10. Make Me Cry, Again

428 60 7
                                    

















🍂Happy Reading🍂

















Rosie termenung di balkon rumah orang tuanya. Ia menghabiskan cukup banyak waktu, mungkin terhitung sudah sekitar... Satu jam yang lalu.

Pikirannya berkecamuk. Ia sedang tidak baik-baik saja. Adiknya, Alice, sebentar lagi akan dapat melihat kembali. Itu berarti, Alice juga akan menyaksikan sendiri kebenaran yang ia sembunyikan.

Jujur, Rosie menyesal dalam hatinya. Ia merasa, memang semestinya Rosie tidak terlalu jauh bertindak, ikut campur urusan hidup Alice yang tidak seharusnya. Dan sekarang? Huft~ akibat semua hal tersebut, mulai menunjukkan tanda-tanda kehadirannya.

Rosie tak bisa mengelak keadaan. Ia bahkan tak tahu apa yang nanti dapat ia jelaskan kepada Alice. Rosie menyayangi adiknya, sangat. Tapi munafik jika ia menjadi sok merelakan begitu saja dengan mudah.

Waktu telah habis. Ia mungkin hanya akan menyerahkannya pada Tuhan. Pasrah.

Tak ada cukup masa untuk mencari akal. Ia bingung. Rosie frustasi. Ingin marah, namun kepada siapa? Bukankah ialah satu-satunya yang pantas disalahkan? Ini idenya.

Rosie tadi datang ke sini, berniat meminta saran dari Minyoung atau pun Seojoon, tentang bagaimana solusi terbaik untuk mengatasinya. Mereka sempat berdiskusi diam-diam, tanpa sepengetahuan Alice.

Tetapi nihil, tak ada hasilnya. Rosie justru malah mendapatkan amukan besar-besaran. Sudah pasti, ia diceramahi panjang lebar dengan tajam menusuk. Tak apa, Rosie sadar. Ia tak akan menyimpan dendam.

Lantas, gadis itu menghela napas berat. Seberat beban yang tengah dipikulnya. "Aku harus apa? Bagaimana caranya aku bertanggung jawab?"

Ia mendongak, memandang langit sore nan indah.

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Rosie akui. Ia merutuki dirinya, yang bahkan tidak memikirkan ke depannya. Sungguh, ia bagai orang tolol yang kini terjebak dalam permainannya sendiri.

"Kenapa aku lucu sekali? Mana ada penjahat takut mengecewakan korban? Aneh!" Rosie terkekeh garing. "Aneh! Sangat aneh!"

Ia menggeleng-geleng tak mengerti. Tepatnya, tak mengerti mengapa ia jadi seperti ini. "Dulu aku kira tidak akan terlalu rumit," kata Rosie.

Perempuan berambut pirang tersebut mencebik lirih. Ia gelisah bukan main. Resah, juga merasa tidak nyaman. Bagai ada sesuatu yang menghantuinya.

"Nyatanya sekarang berbeda. Aku tidak sebaik itu untuk melepaskan apa yang telah aku miliki. Bahkan untuk prioritasku, Alice."

Tidak, tidak berlebihan sebenarnya. Manusiawi. Sebagian besar orang-orang di Bumi pasti menganggap demikian. Termasuk Rosie.

Ia kemudian menunduk. Menatap kosong, entah ke arah mana. "Alice memang penting bagiku. Namun... Argh! Tidak bisa! Pokoknya aku tidak bisa!"

Agak sedikit berteriak, walau tertahan. Hati-hati, khawatir Alice mendengarnya.

"Aku tidak mau kehilangan dia," ujar Rosie, seraya mengulum bibir. Air matanya jatuh satu per satu. Mengalir, membasahi pipi.

"Dia sangat berharga." Rosie memejamkan netra kuat-kuat. "Aku benci mengakuinya, tapi..."

Gadis itu tersenyum tipis. "... Dia l-lebih dari pada Alice."

Runtuhlah pertahanannya. Tubuh Rosie luruh, terduduk bersimpuh di lantai dingin. Ia menangkup wajahnya. Terisak pilu sesenggukan.

Mengambil keputusan benar-benar sulit. Bukan hal remeh yang dapat cuma-cuma ditentukan. Rosie dilema. Karena ia telah bersumpah, untuk kali ini, ia tidak akan lagi mengalah dari Alice.

Time Lapse || Hunlice ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang