Kediaman Ibu Suri adalah salah satu lokasi paling tentram yang berada di komplek istana kerajaan, sangat berbanding terbalik dengan kediaman Putra dan Putri Mahkota yang dikenal paling berisik oleh para dayang istana. Ibu Suri sangat menyukai bunga dan jamuan teh. Di luar paviliun terdapat meja dan kursi taman berukir klasik, hadiah dari seseorang yang menjabat di pemerintahan. Di sekelilingnya terdapat bunga-bunga kesukaan Ibu Suri yang selalu ia siram di pagi hari.
Biasanya ketika sore hari menjelang, Ibu Suri selalu bisa ditemukan bersama cangkir teh kesukaannya, duduk menikmati indahnya taman bunga dan mendengar suara kicauan burung-burung di sekitar istana. Namun di hari itu, sepertinya meja dan kursi taman tidak lagi menarik. Bunga-bunga yang selalu menjadi bagian penting akhirnya tercampakan untuk urusan yang lebih genting.
Para dayang yang biasanya menyeduhkan teh, hari ini ditugaskan untuk berjaga di sekitaran paviliun. Tidak ada yang boleh berada dekat dengan ruang tamu Ibu Suri, kecuali kasim penasehat dan kepala pelayan dari anggota kerajaan yang hadir di ruangan itu. Tentu saja Ibu Suri berada disana. Ia terlihat lelah, menggunakan hanbok berwarna redup, ekspresinya sangat gusar.
Di ruangan itu juga hadir raja dan ratu, beserta kakak Shin yang saat ini sedang menjabat menggantikan ayahnya yang sakit. Rasanya setiap orang di ruangan itu sudah menua dalam beberapa hari ini. Mereka berupaya menjadi bijaksana dalam mengambil langkah-langkah yang dirasa benar untuk istana.
Wang Hoo Mama, Sang Ratu, meletakan sebuah amplop dokumen kembali ke atas meja setelah meneliti isinya. "Hamba sangat khawatir dengan kondisi Pi Koon saat ini."
"Benar. Sepertinya membiarkannya tinggal dekat dengan keluarganya saat ini adalah langkah yang baik. Dia pasti membutuhkan orang-orang yang bisa menenangkannya," kata Raja Lee Hyeon, memandangi amplop dokumen di atas meja.
"Saat ini Shin bersama dengan Pi Koon. Hamba sudah melarangnya, tapi sepertinya dia sangat khawatir," kata Putri Hwa-young.
"Bunga yang mekar harus tetap bersama dengan lebah," Kata Ibu Suri, nampak murung. Pembicaraan itu sempat diselingi keheningan.
"Mama, kita tidak bisa terus berdiam diri. Mengulur waktu tidak akan mengubah apapun. Sementara itu, kita tidak bisa mencari informasi mengenai Nona Min Hyo-rin. Data yang dia berikan bisa saja tidak akurat. Hamba sudah mengirim orang untuk mengecek secara diam-diam, tapi hingga saat ini hasilnya nihil. Tidak ada yang bisa digali mengenai hasil tes itu," kata Putri Hwa-young dengan lembut.
"Apakah Wang Hoo memiliki pendapat?" tanya Ibu Suri, yang menilai Wang Hoo Mama selalu bersikap bijaksana.
"Untuk saat ini kerajaan sudah berupaya mengumpulkan informasi, tetapi tentu akan memakan waktu sampai kita bisa menemukan bukti. Ada hal-hal yang menurut hamba terasa janggal, Mama."
"Apa itu?" tanya Ibu Suri.
"Hamba tidak ingin menuduh siapapun, namun sepertinya Nona Min menutupi banyak hal dengan sangat cerdas dan rapi. Tidak banyak yang bisa kita ketahui dari latar belakangnya maupun hasil tes yang dia berikan. Ini seperti sesuatu yang sudah direncanakan."
"Hamba setuju. Sepertinya ia bertindak dengan sangat hati-hati. Ia tahu bagaimana kita akan bertindak dalam hal ini," kata Raja Lee Hyeon.
"Untuk itu, apakah menurutmu mengawasinya dari dalam akan lebih mudah dibanding mengawasinya dari luar?" tanya Ibu Suri, yang semakin merasa berat dengan perbincangan itu.
"Ye, Mama. Namun yang hamba khawatirkan adalah kondisi Pi Koon jika ia mengetahui Nona Min akan memasuki istana," kata Wang Hoo Mama, menundukkan kepalanya ketika menyebut kata Pi Koon. "Jika itu memang langkah yang disetujui, Pi Koon harus bisa mengerti."
"Aku akan mengatakannya langsung pada Pi Koon," kata Ibu Suri.
"Maafkan hamba, Mama. Tapi menurut hamba orang yang harus mengatakannya adalah putra mahkota. Peristiwa ini telah memberikan jarak, dan mereka harus bisa kembali dengan bicara," kata Wang Hoo Mama.
