Chapter 4

3 1 0
                                    

Sudah tiga kali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di tangan kiriku. Jarum pendek menunjukkan pukul 9, aku kemudian melirik meja kerja disamping mejaku. Mataku selalu tertuju pada pintu lift di lantai 2 itu, lebih-lebih saat pintu itu terbuka membawa berbagai orang menuruni lift. Setiap cewek berbadan mungil memakai blazer selalu menarik perhatian mataku, tapi ternyata itu bukan cewek berbadan mungil yang aku cari.

"Cari siapa sih, Dji?" suara Mas Rizal membuyarkan lamunanku yang terlalu fokus pada pintu lift.

"Cari Anna," aku menyadari ucapanku begitu fatal. "Maksudku cari data penerbit bulan lalu."

"Emang data penerbit tertempel di pintu lift ya?" canda Mas Rizal yang tertawa melihat tingkah gugupku.

Aku melirik handphone yang sedari tadi tidak berbunyi sekali pun. Layar handphoneku hanya ada notif dari tagihan listrik, air, dan kartu kredit. Tak ada satu pun pesan dari Anna. Aku tahu, Anna bekerja disini hanya 3 kali dalam seminggu dan aku baru ingat dia sudah punya suami.

Tiba-tiba handphoneku bergetar dan di layarnya terlihat satu notif pesan dari seorang bernama Anna. 'Mas, makan siang bareng yuk nanti. Aku tunggu di depan Perpustakaan ya.' Pesan singkat itu seketika membuatku ingin merebutnya dari suaminya. Tidak itu hanya bercanda.

***

Aku menyibukkan diri dengan mencari buku yang hilang, mengecek semua cctv yang ada di dalam perpustakaan. Satu per satu cctv tiap lantai aku amati, ini mungkin satu-satunya cara menemukan buku itu karena jika pihak penerbit selalu mengirimkan buku langsung ke perpustakaan seharusnya buku itu juga tidak bisa hilang jauh kecuali buku itu punya kaki. "Ah, buku gak mungkin punya kaki, tapi manusia punya kaki yang berarti ada yang menerima buku itu sebelum aku cek."

Suasana kantor yang tadinya sepi menjadi ramai entah karena apa. Semua orang membicarakan demo yang tiba-tiba saja rusuh. Aku tidak tahan dengan mereka yang berisik, "woy, apa sih berisik banget?!" bentakku.

"Adji, lihat nih." Salah satu karyawan menunjukkan suatu video. "Demo para buruh, awalnya damai tapi tiba-tiba rusuh kayak gini, semua stasiun tv pasti lagi di TKP nih. Kasian para reporter disana, bisa aja kan terluka." Karyawan itu berbicara panjang lebar.

Pikiranku sudah tidak fokus pada rekaman cctv di depanku, aku memikirkan Anna yang pasti ada di TKP untuk melaporkan berita itu. Aku langsung mengambil kunci mobil dan berlari menuju parkiran. Sepanjang jalan aku berharap ia akan baik-baik saja. "Anna, aku datang."

***

Video itu benar, demo itu berujung rusuh. Gas air mata mulai dilemparkan oleh petugas yang berjaga di depan kantor itu. Para pendemo tidak mau kalah, mereka melemparkan batu ke arah petugas. Tak mau buang-buang waktu, aku berlari mencari reporter dengan seragam bertuliskan NEZ. Aku kesulitan mencari Anna di tengah-tengah ribuan orang ini. Aku melihat beberapa reporter mundur ke daerah aman, mengurungkan niat untuk melaporkan berita. Namun, dari sekian reporter yang mundur aku tidak melihat Anna ada di barisan aman itu.

"Anda melihat reporter dari NEZ?" tanyaku pada seorang reporter yang akan mundur dari TKP.

"Ah, sepertinya NEZ masih ada di TKP." Reporter itu berlari mundur dari TKP.

"Anna. Anna!" panggiku di tengah keributan buruh itu. Aku tahu usahaku berteriak akan sia-sia, tapi setidaknya aku mencoba.

Aku terus berlari semakin dalam di dalam kerusuhan demo itu. Mataku berkeliling melihat sekitar, melihat cewek mungil itu. Beberapa gas air mata sempat melintas melewatiku membuat penglihatanku mulai tidak jelas. Beberapa batu juga hampir mengenaiku dan aku coba menghindar.

Di tengah keputusasaanku mencarinya, aku melihat dua orang berseragam NEZ tidak jauh diriku. Tepat saat itu juga aku melihat batu melambung ke arah Anna. "Anna, awas!" teriakanku tidak terdengar di tengah keributan.

Daftar Pustaka HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang