2. Pra

12 1 2
                                    

Di ruang UKS tak ada siapa pun. Meski begitu, hal itu tak menghambat Krisna untuk mendapatkan injury kit di dalam etalase kaca. Setelah mengecek kelengkapan injury kit tersebut, lelaki itu memaksa kedua kakinya berlari kembali.

Di tempat Satine terluka, Pak Yunus masih menunggu di dekat gadis itu yang duduk bersimpuh. Tadinya beberapa siswa terlambat yang sama-sama mendapat hukuman berkerumun ke arah Satine. Namun, Pak Yunus langsung berusaha mengurai kerumunan dan memerintahkan mereka kembali sibuk dengan hukuman mereka.

Sekembalinya Krisna, ia dengan cekatan mengeluarkan peralatan injury kit. Ia mengeluarkan beberapa lembar tisu untuk menyapu darah dari telapak tangan Satine. Gadis itu menutup matanya, menahan kengerian. Setelah membersikan darah dari tangan Satine, Krisna menuangkan alkohol 70% ke kapas dan mengelapkan di atas luka. Kernyitan di dahi gadis itu semakin nyata.

"Tahan sebentar," Krisna berbisik lirih. Gadis itu pun mengangguk, masih dengan mata yang terpejam.

Pada sesi akhir, Krisna menetesi luka Satine dengan cairan antiseptik lalu menutup dengan kain kasa. Ketika merasakan kain kasa di atas kulitnya, Satine memberanikan diri untuk membuka matanya. Air matanya sudah tak merembes lagi. Ia kini menatap sosok lelaki yang telaten mengobati lukanya. Wajah lelaki itu menunjukkan keseriusan yang nyata, tangannya yang cekatan menunjukkan seolah ia sudah terbiasa dalam situasi seperti ini.

Satine semakin menatap Krisna dengan lekat-lekat, sebab saat ini ia sedang mempercayai seseorang yang asing baginya untuk menyelamatkan dirinya. Terdengar berlebihan, tapi tidak jika orang itu adalah Satine yang sangat jarang mengalami kecelakaan hingga membuatnya harus berdarah-darah. Dalam hatinya, gadis itu berterima kasih beratus-ratus kali kepada Krisna. Sedang lelaki itu tak menyadari tatapan penuh kepercayaan dari gadis yang sedang diobatinya.

"Ada apa ini?!" Pekik seorang guru perempuan yang datang dari ruang guru memutus tatapan 'penuh kepercayaan' Satine terhadap Krisna.

"Satine?!" pekiknya lagi setelah melihat siapa gadis yang sedang terluka.

"Sini, biar saya saja." Wanita itu berlutut di samping Krisna, hendak mengambil alih. Ia menyangsikan seorang anak laki-laki mampu mengobati luka berdarah.

"Ini udah selesai, bu," kata Krisna yang sudah merekatkan plester.

Satine menghembuskan napasnya lega, berhasil lolos dari momen menegangkan dalam hidupnya. Krisna membalas menatap Satine, seolah mengatakan bahwa ia tak perlu khawatir dan takut lagi.

"Terima kasih," ucapnya lirih serupa bisikan dengan senyum tulus membingkai di bibirnya.

Krisna balas tersenyum singkat. Benar-benar singkat sehingga Satine hampir ragu cowok itu tersenyum. Kemudian Krisna mengangguk sekali, lalu dengan cepat ia beralih sibuk mengemasi perlengkapan injury kit.

"Kamu bisa berdiri, nak?" Bu Donna, guru perempuan yang tadi memekik kaget merangkul bahu Satine. "Kamu pasti syok sekali. Apa kamu mau pulang saja? Ibu bakal telepon orang tua kamu kalau kamu mau."

Satine pun berdiri dengan bantuan Bu Donna yang sebetulnya tak membantunya banyak untuk berdiri. "Bu Donna gak perlu telepon orang tua saya. Saya ikut kegiatan belajar seperti biasanya."

"Kamu yakin? Wajah kamu pucat gini lho." Kedua alis Bu Donna yang tersulam bertaut.

"Saya tadi syok, tapi selebihnya saya baik-baik saja," tolak Satine lagi.

Di tempatnya berdiri, Pak Yunus berdeham. "Lebih baik kamu ke UKS dulu saja, Satine."

Satine menggeleng pelan. "Tidak perlu, Pak. Yang terluka tangan kiri saya, saya masih bisa menulis dan ikit pelajaran dengan baik. Bapak sama Bu Donna tidak perlu khawatir." Ia memaksakan senyum terulas di bibirnya. Pandangan siswa-siswi yang terlambat ke arahnya membuatnya tidak enak. Terlebih lagi kepada cowok yang telah menolongnya. Cowok yang kini telah selesai memberesi injury kit. Krisna kemudian berdiri dari jongkoknya bersamaan dengan bunyi bel jam pertama yang usai.

Di Bawah Langit Ibu KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang