8. Sadness Shows Its Presence

379 56 5
                                    


















🍂Happy Reading🍂


















"Apa yang ingin kalian beritahu?"

Semuanya tampak memejamkan mata. Hanya Alice yang menatap kosong kegelapan sekitar, dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu. Menjengkelkan, pikirnya.

Sungguh, untuk mendengarkan satu kata berarti dari mulut orang tuanya saja, sangat-sangat melelahkan. Ia mesti membuang-buang tenaga terlebih dahulu. Huft~

"Ayah..."

Seojoon mendongak, memandang lekat sang putri sembari mengerutkan kening. "I-iya?"

Alice tersenyum paksa. Berusaha terlihat tak apa-apa. "Kalian sepertinya tidak mau memulai. Jadi, izinkan aku yang angkat bicara, ya?"

Minyoung tertegun seketika. Ia beradu netra dengan milik Seojoon dalam beberapa saat. Saling mengisyaratkan, seolah melakukan telepati.

"Bagaimana?" tanya Seojoon tanpa suara. Dan Minyoung mengangguk ragu. Seojoon pun langsung beralih kembali pada Alice. "B-baiklah, Nak. Silahkan," ujarnya.

Gadis berponi itu mengembangkan sudut bibirnya. Namun kali ini, jauh lebih tulus. "Kalian tahu? Aku teramat menyayangi kalian."

Mereka menunduk. Baru permulaan, tapi sudah menyentuh hati. Membuat darah mereka berdesir hebat.

"Kalian dan Rosie Eonnie, satu-satunya yang aku miliki---yang bisa aku percaya, untuk menggantungkan hidupku," sambung Alice, sedikit kesulitan karena napasnya terasa tercekat. "A-aku mungkin sudah pergi ke surga sana, kalau tanpa kalian bertiga."

Jeda sebentar.

"Jika aku diberi pilihan pun, aku akan tetap memilih kalian, sebagai keluargaku. Kalian yang terbaik---orang tua terbaik, bagiku."

Menyesakkan. Minyoung tak dapat menahan isakannya dalam pelukan Seojoon.

"Ibu..."

"H-hm?" Yang dipanggil tak sanggup lagi menjawab terlalu panjang. Hanya kata tersebut yang mampu ia lontarkan.

"Terima kasih, karena selalu menganggap kehadiranku, walau teman-temanmu tak suka padaku," tambah Alice, melelehkan gumpalan kristal bening dari matanya. "Aku beruntung bisa bertemu sosok Ibu seperti dirimu."

"Nak---"

"Dan Ayah..." Seojoon tak merespon. Ia sibuk menggigiti bibirnya, tak ingin bergabung pilu dengan Minyoung. "Ayah jjang. Gomawoyo."

Alice menangkup wajahnya. Menangis, tentu saja. "Selama ini aku menunggumu membuangku, namun ternyata kau tidak melakukannya---"

"Ani, tidak mungkin, Lice."

"Terima kasih telah menerimaku. Aku bersyukur atas kesempatan itu. Terima kasih." Ia menetralkan napas sejenak.

Keheningan menyelimuti, menjadikan suasana semakin menyedihkan.

"Aku selalu berdoa, agar aku dapat melihat kembali. Aku ingin tahu, wujud kalian semua." Alice menengadah. "Kumohon, tunggu sedikit lagi. Beri aku waktu. Aku sedang mencari pendonornya."

"Ayah bisa membantumu, Lice. Aku punya banyak kenalan."

"Tidak perlu. Aku akan berusaha sendiri," katanya. "Aku menghargai tawaran Ayah, tapi aku tidak bisa. Aku mau---"

"Kita cari sama-sama, ya, Nak? Jangan begitu." Seojoon menyela lirih. Menderaskan tangisan Minyoung, juga sang anak dalam sekejap. "Kita keluarga, bukan? Dan ayah menjalankan apa pun demi kalian, termasuk kau, Alice, putri kecil Ayah."

Time Lapse || Hunlice ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang