Prolog

31 0 0
                                    

Tidak ada yang paling mengesalkan daripada dihukum oleh Pak Yunus gara-gara datang terlambat. Gerbang tangga ditutup sehingga murid-murid tak tepat waktu menghembuskan napas kesal. Setelah penutupan gerbang, murid-murid tak taat aturan tersebut digiring ke lapangan upacara untuk diceramahi kurang lebih selama 15 menit. Setelah ceramah pagi, mereka wajib menyanyikan lagu kebangsaan serentak dengan penunjukkan salah satu dirijen perwakilan siswa telatan. Tangan hormat di samping pelipis kanan, suara yang tidak berharmoni pun mengisi lapangan.

Pak Yunus memejamkan mata, berusaha menghayati dan menghidupkan perasaan nasionalismenya. Kedua kakinya yang terbalut sepatu hitam mengkilat sehabis disemir ia ketukkan di atas lapangan bersemen. Ia sungguh-sungguh terbawa alunan suara yang tidak bagus-bagus amat para siswanya yang terlambat. Pria di pertengahan 50-an itu, layaknya seorang tenaga pendidik pada umumnya, berusaha menanamkan rasa patriotisme kepada murid-muridnya.

Kumisnya yang tipis (karena genetik) ia olesi pomade setiap kali sebelum ia berangkat mengajar, sepatunya selalu mengkilat dan berbau menyengat karena rajin disemir, seragamnya tersetrika licin dengan bekas lipatan terlihat jelas dan berbau kamper lemari persis seperti orang jadul, postur tubuhnya tak terlalu tinggi tetapi ia selalu berdiri tegap seperti TNI, serta cara bicaranya yang kental logat melayu menjadi ciri khas nyentrik seorang Yunus Saiful. Lelaki paruh baya itu seolah terjebak di Indonesia tempo dulu. Tampilan orang terpelajar dengan gaya bicara yang intelek membuat lawan bicaranya pasti bertanya-tanya apakah ia masih ada keturunan dari pahlawan nasional atau tidak.

Harmonisasi yang tak teratur itu pun selesai dilantunkan, tak lama itu pula Pak Yunus membuka matanya. Ia menatap penuh arti kepada murid-muridnya yang seenaknya tak mematuhi peraturan.

"Seharusnya kalian malu berada di sini. Pemuda-pemudi kebanggaan bangsa melakukan tindakan tidak terpuji. Bukannya kapok, semakin hari malah semakin banyak yang telat. Dua puluh siswa terlambat! Memalukan! Kalian harusnya malu dengan arwah para pahlawan. Susah payah memerdekakan kita, kelakuan penerusnya malah seperti ini." Pak Yunus berhenti, ia memilin kumisnya yang tipis.

"Setelah ini, kalian semua harus bersih-bersih toilet dan lorong sekolah, biar kapok dan tidak mengulang kesalahan kalian lagi." Keputusan itu adalah ketok final bagi murid-murid yang sudah mengernyit kepanasan di bawah matahari. Keluhan pun terdengar di sana-sini. Tapi Pak Yunus tidak peduli.

Setelah membubarkan barisan, murid-murid telat itu dibagi tugas untuk membersihkan tempat yang sudah ditentukan. Meski dengan dengusan sebal, mereka tetap menjalankan perintah.

"Gini nih yang menghambat Indonesia maju, murid yang telat malah dihukum beginian. Bukannya disuruh ikut belajar, yang ada malah kita ketinggalan pelajaran. Makin bego lah kita," gerutu salah seorang murid telatan kepada kawannya. Mereka berdua sedang mengelap kaca jendela ruang guru.

"Bener juga ya lu," Rahman, kawannya, mengangguk sepakat. "Kalo kaya gini sama aja manfaatin kita jadi babu, OB di sekolah malah pada nganggur."

"Nasionalisme nasionalisme apaan kaya gini kalo menghambat penerus bangsanya belajar," Si penggerutu pertama makin mengompori.

Meski ogah-ogahan, para siswa tetap mengerjakan perintah Pak Yunus. Tak selang lama, mendadak beberapa siswa telatan yang sedang bersih-bersih menghentikan kegiatan mereka sejenak. Beberapa orang mulai berbisik dan pandangan mereka kompak ke seorang siswi yang datang terlambat. Terlambat lebih dari 30 menit ketimbang murid-murid yang masing-masing kini memegang alat kebersihan.

"Eh, dia telatnya gak kira-kira. Langsung menghadap ke Pak Yunus lagi," pungkas Rahman.

Siswi yang datang terlambat itu berdiri di depan Pak Yunus yang sedang duduk di dekat gerbang tangga yang digembok. Ia menunduk meminta maaf atas keterlambatannya.

Di Bawah Langit Ibu KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang