Chapter 7

2 1 0
                                    

Perawakan tua sekitar umur 30an ke atas, tinggi badan tidak lebih dari tinggiku, dan memakai kacamata itulah deskripsi dari kurir paket itu. Deskripsi ini tidak nampak sepertiku, aku mengamati setiap karyawan yang ada di Perpusnas ini. Jelas orang ini adalah laki-laki, karyawan disini rata-rata umurnya 30an ke atas lalu siapa diantara semua orang disini.

"Adji, itu buku udah aku tata di rak. Sebagian buku juga udah aku klasifikasi sesuai subyek, tapi belum ditata di rak. Terus aku keluar bentar ya, ada yang penting. Bye." Ujar Mas Rizal meninggalkan Perpusnas dengan buru-buru.

Belum sempat menjawab Mas Rizal sudah pergi dengan langkah seribunya. Dari situ aku menyadari sesuatu yang tidak pernah terlintas dipikiranku. Usia Mas Rizal lebih dari 30 tahun, tingginya tidak lebih dari aku, dan memakai kacamata. Aku mencari foto Mas Rizal dan segera mengirimkan foto itu pada kurir yang waktu itu mengantar, aku menanyakan apakah Mas Rizal yang menerima paket itu di basement bukannya di lobby Perpusnas.

Sekitar 30 menit lamanya menunggu, akhirnya pesan itu dibalas. Layar handphoneku yang saat ini terbuka whatsapp dengan nama di atasnya 'kurir penerbit' dan pesan teks di dalamnya yang bertuliskan 'orang itu hampir mirip dengan orang di foto, tidak begitu jelas karena saat itu ia memakai topi.' Aku terdiam sejenak menatap layar handphoneku, orang yang selama ini menjadi senior dan teman kerja yang baik justru menusukku dari belakang. Aku belum yakin akan itu dan akan kubuktikan itu bukan Mas Rizal.

***

Langit sudah tidak menampakan sinarnya, bintang-bintang mulai melakukan tugasnya memberikan cahaya indah walau bintang itu hanyalah sebuah lampu yang menyala dari gedung-gedung dan lampu jalan. Langit memang sudah gelap namun aku disini masih sibuk dengan pekerjaanku. Mas Rizal yang tiba-tiba pergi begitu saja dan belum kembali sampai perpustakaan tutup.

Perpustakaan sudah sepi aku memutuskan pergi melihat basement karena aku masih penasaran dengan mobil yang selalu terparkir itu. Tepat seperti dugaanku mobil itu masih saja disitu walau perpustakaan sudah tutup. Aku mencoba membuka pintu yang ada di belakang mobil itu dan hasilnya gagal membuka. Aku menghentikan kegiatanku di basement saat melihat pesan dari Anna. Aku bergegas membawa mobilku menuju kantor Anna yang sudah menungguku.

***

"Jadi, Mas curiga sama Mas Rizal?" tanya Anna sambil menyantap bakmi goreng yang ada di depannya.

"Aku belum yakin, belakangan hari ini Mas Rizal sering banget ijin keluar waktu jam kerja. Itu aneh." Jelasku.

"Ah, aku baru ingat. Waktu aku pertama kali datang ke perpusnas aku pernah dengar Mas Rizal ngomong sama Pak Bagus. Dia bilang minta gajinya dibayar dimuka karena ada keperluan mendesak, kayaknya anaknya sakit parah. Mungkin itu alasan dia sering ijin keluar."

Aku benar-benar tidak tahu bahwa Mas Rizal menyembunyikan kesedihan itu dariku. Kenapa dia tidak pernah cerita. "Waktuku gak banyak, Pak Bagus terus-terusan minta penjelasan aku soal buku yang gak ada itu."

Anna menepuk pundakku perlahan, "tenang, semua akan baik-baik saja."

"Baiklah."

"Aku kok gak pernah liat orang tua Mas Adji di rumah?"

"Orang tuaku tinggal di Yogyakarta. Aku di Jakarta berdua sama Hexa karena dia pengen kuliah di UI."

"Oh, kenapa Hexa gak kuliah di UGM aja?"

"Gak ada jurusan ilmu perpustakaan di UGM. Katanya sih dia mau jadi kayak aku."

Suasana di Perpusnas memang sedang kacau, tapi mengobrol dengan Anna dapat meringankan masalahku satu per satu. Malam semakin larut aku memutuskan mengantar Anna pulang agar dia tidak kelelahan kerja esok hari. Anna selalu mengatakan semua tidak apa-apa kepada orang lain, tapi dia tidak bisa mengatakan tidak apa-apa pada dirinya sendiri.

***

Keesokan harinya aku menanyakan hal itu kepada Mas Rizal. Bukan tentang seseorang yang mirip dia di cctv namun tentang anaknya yang sedang sakit. Mas Rizal mempunyai 2 orang anak, yang pertama sudah kelas 6 SD dan yang kedua masih kelas 1 SD. Mas Rizal merawat anaknya sendiri karena istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku pikir akan lebih baik jika aku membantunya dan menyingkirkan perasaan curiga kepadanya.

"Mas Rizal. Apa Tania lagi sakit?"

"Iya, tapi sakit biasa kok." Jawabnya sambil merapikan buku-buku yang ada di rak.

"Sakit apa? Di rumah sakit mana?"

"Gak apa, Dji. Udah baikan kok, besok dia boleh pulang." Seakan mas Rizal tahu bahwa aku ingin menjenguk Tania.

"Mas, kalau ada kesulitan jangan sungkan-sungkan minta bantuanku. Aku pasti bantu semampuku." Ujarku sambil berlalu pergi meninggalkan mas Rizal yang masih sibuk merapikan buku di rak.

"Adji, maaf. Untuk yang terjadi selama ini. Apa yang terjadi nanti tolong jaga anakku," ujar mas Rizal agak keras memanggilku yang sudah berjalan beberapa langkah dari tempatnya. "Dan Adji jangan terlalu percaya pada orang lain yang bisa menyakitimu."

Aku berbalik, "iya mas." Jawabku.

Aku ragu jika mas Rizal yang melakukan itu padaku, dia benar-benar baik. Dia melakukan segalanya agar anaknya bisa sekolah dan sehat kembali. Namun ucapannya yang tadi membuatku ingin tahu apa yang ia sembunyikan selain anaknya yang sakit. Aku harap yang ia sembunyikan bukan hal yang aku curigai selama ini.

***

Hari sudah malam, matahari sudah berganti dengan bulan. Basement Perpusnas yang pada siang hari selalu ramai dengan mobil yang terparkir dan pada malam hari sangat sepi. Aku berdiri di samping mobil hitam milik mas Adji menunggunya selesai bekerja. Saat menunggu di tempat sepi dan gelap menjadi kesempatan melihat pelaku itu. Ada orang yang mendekati pintu dibelakang mobil yang selalu terparkir disitu. Basement terlalu gelap untuk bisa melihat wajahnya dengan jelas. Aku berjalan mendekati orang itu yang sedang berusaha membuka kunci pintu itu, kamera handphone yang sudah menyala sedari tadi untuk merekam kejadian itu sebagai bukti.

Apa yang selama ini dicari Mas Adji ternyata ada di ruangan itu. Ruangan yang tidak cukup besar namun berisi banyak tumpukan kardus berisi buku-buku dari penerbit. Aku memberanikan diriku untuk menguak dalang dibalik semua itu. Aku menepuk pundak orang di depanku itu. Mataku terbelalak melihat siapa dibalik semua itu, "hah? Bu Lisa?" aku masih tidak percaya orang berkacamata dan memakai topi itu adalah Bu Lisa atasan Mas Adji.

"Anna?! Kenapa kamu disini?" tanyanya yang sama kagetnya denganku.

"Aku nunggu Mas Adji. Wah, aku gak percaya ini. Jadi, orang yang selama ini Mas Adji cari yang mengacaukan pekerjaannya itu bu Lisa?"

"Bukan. Bukan aku!" kata Bu Lisa dengan suara keras.

"Lalu siapa?"

"Apa yang kamu lakukan? Kamu rekam kelakuanku dengan handphonemu? HAH?!" Bu Lisa mengambil handphone dari tanganku dan membantingnya.

Aku terkejut melihat yang ia perbuat sekarang, "untuk apa? Untuk apa Bu Lisa melakukan ini semua?"

"Kamu tahu, sejak Adji masuk kantor ini aku kagum dengan sikapnya yang selalu sigap bekerja, rajin dan hal lainnya. Namun semakin lama dia menjadi karyawan andalan pak Bagus dan dia akan segera dipromosikan jadi manajer. Itu menggeser posisiku dan aku terancam, jadilah semua rencana ini." Jelasnya dengan nada tinggi. "Memanggil reporter ke dalam perpustakaan juga bagian dari rencanaku. Aku ingin menghancurkan Adji dengan berita bohong yang dibawa reporter itu ke dalam beritanya."

Bu Lisa berjalan mendekatiku dan menarik kerah bajuku. Dia mencengkeram leherku begitu kuat sehingga tidak ada yang bisa dia lakukan, kemudian ia mendorong badanku yang sudah lemas ke dalam ruangan kecil berisi buku dari penerbit dan menguncinya dari luar. Aku tidak berdaya untuk berteriak atau pun berdiri ke arah pintu. Akhirnya aku terduduk lemas dalam ruangan sempit itu. Tak ada satu pun suara terdengar dari luar ruangan, jika ada pun aku sudah tidak sanggup berteriak.

Handphoneku rusak, aku tidak bisa meminta bantuan orang lain. Aku harus menunggu orang mendengar ketukan tanganku yang tidak cukup keras. Aku bersendar dibalik pintu ruangan itu sambil terus mengetuk-ngetuk harap-harap ada yang mendengar. Ruangan ini begitu sesak dan sempit bahkan udara yang ada di ruangan ini sangat sedikit kurasa, napasku sesak berada di ruangan ini terus. Penglihatanku mulai kabur karena kekurangan oksigen.

***

Segeralah datang. Bom waktu ini semakin kehilangan waktu. Hentikan waktu yang terus berjalan ini. –Anna

Daftar Pustaka HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang