Quit Smoking 2

561 89 81
                                    

Pemuda Yang Menggunakan Hoodie Hitam

-----

Gerbong kereta malam ini terbilang lengang. Penumpang di dalamnya bahkan dapat dihitung menggunakan jari tangan.

Dua wanita duduk di pojok gerbong sambil bermain ponsel, pria setengah baya berkacamata berdiri sambil membaca buku di salah satu tangannya sementara tangan yang lain menggenggam pegangan gantung, lalu pemuda hoodie hitam itu memilih duduk di deretan bangku seberang, di samping pintu gerbong. Kedua lengannya terlipat di depan dada, kepala menunduk dalam-dalam, tetapi postur tubuhnya sangat tegap.

Sedangkan aku sendiri duduk tepat di hadapannya, di deretan kursi berseberangan dan menatap lekat-lekat sosok yang tidak bergerak sedikit pun itu. Meskipun raut wajahnya saat ini tak terlihat jelas, tetapi garis hidungnya yang menyembul dan terpapar cahaya lampu itu tampak elegan. Semakin diperhatikan, pemuda itu memang terlihat sangat tampan.

Sekitar dua puluh menit kemudian, kereta berhenti di pos pemberhentian selanjutnya. Sekelompok orang berpakaian rapi baik laki-laki maupun wanita mulai masuk ke gerbong. Suasana tiba-tiba menjadi sedikit sesak. Embusan air conditioner yang tadinya membuat tubuh menggigil sudah tak dapat dirasakan lagi.

Ketika pandanganku beralih ke seberang sana, sosok pemuda itu telah menghilang. Ke mana dia? Apakah dia turun di pos pemberhentian ini?

Aku segera berdiri, menelusup di antara orang-orang dan pergi ke deretan kursi seberang. Sial! Apakah dia benar-benar turun.

"Kak, kau mau duduk atau keluar?"

Sesosok anak kecil perempuan menarik-narik ujung kaus yang kukenakan. Dilihat dari tinggi anak itu, mungkin usianya baru delapan atau sembilan tahun. Namun, apakah anak sekecil ini sudah dibiarkan bepergian sendirian. Masalahnya ini malam hari, apakah orang tuanya tidak merasa khawatir?

"Kalau Kakak tidak duduk di kursi itu, berikan saja padaku," pintanya lagi. Tatapan matanya terkesan polos atau ... kosong, sementara rautnya sama sekali tidak menampakkan ekspresi.

"Duduklah," jawabku lalu meninggalkan anak itu dan keluar dari gerbong kereta.

Manikku mengedar ke sana-kemari mencari sosok pemuda itu. Namun, ketika mendengar bunyi keberangkatan kereta, aku membalikkan badan, melihat kembali ke arah bangku yang tadi kuberikan pada anak kecil itu. Aku tidak mengerti kenapa melakukannya, tetapi apa yang kusaksikan kini benar-benar membuat rahangku jatuh dan menatap tak percaya.

Anak kecil itu masih duduk membelakangi kaca, tetapi kepalanya berputar 360 derajat, persis seperti burung hantu. Wajahnya menghadap ke arahku dengan senyuman lebar dan mata melotot, tetapi putih semua. Salah satu tangannya ikut berputar seperti kepalanya dan melambai-lambai begitu semangat.

Wajah anak itu juga tidak semulus yang kulihat tadi. Ada beberapa luka terbuka dan berdarah-darah di kedua pipi dan dahinya, sementara di kepalanya ada sebuah pecahan kaca cukup besar dan mencuat yang menancap tepat di atas telinga kiri.

Sial! Apakah aku barusan menaiki kereta hantu atau anak itu satu-satunya hantu yang naik kereta itu? Atau jangan-jangan seluruh penumpang kereta itu adalah hantu?

Bulu kudukku tiba-tiba berdiri, rasanya begitu melegakan seolah-olah baru saja keluar dari sarang setan.

Terkesiap, aku kembali menoleh ke kanan-kiri mengamati sekitar. Jika diperhatikan baik-baik stasiun ini hanya pos pemberhentian kecil yang tampak lengang, bahkan hanya ada satu pos penjaga di ujung bangunan. Tepat di hadapanku, ada satu pintu keluar dan masuk stasiun tanpa penjagaan. Aku yakin pemuda itu pasti keluar lewat sini. Tidak mungkin, kan, dia memilih melompat pagar di ujung sana.

QUĪT SMOKING | YiZhan [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang