senyum di pergelangan

48 12 0
                                    

Seiring dewasa, aku mulai menerka apa sebenarnya yang tengah Tuhan rencanakan atas kita.

Karena sekali lagi, takdir kita seolah bertaut satu sama lain.

"Ada enggak?" tanyamu hati-hati, segera setelah aku berhasil melepaskan diri dari kerumunan. Ada sinar harap di kedua matamu, juga ketegangan di suaramu. Aku tidak tahu kenapa, tapi menyaksikan kehati-hatianmu yang seperti ini, selalu membuatku ikut berhati-hati tanpa sadar.

Jadi, aku menghela napasku lamat-lamat, sembari mengumpulkan ketenangan untuk meredakan degup.

Lalu, pelan-pelan, aku berusaha tersenyum. Melahirkan satu lengkung bibir yang kuyakini sebagai senyum tercanggung yang pernah kuulas seumur hidup. Aku bahkan tidak mampu merapalkan kata pengantar apa-apa kala kemudian menganggukkan kepala menjawab pertanyaanmu.

Senyum legamu merekah perlahan, menghiasi wajahmu yangㅡentah sejak kapan, aku tidak sadarㅡcukup tampan. Dan, oh, kamu tahu? Aku suka melihat garis bibirmu kala kamu tersenyum. Sudut-sudutnya selalu melengkung sempurna tiap kali kamu menariknya.

"Masa, sih? Kok gue enggak nemu?"

Itu suara Royhan. Aku mengernyit sekilas karena tidak mengira Royhan akan turut membantu mencari namaku. Kupikir, ia hanya peduli pada dirinya, dan kamu.

Tatapanmu mengarah padaku.

"Beneran ada?"

Aku mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. "Halaman keenam, urutan ketujuh dari bawah."

Jangan tanya bagaimana aku mengingatnya. Terjadi begitu saja. Senyummu lalu melebar, hampir menjelma tawa. Royhan kembali menghilang, berjubel dengan lautan manusia di depan papan pengumuman itu, mungkin berniat mengonfirmasi ucapankuㅡaku tidak peduli. Yang kutahu hanya, setelahnya, tawa kita menguar bersama.

Sekali lagi, takdir kita menautkan diri satu sama lain.

Sekali lagi, aku akan melewati satu jenjang pendidikan lain dengan kamu dan Royhan di sekitarku.

Karena kita kembali diterima di sekolahㅡdi SMAㅡyang sama.




---



Dan sekali lagi, bahagia memang tidak pernah betah bersisian terlalu lama denganku.

Melewati tiga tahun fase terakhir masa remaja, aku masih menjalani hidup seperti biasa. Menjadi si tertutup yang tidak memiliki teman kecuali kamu dan Royhan. Menjadi si tidak diinginkan yangㅡmenurut Ibu dan Ayahㅡhanya bisa menghabiskan uang. Lalu sekali lagi, semuanya bertambah parah.

Ingat jejak kemerahan tipis-tipis yang dulu kamu lihat di balik karet gelang di pergelanganku?

Sekarang, mereka sudah menjelma menjadi sesuatu yang lebih terpeta. Salahku. Aku tidak bisa menerima tawaranmu soal menceritakan semuanya padamu. Aku mungkin tertawa di depanmu, terlihat baik-baik saja. Tapi ketika kamu tidak adaㅡketika tidak ada siapa-siapa, semuanya tidak sebaik yang kukira. Rasanya, seperti hatiku memakan isi kepalaku. Atau sebaliknya. Aku tidak tahu.

Tapi sekali lagi, kamu tetap kamu.

Dengan segala kepekaanmu.

Dan usahamu menjagaku tetap bertahan.

"Kenapa?" tanyaku bingung ketika kamu mendadak menemuiku seorang diri, tanpa Royhan.

Kamu tidak menjawab. Senyum lebarmu tampak terlalu bersemangat. Kali terakhir aku melihatmu seperti ini, adalah ketika pengumuman hasil Ujian Nasional SMPㅡkala kamu menjadi peraih nilai tertinggi dalam mata pelajaran Bahasa Inggris.

"Siniin tangan lo," pintamu, masih dengan raut semringah yang sama. Aku tidak akan menurut semudah itu jika bukan kamu yang memintanya. Jadi, dengan kerut yang masih terpeta jelas di kening, aku mengulurkan tangan. Yang segera kamu sambut dengan satu tarikan. Kamu lalu mengeluarkan sesuatu dari sakumu.

Sebuah gelang.

Gelang dengan rantai tipis berwarna keperakan.

Tanpa banyak bicara, kamu memasangkannya di pergelangan tangan kiriku. Seraya melepas karet gelang warna merah yang sebelumnya melingkar di sana.

"Nah," katamu, terdengar puas. Matamu beralih menatapku. "Nih, ada smiley-nya," kamu menunjuk satu bandul berwarna merah di tengah rantai yang baru kusadari eksistensinya. Satu bandul bergambar representasi wajah humanoid tersenyum yang khas itu. "Enggak bisa nutupin yang udah berbekas, sih," lanjutmu, memandangi kulit pergelangan tanganku denganㅡtunggu dulu, benarkah itu?ㅡtatapan sedih. "Tapi mulai sekarang, kalo enggak ada gue sama Oyan, ada dia yang jagain lo."

Pandangan kita bertemu.

Membuatku melihat sorot itu lagi. Kehangatan yang bahkan belum pernah kutemui di mata kedua orang tuaku.

Fauzan,

Kamu tahu, kan, kalau sebenarnya, kamu tidak perlu terlalu memedulikanku sejauh ini?

"Janㅡ" ucapanku terhenti. Aku tidak mampu melanjutkan.

Sekali lagi, kamu menatapku dan tersenyum. "Mulai sekarang, kalo lo ngeliat tangan lo ini, lo bakal inget gue. Lo bakal inget orang-orang yang peduli sama loㅡada gue, Oyan. Si smiley ini, dia bakal bantu lo buat senyum even in your hardest times so that you can learn to stop hurting yourself," kamu mengatakan kalimat terakhir itu dengan suara yang jauh memelan. Senyummu memudar menjadi senyum sedih. Kali ini, kita sama-sama menghindari pandangan satu sama lain. Lalu menikmati hening bersisian.

Ini hari-hari terakhir tautan takdir. Ujian Nasional sudah berakhir dua hari lalu. Setelah kelulusan SMA, kita akan berpisah jalan. Jauh. Kamu tentu akan meneruskan pendidikanmu. Kamu dan Royhan. Kalian memiliki kapasitas dan materi untuk itu. Dua hal yang jelas tidak aku miliki.

Kali ini, takdir kita tidak akan bertemu lagi.

Aku tidak akan melanjutkan pendidikan. Orang tuaku tidak menginginkannya. Bagi mereka, sudah cukup membuang uang untuk menyekolahkan anak mereka yang tidak seberapa pintar ini selama dua belas tahun. Untuk apa bangku kuliah? Otakku tidak akan mampu menerimanya.

Kamu dan Royhan berbeda. Kamu terutama. Kamu sangat-sangat berbeda. Akademismu memang tidak segemilang Royhan. Tapi masih jauh lebih baik dariku. Kamu akan bersinar satu hari nanti. Aku meyakini itu.

"Janji sama gue," selamu tiba-tiba, mengoyak lamunanku.

Aku lekas menoleh. Sorotmu serius.

"Apa?" Kuberanikan diri bertanya.

Kamu mengambil tanganku. Menatapnya sebentar, lalu beralih ke wajahku. Perlahan, lengkung bibirmu membentuk senyum lagi. Senyum yang selalu kusukai. Setelahnya, napasmu terhela.

"Janji sama gue," ulangmu, menggenggam pergelanganku, sembari menatapku tepat di mata. "Jangan ngelukain ini lagi."

Ada jeda dalam hening yang menyedot kita berdua.

Belasan tahun saling mengenal, hari ini aku baru tahu,

Kalau matamu bisa begitu menyesatkan.

Karena kemudian, aku menyuarakan persetujuan tanpa sadar. Aku berjanji. Atau lebih tepatnya, kamu membuatku berjanji.

Rautmu setelahnya tidak akan pernah kulupa. Begitu hangat, begitu menyenangkan untuk dilihat. Rasanya seperti, aku baru saja melakukan satu hal yang sangat benar. Seperti aku memang harus bertahan hidup seribu tahun lagi karena semua akan baik-baik saja.

"Makasih, ya," katamu kemudian, diiringi senyum. "Makasih udah bertahan sejauh ini. Lo hebat."

Aku tidak membalas. Memangnya aku harus bilang apa?

Tapi, sungguh,

Fauzan,

Semuanya benar-benar akan baik-baik saja, kan?








***

Rentang Satu Asa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang