Malamnya, pemuda itu masih tenggelam dalam ucapan-ucapan pasangan tadi. Ia berdiam diri memandang langit malam lewat jendela geser di kamarnya.
"Apa yang harus kupilih, Ayah, Ibu."
"BRAK!"
Suara keras pintu kamar pemuda tersebut terdengar. Terlihatlah, Sae dengan wajah yang berlinang air mata. Aldi spontan kaget dan bertanya-tanya.
"Kakek! Kakek Yoshida! Aldi!"
Ucap gadis itu histeris. Teriakan itu langsung menusuk hati Aldi seolah pemuda itu tahu apa yang terjadi pada kakeknya.
"KAKEK!"
***
"Kenapa saudara baru lapor ke saya sekarang."
"Ini gejala penyakit pneumonia."
"Karena dari awal tidak ditangani dengan cepat, kondisi ini sudah terlalu parah."
Jelas dokter seraya melepas stetoskop dari telinganya. Aldi terdiam menatap kakeknya yang terkulai lemas di kasur sambil merangkul Sae yang menangis. Sang dokter kemudian menghela nafas, seolah tahu bahwa kakek itu sudah tidak terselamatkan setelah melihat tisu yang penuh dengan bercak darah tergeletak disampingnya. Kakek Yoshida masih sadar. Raut wajahnya terlihat lemah, seolah sedang berusaha menahan sakit yang luar biasa. Nafasnya berat, menunjukkan bahwa Ia kesulitan bernafas. Aldi yang melihat reaksi dokter itu pun langsung geram. Pemuda itu kemudian menarik kerah sang dokter.
"DOKTER! Kakek bisa diobati kan!? Bisa kan!?"
"Mungkin bisa! Tapi kalau dilihat, gejalanya sudah terlalu parah!"
"Lagipula tempat ini jauh dari rumah sakit! Saya kira, tidak akan sempat!"
"Aldi!"
Sang dokter meronta-ronta tidak nyaman karena merasa diintimidasi oleh Aldi. Sae yang melihat itu pun langsung menahan Aldi dari belakang. Sang gadis membenamkan wajahnya di punggung Aldi. Pemuda itu pun spontan berlinang air mata.
"ALDI."
Suara berat sang kakek terdengar. Aldi pun tertegun dan segera menoleh ke kakeknya.
"Tidak apa-apa."
"Memang, waktuku sudah habis."
"KAKEK! JANGAN BICARA SEPERTI ITU!"
Sang pemuda menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tidak mau menerima kenyataan yang ada. Tangisan Sae semakin histeris. Dokter yang melihat itu hanya bisa terdiam.
"Aldi."
"Katanya, kamu mau jadi penulis ya?"
"Sayang sekali ya, Aku tidak punya waktu untuk membaca karyamu."
"Suatu saat nanti, semoga kamu bisa menjadi seorang penulis yang hebat."
Kata-kata yang keluar dari mulut sang kakek meluluhkan hati Aldi.
Kini ia sadar, perkataan itu sangat berarti baginya. Kalimat yang sama persis dengan kalimat yang diucapkan kepadanya semasa kecil, ketika ia duduk di pangkuan seseorang, ketika ia dibacakan berbagai cerita oleh seseorang.
Seseorang dengan senyuman tulus di wajahnya.
Seseorang.
Orang itu tak lain tak bukan adalah Kakeknya.
Kakek Yoshida.
Dialah orang yang membuat Aldi bertekad menjadi penulis.
Air mata pemuda itu pun tidak terbendung lagi. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ia besyukur, sangat bersyukur. Aldi kemudian teringat oleh senyuman kakeknya yang pertama kali Ia lihat secara langsung. Pemuda itu juga teringat akan perkataan kakeknya waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Identitas
Short StorySebuah cerita yang mengisahkan Aldi, seorang pemuda Indonesia keturunan Jepang yang mempunyai impian untuk menjadi seorang penulis. Namun benang takdir menuntunnya ke Jepang, dimana ia menemukan sebuah kenyataan yang berbeda dengan impiannya.