Kenapa Masih Mendamba?

63 13 3
                                    

Rasanya, semuanya nggak akan pernah berhenti. Apa kesalahan yang pernah gue lakukan sampai gue harus berkutat dengan kondisi seperti ini. Gue nggak pernah mengingat untuk memilih dilahirkan kaya gini.

Berjuang. Berusaha. Tapi nggak sedikit pun membaik. Bunda, Ayah, siapapun tolongin gue. Haha, tapi apa mereka mau nolong gue? Gue cuman benalu, nggak berguna, dongo dan tolol.

Semuanya, sakit.

KMH

Naya membisu. Lembar ketiga dari buku harian Minhee sudah mampu membuatnya merasa tertohok. Kata demi kata yang tertuang dalam selembar kertas tersebut terasa menyayat. Naya tidak pernah tahu, selembar kertas lapuk bisa terasa sama menyakitkan dengan sebilah pisau.

Dalam sendu yang mencekam, Naya bisa membayangkan bagaimana wajah Minhee yang tengah kesakitan. Seperti waktu itu, hari dimana Naya meminta penjelasan dari Minhee yang berujung dengan terkuaknya sosok rapuh dari Minhee yang sempurna.

Dadanya terasa ikut sesak. Naya mengigit bibir bawahnya berusaha menahan isak tangis. Namun seolah percuma, tulisan Minhee punya sihir yang lebih kuat dari sekedar tekad Naya. Karena pada akhirnya tetesan air mata tetap mengalir dari sudut matanya.

Dengan tangan yang terkepal, Naya merutuki dirinya sendiri. Merasa gagal sebagai sosok terdekat dari cowok tersebut. Selama ini, Minhee selalu mencoba menjadi baju zirah yang tahan banting. Naya merasa dia terlalu egois selama ini.

Menuntut segalanya tanpa sadar kalau sekedar bicara juga menyulitkan.

Orang tua serta sahabat karibnya saja tidak dia biarkan untuk berbagi beban. apalagi Naya yang baru datang ke dalam lingkup terdekat Minhee setahun kebelakang. Naya tidak tahu diri, ya.

Malam ini purnama sedang menghiasi langit ibu kota. Biasanya, Naya sedang berada di balkon tingkat dua rumahnya. Sekedar mengemil sambil menatap langit kelam dengan beberapa benda yang perpijar. Tapi khusus malam ini, atau malah malam-malam selanjutnya Naya tidak akan berada di sana.

Kedepannya Naya mungkin akan seperti ini. Terlarut dalam rasa sedih sebab Minhee yang tersesat. Naya tidak bisa jadi apatis, sekedar membaca tanpa merasakan emosi yang tersalur pada tiap-tiap kata yang tertuang dalam buku lusuh tersebut.

Jika saat ini Naya porak poranda lantas bagaimana dengan Minhee pada saat itu?

Naya larut dalam kesedihannya dalam waktu yang cukup lama hingga dia menyadari bahwa ponsel miliknya sedang berdering. Cewek itu sempat merasa malas untuk menanggapi panggilan tersebut. Namun, ketika nama dari seseorang yang dia tengah tangisi itu muncul di layar ponsel, Naya segera menghentikan tangisnya.

Naya mengatur deru napas yang masih sesenggukan terlebih dahulu sebelum menjawab panggilan Minhee. Dalam hati, Naya mensyukuri keputusan Minhee yang tidak memilih untuk melakukan panggilan video. Karena kalau begitu, dijamin seratus persen Naya akan mati kutu kalau-kalau Minhee bertanya kenapa Naya tidak menangis.

Karena sejujurnya, Naya adalah pembohong yang buruk.

"Jangan liatin bulan terus, belajar Naya." Itu adalah kalimat pertama yang terlontar dari mulut Minhee setelah panggilan mereka terhubung.

Untuk beberapa saat, Naya merasa tersentak. Sebab Minhee tiba-tiba menudingnya tengah menatap Ka Bulan, namun dia lantas merutuki dirinya sendiri sesaat kemudian. Bukan Ka Bulan yang Menhee maksud, melainkan bulan. Bulan di langit yang dia gemar tatap setiap malam.

Naya kemudian beranjak dari meja belajarnya. Meninggalkan buku harian Minhee serta tangis yang dia dekap dari tadi sore. Naya juga menyempatkan diri untuk mematikan lampu. Naya merasa ruangan kamarnya terlalu cerah dan menusuk retina. Sensitivitas matanya meningkat drastis karena tadi menangis.

"Sok tau, aku lagi di kamar tuh, lagi rebahan," sanggah Naya.

"Kamu pilek? Makan obat sana. Kalau besok masih sakit aku anterin ke dokter." Minhee mungkin sadar, suara Naya berbeda dari biasanya.

"Besok hari minggu, dokter yang sering aku datengin libur. Lagian, kamu juga kamu mau ke Bandung sama yang lain, kan?"

Pada percakapan setelahnya Naya tidak menyinggung perihal buku harian yang baru dia baca. Mereka memilih untuk larut dalam obrolan tanpa arah dari mulai perihal kucing tetangga yang hamil lagi hingga Omnibus Law yang jadi favorit Minhee.

Di sisi lain, Bulan dengan segala kekhawatirannya sedang menatap jendela kamar Naya yang gelap. Naya nggak berada di balkon dan kini jendela kamarnya juga tertutup rapat. Meski tidak mau, tapi Bulan tidak bisa mengenyahkan Naya dari benaknya.

Bulan kemudian memilih untuk mengambil ponsel yang berada di nakas meja belajarnya. Walaupun ragu, Bulan tetap memutuskan untuk menelpon Naya malam ini.


"Nomor yang anda tuju sedang si-" Panggilan Bulan disambut oleh suara khas operator. Dia lantas memilih untuk menjauhkan ponsel tersebut dari daun telinganya.

Bulan tertawa, dia merasa menyedihkan atas segala tindakan yang dia lakukan selama ini. Bulan seharusnya sadar, Naya yang sekarang tidaklah sama dengan Naya yang dia temui tiga tahun lalu.

Saat ini, sudah ada orang yang mengisi ruas jemari Naya. Ada sosok berarti yang menempati relung hati Naya. Kenyataannya, orang itu bukan Bulan. Lantas kenapa dia masih tetap begitu mendamba?

DefaitismeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang