Part 3

2 0 0
                                    

Kyo menggendongku, karena kakiku terluka. Ternyata aku nggak sial-sial banget. Di balik kesialan, ada juga keberuntungan. Kyo yang sangat kusukai sedang menggendongku. Seandainya ini tidak pernah berakhir. Inilah kebahagiaan terbesarku.

"Kyo! Kyo!" aku memanggilnya.
"Kenapa?"
"Lihat! Sekarang, bulan purnama! Indah sekali, ya!" Aku menunjuk ke arah bulan.
Kyo tersenyum. "Iya, sangat indah."
"Kyo, aku nyesel pakai rok dan sepatu boot, lebih enak pakai baju biasa seperti tahun lalu."

Kyo tertawa kecil. "Tuh kan, aku bilang juga apa. Kamu lebih manis tampil sebagai

Cheza, bukan mengikuti Yuri. Tadi, aku bilang kamu cocok pakai putih, gara-gara kamu mengikuti dandanan Yuri, sih."

Aku ikut tertawa. "Repot, ya. Aku benar-benar sial hari ini." "Tenang aja, Che. Aku nggak ngebiarin kamu lebih sial lagi hari ini."

Aku tersenyum. Asal bersamamu, aku nggak akan sial, Kyo. Aku yakin itu. *

Kami berkumpul dengan Yuri dan Hiro di taman sekolah yang cukup ramai. Yuri tampak panik, tapi Hiro, tetap cuek. Kyo masih menggendongku. Yuri langsung menghampiri kami.

"Kamu nggak papa, Che?" tanyanya panik.
Aku turun dari gendongan Kyo. "Aku nggak papa, kok. Untung tadi, Kyo menolongku." Yuri menghela nafasnya. "Syukurlah, aku takut terjadi apa-apa padamu."
Aku tersenyum. Yuri benar-benar baik mengkhawatirkanku sampai segitunya. Aku jadi

sedikit merasa menyesal telah meninggalkan mereka tadi.
"Che, kok kamu telanjang kaki?" tanya Hiro.
Aku tersenyum kecut. "High heelsku rusak."
Hiro mengambil high heels yang dibawa oleh Kyo. "Ini masih bisa dibetulkan, Che." "Benarkah?" tanyaku girang.

Hiro tersenyum kecut. "Tapi, butuh waktu yang agak lama. Lebih baik, kamu beli yang baru gih."

"Iya."
Yuri langsung memelukku. "Ya ampun, Cheza. Kok bisa-bisanya high heelsmu patah?" "Sorry, sebenarnya, aku ingin sekali beli ini," kataku sambil menunjukkan cincin

imitasi yang kupasang di jari manis tangan kananku.
"Ah!" ujar mereka bertiga serempak.
"Kenapa?" tanyaku heran.
Mereka bertiga mengeluarkan cincin yang sama dari kantong mereka. Aku tercengang.

Mereka membeli cincin yang tadi mereka hina? Aneh sekali! "Bukankah, tadi kalian mencelanya?" tanyaku.

"Tadi, kulihat kamu sangat menginginkannya, Che. Kalau kamu suka, meski pun jelek, aku mau kembaran sama kamu," kata Yuri. Dia memang membeli 2 cincin yang sama.

"Kamu kelihatan suka banget, sih," kata Kyo.

"Murah, sih. Jadi kupikir nggak apa-apa membelikannya," kata Hiro.

Ya ampun... mereka begitu peduli padaku. Aku mungkin cewek yang paling beruntung di dunia ini memiliki sahabat-sahabat sebaik mereka. Aku hampir menangis terharu.

"Thanks, kalian baik banget padaku," kataku.
"We're your bestfriends after all," sahut Kyo.
"Jadi gimana?" tanya Yuri sambil melihat kedua cincin yang dibelinya.
"Dijadikan simbol saja!" usulku. "Simbol persahabatan kita berempat."
"Aku setuju!" sahut Yuri dan Kyo.
"Kan sisa satu, Che," sahut Hiro.
Aku mulai berpikir. Ah! "Yang satu, ditinggal di sini aja, dikubur di sini, kayak di film-

film gitu. Nanti setelah kita berpisah, melihat cincin ini kita akan teringat tempat ini. Jadi kayak time capsule gitu."

"Tapi kan pasti hilang nantinya. Ini bukan time capsule, ini hanya cincin kecil," kata Kyo.

"Nggak papa, kan? Semacam janji. Tahun depan, kita pasti akan berpisah. Nah, kalo melihat cincin ini, kita bisa kembali ke sini."

"Ini." Yuri menyerahkan cincin miliknya yang kelebihan.
Aku melepas cincinku. "Ini saja!"
"Tapi, itu kan cincinmu, Che," kata Yuri.
Aku mengambil cincin Yuri. "Aku simpan yang ini saja! Ini kan yang Yuri pilihkan!" Yuri memelukku lagi. "Kamu memang manis, Che!"

