"Aldi, Sae."
Suara tegas terdengar memecah keheningan Aldi dan Sae. Mereka berdua pun menoleh ke arah suara itu. Telihatlah kakek sedang berdiri dengan pakaian ritual lengkap.
"Bantu aku."
"Ada upacara pernikahan."
Sae langsung mengangguk dan mengajak Aldi berdiri. Kata-kata yang diucapkan oleh Sae masih berkecamuk dalam diri Aldi.
Aldi mengambil baskom kayu besar dan mengisinya dengan air suci yang biasa digunakan untuk membilas diri sebelum memasuki wilayah kuil. Setelah membawanya ke kuil utama, pemuda itu kembali ke gudang untuk mengambil meja kayu. Dua meja kayu, membuat pemuda itu harus bolak-balik ke gudang. Sementara itu, Sae bergerak menuju ke rumah untuk mengambil sake yang nanti digunakan saat upacara. Gadis itu juga mengambil dua buah ranting pohon sakaki. Sesaat kemudian, kedua mempelai datang, didampingi oleh keluarga dan undangan memenuhi kuil utama.
Aldi dan Sae berdiri di pinggir kuil, sementara Kakek berdiri di depan kuil menghadap mempelai dan undangan. Kakek kemudian membungkuk yang kemudian diikuti oleh semua orang disitu. Setelah penghormatan, kedua mempelai melakukan ritual yang dinamakan Shubatsu, yaitu pembilasan tangan dan mulut menggunakan air suci. Prosesi dilanjutkan dengan Norito-sojo, dimana kakek selaku pendeta, memberkati dan mengumumkan pernikahan. Semua hadirin berdiri dan membungkuk hormat di akhir prosesi ini. Upacara pernikahan Shinto dilanjutkan dengan San San Kudo, yaitu pertukaran sake antar mempelai. Mempelai pria dan mempelai wanita bergantian meminum sake dari tiga ukuran gelas yang berbeda. Pembagian sake dilakukan oleh Sae, sedangkan kakek hanya melihat. Kakek tua itu melirik ke arah cucunya dan kemudian mengajaknya untuk berdiri disampingnya. Aldi yang melihat itu pun langsung bergerak. Prosesi dilanjutkan dengan Seishi Sodoku, atau pengucapan janji perkawinan. Kedua mempelai mengucapkan janji perkawinan secara bergantian dengan saura lantang dan jelas. Setelah janji perkawinan, Sae mengambil kedua ranting pohon sakaki yang telah disiapkan dan memberikannya kepada kedua mempelai. Kedua mempelai kemudian bergerak menuju altar kuil dan menaruh kedua ranting tersebut di atasnya. Keduanya lalu memanjatkan doa-doa yang diakhiri dengan membungkuk dua kali dan menepuk tangan dua kali. Prosesi ini dikenal dengan sebutan Tamagushi Hoten. Puncak dari upacara ini adalah pertukaran cincin perkawinan. Kedua mempelai saling menukarkan cincin perkawinan. Setelah pertukaran cincin selesai, Kakek kembali menunduk dan diikuti oleh seluruh hadirin. Dengan penghormatan tersebut, upacara perkawinan dinyatakan selesai.
Riuh tepuk tangan dan ucapan selamat pun terdengar dari para undangan. Kebahagian dan syukur terpancarkan dari kerumunan itu.
"Lihat, Aldi."
Aldi tertegun dan menoleh ke arah kakeknya. Terlihatlah senyum tulus terpancarkan dari wajah kakeknya yang melihat situasi tersebut.
"Hal yang paling bahagia dalam hidup ini, bukankah jika kita berguna bagi orang lain, dan juga kita dapat membuat orang lain bahagia dan bersyukur?"
Ucapan lembut yang keluar dari mulut sang kakek membuat Aldi tertegun. Jadi ini yang dimaksud oleh kakek dan Sae, sahutnya dalam hati. Tanpa pemuda itu sadari, Ia tersenyum puas melihat riuh kebahagian orang-orang yang ada disitu. Sae yang melihat Aldi itu pun ikut tersenyum lega.
"Mungkin benar juga."
Ucap pemuda itu pelan.
***
Sorenya, hari yang sama, Aldi terlihat sedang menyapu daun-daun yang berserakan di wilayah kuil utama. Pengunjung yang datang saat itu cukup banyak. Ketika sedang asik menyapu, Ia melihat sepasang pengunjung yang sedang kebingungan. Dari kejauhan, terdengar bahasa yang tidak asing lagi bagi pemuda itu, Bahasa Indonesia. Pemuda itu pun segera menghampiri pasangan tersebut.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Ucap Aldi menggunakan bahasa Indonesia.
Pasangan tersebut pun terkejut dengan kefasihan Aldi.
"Kamu lancar berbahasa Indonesia, kamu orang Indonesia?"
"Iya! Kamu orang Indonesia ya!"
Ucap pasangan itu antusias setelah melirik bentuk wajah dan warna kulit Aldi. Aldi pun tersenyum canggung melihat reaksi pasangan tersebut.
"Nama saya Aldi, saya orang Indonesia."
"Aldi ya? Sedang apa disini? Kok kerja di kuil?"
"Ya begitulah. Haha."
Aldi sempat tertegun karena pertanyaan pengunjung itu. Namun, melihat reaksi Aldi, si pengunjung wanita semakin penasaran.
"Kok orang Indonesia kerja di kuil?"
"Memang bisa?"
"Kamu tinggal di Jepang? Terus, bagaimana dengan Indonesia?"'
Berbagai pertanyaan sensitif keluar dari mulut si pengunjung wanita, membuat Aldi semakin tidak nyaman. Dalam lubuk hati, pemuda itu tertegun atas pertanyaan terakhir sang wanita. Membuat dirinya memikirkan kembali apa yang dia lakukan di tempat itu. Benar, dia adalah orang Indonesia, namun dia juga orang Jepang. Ditambah lagi, dengan budaya yang sangat berbeda. Orang Indonesia menjadi pelayan kuil Shinto, dalam hatinya, Aldi semakin berkecamuk. Ekspresi ketidakpastian semakin terpancar dari wajahnya.
"Hush! Jangan bicara sembarangan!"
Si pengunjung pria menegur pasangannya. Sang pria tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan si wanita sangat membuat pemuda itu tidak nyaman. Ia pun segera menarik sang wanita dan membungkuk.
"Maafkan kami ya."
"Tidak usah dipikirkan!"
Setelah itu mereka berdua pergi meninggalkan pemuda malang itu. Tidak usah dipikirkan, malah justru sebaliknya, perkataan-perkataan pengunjung tadi membuat hati pemuda tersebut kacau-balau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Identitas
Short StorySebuah cerita yang mengisahkan Aldi, seorang pemuda Indonesia keturunan Jepang yang mempunyai impian untuk menjadi seorang penulis. Namun benang takdir menuntunnya ke Jepang, dimana ia menemukan sebuah kenyataan yang berbeda dengan impiannya.