"Tu.. pai..."
"Tuan, sudah sampai."
Suara ramah sang sopir taksi membuatku terbangun dari tidur. Setelah sejenak menyadarkan diri, aku segera merogoh dompet dan mengeluarkan uang sejumlah biaya taksi tersebut. Di Jepang, penumpang tidak diperkenankan memberikan tip kepada sopir taksi. Setelah mengucapkan terima kasih dan menerima struk biaya, aku segera mengangkat carrier dan keluar dari taksi tersebut. Saat itulah juga, aku terkejut bukan main melihat apa yang ada di hadapanku. Sebuah gerbang yang mirip gapura besar berwarna merah berdiri kokoh seolah menyambut kedatanganku. Mulutku menganga seraya taksi dibelakangku melesat pergi dari hadapanku.
"Ini, rumah kakekku...?"
Ucapku yang telah diselimuti kebingunan.
Di tengah kebingunan itu, aku melihat sesosok gadis berpakaian putih dengan rok panjang berwarna merah terlihat sedang menyapu daun-daun yang jatuh dari pohon-pohon rindang di samping gerbang itu sambil diterangi matahari pagi. Sosok gadis itu sangat cocok jika digabungkan dengan pemandangan yang ada disekitarnya, memberikan kesan damai dan asri.
Aku segera menghampiri gadis itu dengan tujuan tentu saja bertanya alamat.
"Permisi, apakah benar disini kediaman Naoe Yoshida?"
Tanyaku ramah sambil menyodorkan kertas yang berisi alamat.
"Eh? Benar, kakek Yoshida melayani kuil ini."
"Anda siapa?"
Ucap gadis itu bingung melihat wajah yang tidak dikenalnya.
"Namaku Aldi Yoshida Wijaya, Naoe Yoshida adalah kakekku."
Jawabku memperkenalkan diri sambil tersenyum kaku dan mengulurkan tangan.
"Eh? Salam kenal..?"
Gadis itu makin kebingungan seraya menjabat tanganku. Sedetik kemudia, ekspresinya berubah total seolah baru mendapat pencerahan.
"Cucu dari kakek Yoshida!?"
"Ba-baiklah! Mari masuk!"
Ucap gadis itu dengan nada yang meninggi dengan ekspresi bingung bercampur panik di wajahnya. Aku yang melihat itu hanya bisa tersenyum kaku kebingungan. Aku dan gadis itu pun melangkah masuk ke dalam gerbang tersebut. Terlihatlah sebuah pekarangan luas yang dihiasi pohon-pohon rindang. Berdiri juga beberapa bangunan kuil tua di pekarangan tersebut. Aku yang baru pertama kali melihat pun tersenyum kagum melihat pemandangan asri itu.
"Di depan kita adalah kuil utama, untuk masuk, kita harus melewati gapura berwarna merah itu, gapura itu kita sebut Torii, tentu saja anda harus mencuci tangan dan mulut menggunakan air suci yang ada disamping Torii itu."
Ucap gadis itu menjelaskan sambil menunjuk gapura berwarna merah di depan kami. Aldi yang mendengar penjelasan itu pun menjadi antusias.
"Tapi sebelum itu, kita harus bertemu kakek dan menaruh barang-barangmu dulu."
"Lihat gedung yang disana?"
"Itu adalah kediaman tempat kita tinggal."
Gadis itu menunjuk ke arah kiri. Terlihatlah sebuah gedung yang arsitekturnya mirip dengan kuil utama. Aldi dan gadis itu lantas bergerak menuju gedung itu. Sesampainya di depan gedung, sesosok laki-laki paruh baya keluar dari gedung itu. Sosoknya mengenakan pakaian putih dan hitam yang mirip dengan pakaian tradisional jepang, kimono. Ia juga mengenakan sebuah topi kerucut hitam di kepalanya.
"Kakek Yoshida!"
"Jangan panggil aku kakek! Aku masih kuat seratus tahun lagi!"
Sang gadis dan kakek itu saling bertegur sapa. Kakek tua itu kemudian menatap ke arah Aldi. Aldi yang melihat tatapan itu pun langsung canggung.
"Jadi, kamu anak dari Soutarou?"
"Selamat pagi kakek! Terima kasih karena kakek berkenan menampungku disini!"
Dengan canggungnya, Aldi spontan memperkenalkan diri. Namun, raut wajah kakek itu tidak berubah maupun tersenyum. Aldi tentunya kebingungan dan takut jikalau ia mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya. Kakek itu kembali menatap gadis tadi.
"Sae, siapkan misogi."
"bocah ini tentunya perlu melakukan misogi terlebih dahulu untuk tinggal di tempat ini."
Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah keluar menuju kuil utama. Aldi yang mendapat reaksi dingin dari kakeknya hanya bisa tersenyum canggung. Gadis yang melihat hal tersebut pun hanya bisa menyimpan unek-uneknya dalam hati. Ia kemudian menghampiri Aldi dan menggenggam tangannya.
"Oh iya, kenalkan, namaku Saeko Minami, panggil saja Sae."
"Ayo masuk Aldi, kita harus menyiapkan misogi untukmu."
Ucap Sae mengajak Aldi masuk ke dalam kediaman itu. Melihat senyum di wajah Sae, Aldi langsung beranjak masuk ke dalam gedung tersebut seolah tahu bahwa gadis itu sedang mencoba menghibur dirinya.
"Ngomong-ngomong, misogi itu apa ya?"
Tanya Aldi sambil menaruh tas bawaannya. Aldi memang sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan kakeknya tadi. Sae yang mendengar pertanyaan itu pun lantas tertawa kecil sambil membuka lemari yang ada disampingnya. Ia mengambil sebuah pakaian putih dan memberikannya kepada Aldi.
"Misogi adalah sebuah ritual menyucikan diri, atau bisa dibilang membersihkan diri."
"Apalagi mulai hari ini, Aldi akan ikut tinggal di tempat ini, komplek ini bisa dibilang suci loh."
"Makanya, cepat ganti bajumu, aku juga akan ganti baju di kamar sebelah."
Setelah berkata demikian, Sae keluar dari ruangan itu dan menutup pintu dengan cara menggesernya. Memang, kediaman itu mayoritas berbahan kayu dan semuanya menggunakan pintu geser.
"Menyucikan diri kah?"
Gumam Aldi sambil mengganti bajunya dengan pakaian serba putih yang diberikan oleh Sae tadi. Pakaian itu mirip dengan kimono, namun ditujukan untuk laki-laki. Pakaian itu dikenal dengan nama hakama. Setelah selesai mengganti pakaian, Aldi beranjak keluar gedung. Ketika sampai diluar, Sae terlihat mengenakan pakaian putih-putih juga dan sudah siap menunggu pemuda itu.
"Siap? Mari kita berangkat menuju kuil utama."
"Ba-baiklah."
Mereka berdua pun melangkah menuju kuil utama untuk mempersiapkan misogi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Identitas
Storie breviSebuah cerita yang mengisahkan Aldi, seorang pemuda Indonesia keturunan Jepang yang mempunyai impian untuk menjadi seorang penulis. Namun benang takdir menuntunnya ke Jepang, dimana ia menemukan sebuah kenyataan yang berbeda dengan impiannya.