Ibu Suri mengangguk setuju. Ia menghela nafas sebelum akhirnya bicara, "Jika memang ini langkah terbaik, kita akan mengundang Nona Min Hyo-rin untuk tinggal di istana sampai hasil tes dna dan bukti-buktinya kuat. Jika bukti itu benar adanya.. ini akan menjadi kali pertama di abad ini, seorang putra mahkota memiliki selir. Apakah kita setuju?" tanya Ibu Suri, di dalam hatinya merasa sangat bersalah.
***
Angin berhembus cukup kencang, meniupi setiap kain yang berada di sepanjang dermaga. Laut nampak sangat biru, semakin tua semakin jauh dipandang. Kapal-kapal memenuhi dermaga itu. Beberapa yang besar menutupi lautan di baliknya, tetapi meninggalkan sebagian pemandangan laut yang berhasil muncul dari celah-celah.
Di sudut itu, berdiri seorang gadis dengan tas besar di genggamannya. Dia terlihat sangat kecil, seakan tubuhnya kesulitan menenteng tas itu dan membuatnya harus menggenggamnya dengan dua tangan. Dia termenung, memandangi laut. Rambutnya yang terurai, berterbangan mengikuti angin dengan bebas.
Mungkin ini adalah pemandangan terakhir yang akan dia nikmati di pulau itu. Angin yang berhembus ini, bunyi air, dan pemandangan yang menenangkan, menjadi akhir yang sangat sempurna. Gadis itu tersenyum untuk waktu yang lama, hingga akhirnya sebuah suara menyadarkannya.
"Apa maksudnya?" tanya sebuah suara, yang baru saja sampai dan menghampiri gadis itu dari belakang.
"Kau betul-betul datang."
Pria itu sekarang berdiri di samping si gadis, memandangi laut biru yang sama.
"Aku akan pergi," kata gadis itu sambil tersenyum. "Aku.. harus pergi."
"Istana memintamu untuk tinggal."
Gadis itu terkejut. Dia melihat ke arah pria di sampingnya, yang tetap memandangi laut.
"Kenapa terkejut? Bukan ini yang kau mau?"
Seketika senyum gadis itu berubah kecut. "Apakah aku terlihat seperti pengemis? Oh, memang seperti itu. Bagi kalian aku hanya pengemis." Gadis itu menggenggam erat tasnya. "Aku tetap akan pergi."
Dia mulai melangkah menjauh, tetapi kemudian berhenti setelah tangan pria itu menahannya.
"Tinggal lah," kata pria itu. "Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiranmu dan mengapa kau mengambil keputusan seperti ini. Aku tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah."
Tiba-tiba gadis itu merasa tidak bisa bicara. Air matanya mulai mengalir, tapi dia tidak ingin pria itu tahu. Dia hanya diam, menunggu pria itu lanjut bicara.
"Aku telah menimbulkan banyak masalah untuk keluarga kerajaan. Aku merasa sangat ceroboh dalam bertindak. Semakin memikirkannya, aku semakin merasa bersalah pada Chae-kyeong. Aku tidak bisa berhenti minta maaf. Tapi hari ini, aku sadar aku juga melukai perasaanmu. Aku tidak tahu apakah kau berbohong atau ini memang salahku. Jika aku bersalah, maka aku harus memperbaikinya, dan berarti aku sudah menawarkannya padamu. Ini keputusanmu. Tentukan sendiri alurnya." Pria itu sekarang melepas tangan si gadis, kemudian berbalik ingin berjalan pergi. "Aku harap kau masih menjadi Hyo-rin yang kukenal."
To be continued..
*********************************
Annyeong, readers!
Sudah lama sekali semenjak terakhir Chloe melanjutkan cerita ini. Tidak terasa, bahkan cara menulis pun semakin berbeda. Kayaknya Chloe udah enggak seluwes dulu deh nulisnya hahaha. Banyak kata-kata yang gak dipikirkan ulang nyambung engganya. Efek semakin sibuk bekerja(?)
Maaf banget kali ini pendek sekali ceritanya, karena Chloe harus cicil di hari-hari yang sibuk ini, tapi udah ga sabar publish.
Terima kasih banyak dukungan kalian dan comment yang tentunya Chloe baca walau tidak dibalas karena bingung menjelaskan kapan akan dilanjutkannya hehehe. Berkat comment-comment, Chloe jadi semangat untuk nulis lagi. Respon di wattpad pun sangat baik, terima kasih semuanya!
Coba comment di bawah ya, pendapat kalian mengenai Chae-kyeong, apa yang sebaiknya dia lakukan setelah ini. Apakah mendukung Shin? Atau justru jauhin? Hehehe. Semua comment akan sangat berarti <3
Berlanjut ke part 9 :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Hours Fanfiction
RomanceCerita ini sudah Chloe buat sejak tahun 2013, dan masih berlanjut hingga sekarang 🌸 Masih menceritakan kisah kehidupan Chae-kyeong sebagai Putri dan Shin sebagai Pangeran, yang terus berlanjut hingga mereka semakin dewasa. Namun apa yang terjadi?! ...