu menatap langit menjelang sore yang tidak lagi seberapa panas. Bibirmu menyungging senyum. Namun, entah untuk alasan apa, aku merasakan kesedihan dari sepasang matamu.

"We're only fourteen. Why do we have to carry so much burden not worth our age?" katamu lagi. Kali ini, tanpa menatapku.

Aku merasakan keinginan untuk menangis, namun menahannya.

Kamu tidak tahu, kan, beban yang sudah kubawa, bahkan sejak lahir?

Lalu, dengan suara bergetar, aku membalas,

"Why do you have to care so much?"

Kamu menghela napas. Helaan terberat yang pernah kudengar darimu, sejauh ini. Yang membuatku seketika merasa bersalah. Dan secara spontan berusaha menyembunyikan tangan kiriku.

Rupanya, aku bukan hanya menyulitkan diri sendiri, tapi juga menyulitkanmu, ya?

"We grow up together. Lo, gue, Oyan," kamu berhenti sebentar. Menatapku tiga detik, lalu berpura-pura memperhatikan ujung sepatumu. "It's just as much of what a friend can do," putusmu.

Lalu, sebelum kita sempat bertukar kata-kata lain,

Seruan Royhan yang memanggilmu membuat kita saling menyimpan rapat-rapat tentang apa yang baru saja terjadi.







***

Rentang Satu Asa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang