Apa itu kehidupan?
---
Perbincangan di antara kami menjadi terdengar sedikit lebih berat. Wang Yibo terlihat sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang baru saja meluncur dari bibirku.
Setelah beberapa kepulan asap keluar dari celah bibir, dia berkata, "Aku tidak tahu. Hanya saja semua terasa tidak berarti." Wang Yibo menghela napas dan lanjut mengisap rokoknya.
"Di hatiku seolah-olah ada perasaan tak tergambarkan yang ingin aku lepas, tapi aku tidak tahu apa itu."
"Rasa menyesal mungkin?" sahutku menimpali. Mencoba menebak apa yang sebenarnya dia rasakan.
"Tidak. Itu berbeda. Lebih seperti rasa bersalah," balas Yibo. Tatapan matanya berubah sendu. Ya, dia memang seperti memendam rasa yang tidak diinginkan, rasa yang terbelenggu tanpa sadar. Aku dapat melihat itu.
"Lalu bagaimana denganmu?"
Dia berpaling. Kedua matanya menyipit seolah memintaku untuk mengatakan apa yang terjadi dalam hidupku selama ini. "Menurutmu, apa aku terlihat seperti orang yang sedang dalam masalah? Atau kau melihat aku tampak depresi?"
"Kehilangan arah."
Jawaban Wang Yibo sangat singkat. Hanya dua kata, tetapi mampu membuatku terpegun hingga tak dapat berkata-kata untuk beberapa saat. Aku merendahkan pandangan, menatap sketsa setengah jadi di buku lekat-lekat. Ya, bisa dikatakan apa yang Wang Yibo lontarkan barusan memanglah tepat.
"Kehilangan arah, ya? Terkadang aku merasa seperti melupakan beberapa bagian, juga ingin mengingat sesuatu dan ini membuatku kebingungan. Kupikir selama ini aku depresi atau semacamnya."
Helaan napas kembali terdengar meluncur dari bibir Wang Yibo. "Bukankah itu sama saja? Saat kau kehilangan arah, itu berarti ada sesuatu yang membuatmu menderita terlalu dalam dan berlarut-larut. Sampai-sampai kau tidak tahu harus melakukan apa, harus bagaimana?"
Dia menarik buku gambar dari tanganku, diangkat sejajar wajah dan ditelitinya baik-baik. "Apa yang kau gambar ini, tidak memiliki kehidupan. Ini sama seperti kertas kosong yang belum dicoret-coret." Wang Yibo mengulurkan kembali buku gambar tersebut ke arahku dan berkata, "Kau harusnya memberikan nyawa pada setiap goresan, dengan begitu lukisanmu akan terlihat lebih hidup."
" ... "
Ini bukan pertama kalinya aku mendengar kalimat serupa. Beberapa hari yang lalu ketika aku menuangkan cat warna-warni di atas kanvas di taman kota, seorang kakek-kakek menghampiriku dan berkata, 'Nak, lukisanmu sangat indah, terlihat sama seperti aslinya. Kau juga sangat pandai memadukan warna. Sayangnya, itu terlihat seperti tempat yang mati. Kenapa sama sekali tidak ada kehidupan di dalamnya?'
Saat itu aku hanya bisa tersenyum menanggapinya. Jujur saja, bukannya aku tak ingin memberikan nyawa di setiap lukisan, hanya saja aku tidak merasakan seperti apa indahnya kehidupan. Hal yang aku tahu tentang hidup adalah penderitaan dan kesakitan. Itu sejak lama, sejak aku dibuang oleh kedua orang tua kandungku.
"Aku tidak tahu seperti apa itu kehidupan."
"Kau tidak harus tahu apa itu kehidupan. Setidaknya kau bisa menghargainya sedikit saja, dan menuangkannya dalam goresan-goresan di atas kertas putih itu."
Aku mendecih sebal. Apa dia baru saja menasehatiku? Cih!
Sambil memutar bola mata aku berkata, "Aku tidak ingin mendengar kata-kata sok bijak dari orang yang hampir melakukan bunuh diri."
Wang Yibo tertawa. Terbahak-bahak hingga memegangi perutnya. Matanya menyipit membentuk lengkungan garis yang tampak indah, dan senyum lebar di bibirnya itu terlihat seperti sosok yang tak memiliki beban. Ah, aku iri. Kapan terakhir kali aku bisa tersenyum dan tertawa lepas seperti itu?
"Xiao Zhan," panggilnya.
Entah mengapa hatiku merasa tersentak, ini pertama kali Wang Yibo menyebut namaku sejak kami saling memperkenalkan diri tadi dan aku merasa ada dalam diriku yang menginginkan dia untuk menyebut namaku lagi, lagi, dan lagi.
"Hidupku memang sulit dan berat, apalagi sejak hari itu. Hari di mana aku kehilangan dia," lanjutnya.
Dia?
Dahiku berkerut, sebelah alisku terangkat saat melihat senyum lembut tertarik di kedua sudut bibirnya. Mungkinkah Yibo sedang berbicara tentang kekasihnya? Apakah dia pergi meninggalkan Yibo demi orang lain atau dia mati?
"Kekasihmu, ya?"
Lagi-lagi aku melihatnya tersenyum lembut sebelum berkata, "Aku merasa pertemuanku dengannya begitu singkat, tetapi kami memiliki banyak kesamaan. Dia saat itu begitu hancur, sama sepertiku. Dia merasa terhina dan ditinggalkan oleh kekasihnya hingga menyisakan luka mendalam. Di saat bersamaan aku juga ditinggalkan oleh kekasihku. Kami bertemu pada waktu yang tidak pernah diduga, saling menguatkan dan saling memberikan dukungan ... baik fisik maupun batin.
"Sepertimu, dia juga tidak memahami apa arti hidup. Dia mengatakan bahwa saat usia delapan tahun kedua orang tuanya bercerai. Ibunya menikah lagi dan meninggalkannya bersama sang ayah. Namun, di situlah dia tahu kenapa ibu dan ayahnya berpisah ... karena ayahnya gila."
Bungkam.
Jujur, aku tidak tahu harus berkata apa, menanggapi bagaimana dan seperti apa. Di benakku saat ini, yang jelas aku ingin mendengarkan ceritanya, kisahnya, walaupun itu tentang 'dia' yang tidak aku ketahui.
"Ayahnya selalu mabuk-mabukan, memukulinya bahkan hampir menyodomi dia. Karena itu dia pergi dari rumah, lalu tinggal di jalanan untuk waktu yang cukup lama. Dia sangat hebat karena mampu bertahan sejauh itu. Dan ketika dia mulai menata hidupnya kembali, dia bertemu wanita yang dicintainya. Mereka bersama, hidup dalam kesederhanaan meskipun selalu ada percekcokan, tetapi dia bilang padaku bahwa mereka saling mencintai. Namun, lagi-lagi dia disakiti, dibuang dan dibohongi. Kekecewaan yang dirasakan saat itu benar-benar membuat dia jatuh sampai titik terendah, membuat dia seolah merasakan kembali pahitnya hidup."
Aku merasa sedikit tidak asing dengan kisah yang diceritakan oleh Yibo. Rupanya di dunia ini tidak hanya aku saja yang mengalami hal-hal tak mengenakkan dan penderitaan.
"Lalu apa yang terjadi dengannya?"
Wang Yibo kembali mengisap batang rokok hanya tinggal beberapa sentimeter di sela-sela jarinya. Asap tipis yang berembus membentuk seni abstrak yang tampak menari-nari.
"Dia kehilangan semuanya. Rumah yang sudah dia beli dari hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun dijual oleh kekasihnya, sementara wanita itu membawa kabur uangnya bersama lelaki lain. Hidupnya kembali ke jalanan, sampai malam itu aku bertemu dengannya."
Batang rokok di tangan, Yibo jatuhkan begitu saja di atas permukaan rumput. Bara di puntung yang tadinya masih kemerahan dengan asap tipis menguar perlahan-lahan mati. Dia merogoh saku hoodie, mengeluarkan sebungkus rokok dan menyelipkan sebatang di celah bibirku. Korek di tangan dinyalakan, lalu menyulut ujung rokok selagi melemparkan tatapan dalam dan penuh makna yang sebenarnya tidak aku pahami.
Wang Yibo mengambil sebatang rokok lagi dan menyelipkan di celah bibirnya sendiri. Salah satu tangan terulur meraih belakang leherku dan menariknya untuk mendekat. Kepala sedikit miring ke kanan, dia menyatukan ujung batang rokoknya dengan milikku, mengisap kuat dan berusaha menyulut batang rokok miliknya dengan cara seperti itu.
Kedua manik Yibo fokus mengunci pandanganku. Ketika asap mulai mengepul dan menerobos celah bibir, tangan kanannya mencabut batang rokok dari sana juga bibirku. Kemudian ... waktu mendadak berhenti berputar, menurutku.
Di bukit ini, di tengah gelapnya suasana, diiringi nyanyian penghuni alam, Wang Yibo menciumku. Ciuman yang lembut, intens, tetapi tidak tergesa-gesa. Aku bahkan dapat merasakan aroma rokok yang begitu pekat dari napasnya dan tekstur lembut permukaan bibirnya.
Ini sedikit mengejutkan, tetapi aku juga tidak ingin menolak.
•••
-----------------21 Oktober 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
QUĪT SMOKING | YiZhan [✓]
RomanceMerasa kehidupannya tidak jelas. Tidak tahu apa yang diinginkan dan tidak tahu arah-tujuan. Dia seolah-olah hilang, dan merasa ada bagian yang dilupakan. Sampai sore itu, Xiao Zhan bertemu dengan pemuda yang tampak seperti dirinya. Pemuda yang berni...