"Kalau begitu, aku beli botol pasir, ya! Tadi ada yang jual botol-botol kecil," sahut Kyo. "Untuk apa?" tanyaku.
"Ya, untuk memasukkan cincinnya, dong," jawab Kyo.
"Bagus juga idemu."

Kyo berlalu begitu cepat dan kembali begitu cepat, bagaikan angin. Seperti saat dia menemukanku tadi, dia terlihat seperti cahaya, yang terus dan akan menyinari hari-hariku. Kyo memasukkan cincinku ke botol pasir kecil itu.

"Kita buat permohonan yuk," ajak Yuri. "Permohonan apa?" tanya Hiro.

"Semoga, kita bisa bersahabat selamanya," kata Yuri.
"Ayo kita kubur cincin ini," usul Kyo.
"Pasti hilang lah, Kyo. Aneh-aneh aja," komentar Hiro.
"Yah, kalo hilang ya nasib. Daripada ditinggal gitu aja, cincin kayak gini gampang

hilang tahu."
Kami mengubur cincin itu. Semoga saja kami bisa bersahabat selamanya. Dan

semoga, aku bisa mendapatkan cinta Kyo.
*

"Ini!" kata Yuri sambil menyerahkan sandal jepit yang baru saja dibelinya. "Makasih, Ri," kataku sambil memakai sandal jepit itu.
"Sekarang, kamu bisa jalan, kan."
"Ya."

Kami kembali ke acara festival. Masih sangat ramai padahal sudah jam 9 malam. "Cheza! Cheza! Ke sini!" ajak Yuri.
"Apaan sih, Ri?" tanyaku heran.
Yuri mengambil gelang tangan yang sangat lucu. "Lihat, deh! Bagus, kan?" "Bagus banget!" pujiku.

"Kembaran, yuk!" ajak Yuri.
"Boleh."
Krak! Tiba-tiba gelang yang tadi di tangan Yuri jatuh dan pecah tentunya.
"Yuri? Kenapa?" tanyaku heran. Aku melihat ke arah yang Yuri lihat, ada sesosok pria dan wanita. Siapa mereka?

Yuri memperlihatkan ekspresi kaget dan syok, seperti melihat setan. Tapi dia

memaksakan tersenyum. "Maaf..."
"Orang itu, ya?" ujar Kyo tiba-tiba.
Yuri menggeleng. Lalu pergi meninggalkan kami. Kyo dengan sigap menyusulnya. "Yuri! Kyo!" teriakku memanggil mereka sambil menyusul mereka.
Hiro menarik bahuku. "Dibayar dulu, Che." ujar Hiro tenang.

"Tapi..."

Hiro menatapku dengan tenang. "Tenang dulu, aku tahu mereka ke mana. Mereka ke tempat yang hanya kami bertiga ketahui."

Aku mengangguk pelan. "Iya."

Itu pertama kali aku melihat Kyo sepanik itu. Ada apa? Tempat yang hanya mereka bertiga ketahui? Jadi, bahkan aku nggak tahu di mana tempat itu? Aku kesal! Kesal sekali! Rasanya sesak, ingin menangis. Aku cemburu. Aku tahu ada orang lain di hatimu Kyo, tapi saat menyadarinya, hatiku terasa sakit.

*

Hiro mengantarku ke tempat terpencil di sekolah. Suasana hatiku masih sangat buruk.

"Sejak dulu, Yuri sering ke sini bila suasana hatinya sedang buruk. Aku cari di sana, ya," ujar Hiro.

"Iya."

Tempat yang sama sekali tidak kuketahui. Tempat ini sangat gelap, seperti suasana hatiku. Udaranya sangat sejuk. Sepertinya tempat yang enak untuk dijadikan persembunyian. Angin menyibakkan rambutku, aku berusaha membetulkannya. Saat itu, aku melihat sosok wanita dan pria, Yuri dan Kyo.

"Masih nggak kapok juga?" tanya Kyo pada Yuri.
Yuri tersenyum kecut. "Hari ini nggak ngomong 'aku bilang juga apa'?"
Kyo terdiam.
Yuri tersenyum kecut, sepertinya mau menangis. "Aku tahu aku salah, Kyo. Aku tahu,

kok..."
Tampaknya Yuri sudah mulai menangis. Kyo langsung memeluk Yuri. Hatiku sakit,

sakit sekali. Aku sadar, pelukan Kyo itu berbeda dengan pelukannya untuk menenangkanku saat menangis tadi. Pelukan Kyo pada Yuri berbeda, dia mengelus kepala Yuri dengan lembut, itu bukan pelukan untuk seorang sahabat. Itu pelukan untuk orang yang disukai. Jelas saja berbeda.

Sepertinya, bukan hanya air mata Yuri yang tumpah, air mataku juga. Hatiku sakit. Aku cemburu. Kyo menyukai Yuri. Aku berjalan meninggalkan mereka. Aku bahagia jika kau bahagia Kyo, kalau kamu suka Yuri, aku akan merelakanmu, tapi aku tidak bisa melihat hal ini lebih lama lagi. Hatiku sakit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love LabyrinthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang