Suara ketukan di pintu kayu samar-samar terdengar di telingaku.
Rasanya ingin kuabaikan saja orang yang ada dibalik pintu itu.
Nampaknya ada tukang pos yang datang karena orang itu kerap menyerukan,
"Permisi, surat untuk Tuan Apollo!"
Dengan malas kubuka selimut yang dengan setia menyelubungi badanku dari kemarin malam dan membuka pintu apartemen tua ini.
Yang bisa kulihat adalah seorang pria berseragam yang mungkin usianya sekitar empat puluhan yang tingginya hanya se-hidungku.
"Surat dari Nyonya Sophie untuk Tuan Apollo."
Kata tukang pos itu dengan nada datarnya. Kubalas dengan sebuah ucapan 'terimakasih' singkat dan kututup pintu kayu itu pelan disertai bunyi derit yang tidak mengenakkan.
Ya, inilah kehidupan anak desa yang merantau ke kota besar dengan biaya seadanya.
Kubuka surat itu dan duduk di kursi kayu meja serbaguna yang disediakan di kamar yang kutinggali ini.
Kamar kecil dengan perabotan yang sangat sederhana bernuansa kayu.
Yah, bukan bernuansa kayu tapi bisa dibilang kuno karena inilah apartemen yang bisa kusewa dengan harga yang sesuai denganku.
"Dear my son, Apollo. Apa kabarmu nak? Ibu harap kehidupanmu di kota masih tetap berjalan dengan lancar ya. Adik-adikmu bilang kalau mereka sangat merindukanmu.
Bagaimana pekerjaanmu? Baik-baik saja kan? Ibu bahagia sekali saat kamu mengirim surat kalau kamu senang bekerja dengan mandormu itu. Tolong sampaikan salamku ke Tuan Drian karena sudah berbaik hati menerima anakku yang tercinta ini.
Ingat, tetap jaga pola makanmu ya. Jangan makan sembarangan dan tidak makan. Kamu harus tetap sehat walaupun ibu tidak bisa selalu bersamamu. Dan juga, tolong jangan memaksakan diri, Apollo. Kau juga pantas bahagia. Jangan selalu terpaku tentang ibu dan adik-adikmu.
Dan juga, mengapa ibu tidak pernah menerima suratmu yang berisi tentang wanita? Jika kamu masih berpikir ini belum waktunya, tentu ibu akan tetap mendukungmu anakku. Santai saja dan nikmati kehidupanmu di kota, nak.
Dengan penuh cinta,
Sophie, ibumu."Untunglah ibu berpikir bahwa kehidupanku di kota ini baik-baik saja. Hidup di kota sangatlah keras dan tiada ampun.
Aku datang di kota ini saat aku berumur delapan belas tahun. Tepat setelah aku lulus sekolah. Rencanaku awalnya adalah kuliah sambil bekerja. Namun semua itu tidak berjalan dengan baik.
Uang yang ku kumpulkan harus dibagi dengan biaya kuliah, biaya hidupku, dan sisanya biaya untuk ibu dan kedua adikku.Sering kali aku kekurangan uang dan harus berpuasa. Karena aku sudah tidak tahan, kurelakan kuliahku saat aku berumur dua puluh tahun dan mulai bekerja full time.
Banyak pekerjaan yang sudah kujalani seperti kasir di mini-market, jasa pindah rumah, jasa delivery, tukang kebun, tukang cuci piring, dan pekerjaan terakhir yang nampaknya cocok denganku. Kuli bangunan.
Memang itu tidak terdengar mewah atau elit, namun gajinya lumayan.
Aku bekerja dibawah pimpinan mandorku, Tuan Drian. Beliau adalah seorang mandor yang tegas dan mempunyai jiwa pemimpin yang baik. Beliau tidak merendahkan buruh-buruh bawahannya termasuk aku dan tidak menyuruh kami dengan kasar atau semena-mena.
Beliau adalah mandor yang disegani dan nampaknya beliau cukup akrab terhadapku. Aku awet bekerja dengan Tuan Drian sampai bulan lalu.
Ya, aku dipecat. Namun itu bukan sepenuhnya salahku. Tipikal orang yang bekerja dengan jiwa kompetitif yang kuat dan hobi menjatuhkan orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Metanoia
Romance"Aku ingin kamu mencintaiku." Orang datang dan pergi, mengapa dunia tidak mengizinkan manusia agar bisa bersama selamanya? Tidak bisa dimengerti bahwa seseorang yang begitu kau sayangi akan meninggalkanmu. Namun semesta terkadang bertindak semaunya...