pos ronda dan kamu

55 14 1
                                    

Aku selalu berpikir Tuhan membenciku.

Lalu, ketika kamu dan Royhan mulai terus berkeliaran di sekitarku, terkadang aku jadi meragukan pemikiran itu.

Mungkin Tuhan tidak membenciku.

Tuhan hanya sedang mempermainkanku.

Seperti siang itu, ketika aku tahu kalau kitaㅡkamu, Royhan, dan akuㅡternyata diterima di Sekolah Menengah Pertama yang sama.

"Nanti ngerjain perlengkapan MOS-nya bareng aja, yuk?" tawarmu riang, seperti biasa.

Di sisimu, Royhan hanya memutar bola matanya. Mungkin sudah lelah mendebatmu, atau sudah malas menolak eksistensiku. Tapi sebagai seseorang yang cukup tahu diri, aku cuma menggeleng.

"Makasih, tapi kayaknya enggak usah," ucapku. Lalu kamu buru-buru menggeleng.

"Bareng aja, biar sekalian. Lebih hemat bahan juga, kan, jadinya. Iya, enggak, Yan?" Kamu menyenggol lengan Royhan yang hanya mengedikkan bahu.

Tanpa kamu tahu, kalimatmu membuatku mematung.

Benar juga.

Bahan-bahan perlengkapan yang konyol itu.

Entah apa yang dipikirkan panitia penyelenggara Masa Orientasi Siswa ketika memutuskan untuk membebani para siswa baru dengan kewajiban membawa barang-barang tolol yang tidak masuk akal. Maksudku, tidak semua orang memiliki cukup uang untuk dihamburkan, kan?

Ibu dan Ayah tidak akan mau ambil pusing tentang itu. Bagi mereka, membayar biaya sekolahku saja sudah cukup memberatkan.

Jadi, sekali lagi, sepertinya aku harus memikirkan semuanya sendiriㅡ

"Yuk?" Suaramu kembali mengusikku. "Kalo ngerjain dari sekarang, paling besok siang juga udah selesai."

ㅡatau mungkin, tidak juga?



---



Tapi, seperti yangㅡmungkinㅡsudah kamu duga, aku tidak akan terbujuk semudah itu. Setelah menolakmu entah berapa kali, kita berakhir berpisah jalan di ujung gang rumahku. Aku memutuskan untuk pulang. Tanpa menemukan solusi dari masalah yang tidak terlalu penting ini.

Lalu mungkin kamu tahu,

Rumahku tidak seperti rumahmu.

Karena sore itu, ketika aku berlari keluar rumah sembari menahan tangisㅡsetelah mendengar suara bising dan pertengkaran yang seharusnya sudah akrab di telingakuㅡaku menemukanmu berdiri hanya tiga rumah dari rumahku. Di tanganmu terayun sebuah kantung plastik hitam, beberapa lembar karton warna-warni menyembul dari dalamnya. Kamu menatapku bingung. Tangisku harusnya berhenti. Aku sudah belajar banyak tentang menyembunyikan air mata ketika orang lain tidak sengaja mendapatiku menangis. Tapi, hari itu,

Aku tidak tahu.

Dorongan yang kurasakan untuk menangis, justru semakin kuat.

Aku bahkan tidak memberontak kala kamu mendekat, dan menuntunku entah kemana. Yang kutahu kemudian, kita sudah duduk di pos ronda di ujung gang rumahmu. Kamu meletakkan barang-barang bawaanmu, melepas jaketmu lalu mengulurkannya padaku.

"Gue enggak punya sapu tangan, enggak bawa tisu juga. Pake jaket gue aja, buat ngelap ingus. Enggak pa-pa, kok."

Kamu lucu. Nada hati-hatimu itu lucu. Idemu tentang jaket kebesaran untuk menghapus lendir hidungku juga lucu. Jadi, aku tertawa di sela air mataku yang masih mengalir. Mengabaikan kemungkinan kamu tersinggung atau apapun.

Lalu kita berdua terdiam di sana. Tanpa bicara.

Ketika akhirnya aku berhasil menguasai diri dan berhenti menangis, aku menoleh dan menemukan tatapanmu yang masih terpaku padaku.

"Udah baikan?" tanyamu ragu.

Aku menemukan diriku memaksakan diri untuk mengulas senyum dan mengangguk.

Satu senyum kelegaan terpeta di wajahmu segera setelahnya.

"Jangan bilang siapa-siapa," tukasku cepat sembari mengusap wajahku sendiri.

Dari ekor mataku, kulihat kamu tersenyum simpul. Atau mungkin, itu hanya perasaanku?

Katamu kemudian, "Iya. Enggak."

"Pura-pura enggak tahu aja," kataku lagi. Keningmu berkerut.

"Maksudnya?"

"Hari ini enggak ada yang terjadi. Kita enggak ketemu sore ini. Kita terakhir ketemu pas tadi pulang sekolah."

Butuh waktu hampir semenit bagimu untuk kemudian mengangguk setuju. Senyummu belum pudar.

"Oke."

Lalu hening.

Kamu terlihat berpikir, sebelum kembali bicara dengan suara hati-hatimu yang tadi.

"Kaloㅡ" kamu berhenti. Menatapku ragu. "Kalo di rumah lagi rame, terus lo jadi enggak bisa belajar atau apa, ke rumah gue aja," kamu menjeda lagi sebentar, sebelum melanjutkan, "Bunda selalu seneng kalo ada temen gue atau temen Oyan yang main ke rumah."

Yang kamu tidak tahu, aku hampir menangis lagi kala mendengarmu mengatakan itu.

Dan yang waktu itu aku tidak tahu,

Rupanya, keadaan rumahku sudah lama sampai ke telinga para tetangga.

Termasuk kamu.






***

Rentang Satu Asa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang