"Udah, biar Krisna yang bawa. Ibu istirahat aja."
"Nanti kamu telat lagi. Ibu udah bosen dipanggil terus sama gurumu itu." Ibu Krisna menggeleng. Bosan yang ia maksud adalah bosan sering menerima laporan keterlambatan putranya itu.
Krisna meringis ketika ibunya menyinggung tentang pemanggilan orang tua. Kedua tangannya sibuk mengepak risol mayo di dalam wadah plastik. Posisinya sedang memunggungi ibunya, jadi tak ada kesempatan bagi sang ibu untuk melihat ringisan putra sulungnya itu.
"Hari ini nggak telat lagi kok, Bu. Aku bangun lebih pagi dari kemarin. Lagian ibu masih masuk angin kan." Krisna masih mengelak. Pagi ini dilihatnya sang ibu baru saja mengganti koyo yang lama dengan yang baru di kedua pelipisnya.
"Kamu tiap hari juga bangun subuh terus, Krisna. Tiap hari kamu bantuin ibu masak sama nyiapin semuanya buat jualan. Yang bikin telat bukan karena kamu kesiangan, cah bagus, tapi karena bantuin ibu. Dah sana berangkat sekolah." Sang ibu tidak menggubris perihal masuk anginnya. Yang ia pedulikan sekarang adalah nasib anaknya yang sekarang malah bersikap keras kepala tak mau menuruti perkataannya.
"Nah, selesai." Krisna berdiri dari jongkoknya. Tiga kotak risol mayo baru saja selesai ia ikat dengan rafia. Satu untuk warung kaki lima Mba Lastri, satu untuk warteg Bu Ratmi, satunya lagi untuk sebuah kantin SMP negeri yang tak jauh dari sekolahnya.
Krisna mengambil ranselnya, lalu ia berkaca pada cermin kusam di dinding ruang tengah rumah kecilnya. Tangan kanan menyisir rambutnya ke belakang dan ia tersenyum simpul merasa sudah lumayan oke. Ia kembali untuk membawa tiga kotak penuh berisi risol mayo buatan ibunya.
Ibunya berdecak melihat Krisna yang tak menampilkan raut keberatan sama sekali. Sejujurnya, ia merasa senang dan sedih. Senang karena sang putra tumbuh menjadi laki-laki yang penuh rasa sayang dan tak malu membantu ibunya sedemikian rupa. Sedih karena sang putra harus menahan keinginannya yang seharusnya anak remaja seusianya dapatkan. Dengan lembut, Krisna membawa punggung tangan ibunya untuk dikecup. Ia pun melenggang pamit pergi.
Senyum terkulum menghias wajah perempuan berusia 40 tahun itu. Jika bertahun-tahun silam ia sering menyimpan getir di kedua matanya, kini hal itu perlahan pudar. Kekokohan tumbuh di kedua mata dan bahunya. Ia lebih tegar dari waktu-waktu lalu. Meski tak ayal masih menemui pilu, ia mampu berdiri tegak karena ia sadar ia tak sendiri. Ia memiliki Krisna dan Ambar, kedua darah dagingnya. Hartanya yang paling tak ternilai harganya.
Meski hidup di sepetak rumah kecil salah satu gang sempit ibu kota, tak menyurutkan asanya untuk hidup. Memang tak bisa dibilang mewah, tapi layak dan pantas untuk ditinggali. Layak dan pantas sebab ada dua orang yang menjadi pelita dalam hidup seorang Santi.
🍃🍃🍃
"Sebentar, Kris. Nyari seribuan dulu ini." Mak Iyang membuka laci mejanya, mencari uang seribu yang ia maksud. Wanita tua itu bertujuan membayar risol mayo hasil penjualan kemarin. Tetapi satu menit berlalu, tak jua ia mendapatkan uang seribu. "Seribuannya mana ya?" gumamnya sambil menggaruk kepalanya yang terbalut kerudung ungu.
Sedangkan Krisna berdiri menunggu dan berkali-kali menengok jam tangannya. Ia mulai menghembuskan napas gusar ketika jarum panjang menunjukkan 10 menit sebelum jam sekolah dimulai. Keringat mulai membasahi dahinya.
"Ga usah aja, Mak. Ntar aja pas balik sekolah saya ke sini lagi," ujar Krisna tak sabar.
"Ett, bentar napa dah. Cuman kurang seribu doang. Sabar dikit." Mak Iyang masih merogoh-merogoh lacinya, kali ini lebih dalam, berharap mendapatkan harta karunnya.
Masalahnya bukan karena tidak sabar, tapi ini sudah mepet masuk sekolah, Mak! Detak jantung Krisna berpacu sedikit lebih cepat. Ia berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam. Kenapa di tujuan terakhir malah ada kendala seperti ini? Kenapa pula Mak Iyang bersikokoh membayar di pagi hari? Tak biasanya juga ia begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bawah Langit Ibu Kota
أدب المراهقينDi bawah langit ibu kota yang lebih kejam dari ibu tiri, orang-orang mengadu nasib mereka. Di bawah langit ibu kota yang gersang, terlahir bayi-bayi merah yang tidak dapat memilih dilahirkan oleh siapa. Di bawah langit ibu kota, semua orang bermain...