Chapter 6

3 1 0
                                    

Jarum panjang menunjuk angka 5. Matahari memancarkan warna semburat orange. Aku masih berdiri di antara rak-rak buku sambil menata buku yang baru saja dikembalikan pemustaka. 2 jam setelah server kembali semuanya juga ikut lancar kembali. Peminjaman berjalan lancar, pendaftaraan anggota sudah bisa dilakukan, dan pendataan buku masuk juga.

"Halo. Ini siapa ya?" jawabku pada panggilan dari orang yang tidak kuketahui itu.

"Ini benar dengan Mas Adji?" tanya suara perempuan di balik telepon itu.

"Iya benar."

"Mas Adji, maaf mengganggu. Anna sore ini pergi ke TKP si eksibisionisme, dia pergi sendirian. Dia juga bilang kalau dia ketemu sama pelakunya dia akan langsung wawancara orang itu. Saya takut dia kenapa-kenapa. Bisa tolong susul dia?!" jelas perempuan itu dengan terburu-buru. "Saya seniornya, Riana."

Tanpa bicara lagi aku langsung menutup telepon itu dan bergegas mengambil kunci mobill serta tasku menuju tempat Anna. Aku hanya tak habis pikir kenapa orang itu selalu terjun dalam bahaya. Kenapa Anna selalu terjun dalam bahaya sendirian?

***

"Jangan. Jangan. Jangan sakiti aku. To...tolong. Tolong!" Aku berteriak sambil menangis keras. Teriakanku seperti tidak ada gunanya di tempat sesepi ini.

"Tolong! Tolong! Aku gak akan tayangkan berita ini. Jangan sakiti aku, tolong." Pintaku seolah ini adalah akhir bagiku.

Orang di depanku mendekap memelukku yang masih terduduk di tanah. Orang itu memelukku erat dan menepuk punggungku perlahan. Sementara aku masih menangis dan ketakutan walau orang itu bukan menyakitiku justru ia menenangkanku. Pelukannya begitu erat sampai aku bisa merasakan bahwa orang itu juga sedang menangis sambil memelukku.

"Anna," aku mengenali suaranya. "Tenang dulu. Kamu aman sekarang. Aku sudah datang." Ujar Mas Adji.

"..." aku menangis dalam pelukan yang hangat itu. Pikiranku kacau, aku masih ketakutan dan detak jantungku juga tidak beraturan karena lari seperti atlet. Mas Adji terus memelukku sampai aku benar-benar tenang. Orang-orang yang tadi mengejarku sepertinya juga sudah pergi karena tahu ada orang lain yang datang.

Orang baru yang datang dalam kehidupanku ini berlari secepat mungkin. Berlari dan datang menjemputku seolah aku adalah keberuntungan bukannya bom waktu. Dia, orang ini apakah bisa menjadi penjinak bom waktu? Aku terus berpikir itu dalam pikiranku yang kacau dalam dekapannya yang hangat.

Setelah menenangkan diriku selama hampir 25 menit yang terkapar di tanah karena jatuh, akhirnya aku dan Mas Adji berjalan menuju mobilnya yang terparkir cukup jauh di luar gang. Gang ini memang sangat kecil, bahkan motor saja harus satu-satu. Aku berjalan dengan kaki tertatih. Mana ada atlet lari pakai sepatu hak tinggi, pantas saja kakiku lecet kayak gini. Aku menahan rasa sakitnya sambil berjalan pelan di sebelah Mas Adji. Aku terus memandang wajah Mas Adji yang terlihat merah dan berkeringat, mungkin karena lari menyusulku.

"Mas, gak apa-apa? Itu sampe merah gitu. Eh, bentar deh aku kayaknya bawa saputangan. Dimana ya?" ujarku sambil mencarinya di dalam tasku.

"Anna,"

"..." aku masih sibuk mencari sampai mengabaikannya.

"Anna," aku yang masih sibuk hanya diam. "ANNA!" bentaknya.

Aku langsung menatap Mas Adji yang berdiri di depanku. Raut wajahnya berubah, dahinya mengekerut, dan matanya sedikit melotot. "Iya, Mas."

"Anna, berhenti. Berhenti buat dirimu dalam bahaya. Kenapa kamu selalu terjun dalam bahaya sendirian? Apa itu menyenangkan? Menyenangkan bagimu membuat orang sekitarmu khawatir." Katanya dengan nada tinggi.

Daftar Pustaka HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang