Dua bulan berlalu sejak Aldi tinggal di kompleks kuil. Pemuda itu sudah mulai terbiasa dengan ritual-ritual tradisi Shinto di kuil itu, dari mulai misogi setiap pagi dan sore, membersihkan wilayah kuil setiap hari, membantu menjual pernik kuil, sampai membantu prosesi pemberkatan. Jujur, Aldi cukup menikmati hal-hal tersebut karena insting pemuda itu merasa tertantang untuk melakukan sesuatu yang baru. Aldi juga berharap dari lubuk hatinya, pengalaman-pengalaman baru itu bisa membebaskan dirinya dari trauma akan masa lalunya. Suatu pagi, saat makan bersama, Ketiga penghuni kompleks kuil itu duduk bersila makan di sebuah meja kayu pendek. Sebuah televisi tua menyala di hadapan mereka merupakan satu-satunya suara yang terdengar di ruangan itu.
"Aldi."
Suara kakek Yoshida memecah keheningan di antara mereka. Sae dan Aldi yang tadinya menatap layar televisi segera menoleh ke arah kakek itu.
"Jadilah seorang pendeta Shinto."
"Lanjutkan jalan hidupku."
Kata-kata yang keluar dari mulut kakeknya spontan memberikan tekanan pada diri pemuda itu.
Pemuda itu langsung teringat akan buku tulis dan pena pemberian orangtuanya.
Teringat akan orangtuanya.
Teringat akan mimpinya.
Seorang Penulis.
"TIDAK."
Suara tegas Aldi menggetarkan seisi ruangan itu seraya pemuda itu berdiri. Suasana ruangan itu seketika canggung. Suara televisi masih berputar tanpa henti, seolah menghiraukan apa yang terjadi di ruangan itu. Kakek pemuda itu seketika menatap cucunya yang berdiri itu. Sae yang ikut duduk disana terdiam dengan wajah cemas melihat apa yang terjadi. Gadis itu tahu bahwa Ia tidak boleh mencampuri urusan keluarga itu.
"Oh."
Ucapan itu keluar dari mulut kakek. Mendengar reaksi yang terasa tidak peduli itu, Aldi langsung beranjak keluar dari ruangan itu. Gadis kuil yang melihat itu hanya bisa memasang ekspresi pahit di wajahnya. Suara langkah sandal kayu terdengar dari luar ruangan itu, menunjukkan bahwa Aldi beranjak dari kediaman itu. Kakek yang mendengar suara itu pun kembali melanjutkan makannya.
"UHUK-UHUK!"
Suara batuk keras terdengar seraya kakek menjatuhkan mangkuk nasi dari tangannya. Sae yang melihat itu langsung bergerak ke samping kakek itu sambil membawa cangkir yang berisi teh hangat.
"Kakek Yoshida!"
Ucap gadis itu panik. Namun, kakek itu menahan gadis itu dengan isyarat tangannya. Kakek tua itu kemudian mengambil cangkir yang terbuat dari tanah liat itu dari tangan Sae.
"Tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa."
"Aku tidak boleh merebut masa depan bocah itu."
Suara kakek kini terdengar lebih lemah dibanding biasanya yang selalu tegas dan keras. Ia segera meneguk teh hangat yang ada di tangannya.
"Tolong jaga bocah itu."
Seolah mengetahui maksud kakek itu, Sae langsung beranjak dari ruangan itu dan menyusul Aldi.
Gadis itu segera bergerak mencari Aldi. Ia takut kalau pemuda itu minggat dari kompleks kuil itu. Setelah mencari ke seluruh wilayah kuil itu, tinggalah satu tempat yang ia belum datangi, Sungai kecil tempat misogi dilakukan. Setelah bergegas ke sungai itu, terlihatlah Aldi sedang duduk di bawah pohon. Pemuda itu sedang menulis sesuatu di buku tulis kecil miliknya.
"Aldi."
Suara lembut gadis itu membuat Aldi menoleh. Sae pun menghampiri pemuda itu dan duduk di sampingnya.
"Sedang menulis apa?"
Tanya gadis itu tertarik. Aldi pun hanya tersenyum sambil menunjukkan isi dari buku tulis itu. Buku tulis kecil itu berisi berbagai karya sastra yang dibuat oleh Aldi, dari mulai cerita hingga puisi. Sae yang melihat isi buku itu pun berdecak kagum.
"Mimpiku adalah menjadi seorang penulis."
"Lihat buku tulis itu dan pena ini?"
"Keduanya adalah pemberian orangtuaku saat kelulusanku."
"Mereka ingin aku mewujudkan mimpiku."
"Namun, aku juga harus kehilangan orangtuaku di hari yang sama."
Ekspresi gadis yang mendengar masa lalu Aldi pun langsung berubah manjadi pahit. Namun, pemuda itu langsung tersenyum seolah ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
"Maafkan kakekmu, Aldi."
"Kamu tahu? Kakek Yoshida sangat bahagia jika beliau melihat orang lain bahagia."
"Beliau memang keras, namun di dalam lubuk hatinya, beliau sangat baik."
"Jadi, tolong jangan benci kakekmu ya."
Sae tersenyum tulus. Pemuda yang melihat ekspresi gadis itu pun tergerak hatinya seolah tahu kenyataan dibalik kata-kata Sae. Namun, ekspresi tulus itu berubah menjadi kecemasan. Awan mendung seolah menutupi senyuman gadis itu.
"Kakek sebenarnya sakit-sakitan."
"Namun, beliau tetap bersikeras tidak mau ke dokter."
Aldi yang mendengar itu pun langsung kaget. Ekspresi cemas terlukis dari wajahnya.
"Tapi aku mohon Aldi, hal ini tidak usah kamu pikirkan."
"Itu juga pasti kemauan beliau."
"Kamu tahu? Sejak kamu datang kemari, Ia bersikap keras."
"Ia tidak mau cucunya mengkhawatirkan kakeknya."
Aldi makin memasang ekspresi pahit di wajahnya.
"Sae."
"Hmm?"
Jawab gadis itu penasaran.
"Kamu tahu?"
"Dulu, selama aku kecil, aku menetap di Jepang bersama orangtuaku."
"Kira-kira waktu itu sedang ada kerusuhan atau apalah, aku dengar dari Ayah."
"Nah, selama aku kecil, aku ingat, bahwa orangtuaku sering membawaku ke sebuah kuil."
"Disana, aku sering minta dibacakan berbagai macam cerita oleh seseorang."
"Ingatanku samar-samar mengenai orang itu, mungkin akibat kecelakaanku waktu itu."
Aldi menceritakan masa lalu dengan senyum lemah di wajahnya. Sae yang melihat itu pun mencoba menyemangati Aldi.
"Pasti orang itu adalah kakek Yoshida!"
"Itu pasti!"
Ucap Sae dengan antusias sambil tersenyum serius. Aldi pun tertegun melihat reaksi gadis itu.
"Begitukah?"
Jawab Aldi sambil tersenyum. Pemuda itu tahu bahwa gadis itu mencoba menghibur dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Identitas
Short StorySebuah cerita yang mengisahkan Aldi, seorang pemuda Indonesia keturunan Jepang yang mempunyai impian untuk menjadi seorang penulis. Namun benang takdir menuntunnya ke Jepang, dimana ia menemukan sebuah kenyataan yang berbeda dengan impiannya.