Semakin Mendekat

690 114 7
                                    

Zhan telah selesai mengikuti beberapa mata kuliah seninya. Tak niat menghubungi sopirnya, dia memilih jalan belakang menuju halte bus, tetapi belum sampai, dia melihat sekelompok pemuda brandal tengah berkumpul, mata mereka tampak memperhatikannya. Instingnya bekerja, Zhan mulai mempercepat langkahnya.

Tanpa menunggu, beberapa orang menghadangnya.

"Kenapa berlari? Apa kamu takut dengan kami?" tanya salah satu brandal dengan codet di pipinya.

"A-aku hanya buru-buru ingin ke halte," jawab Zhan gugup.

"Kenapa buru-buru? Tidak ingin bermain dengan kami dulu?" yang lainnya ikut bicara sambil menyentuh tangan Zhan yang spontan langsung dia tarik.

Zhan merasa tak nyaman, dia tengah memikirkan cara untuk melarikan diri, hingga seseorang datang menyapanya.

"Hei Meiren! Kau sedang apa di situ. Aku sudah menunggumu dari tadi."

Sosok pemuda bertubuh tegap dengan beberapa bagian wajahnya memar dan terluka itu menghampiri Zhan.

Awalnya Zhan ingin protes, bagaimana bisa dirinya dipanggil 'Meiren' yang jelas-jelas itu panggilan memuji untuk seorang wanita. Tetapi melihat kehadiran lelaki aneh itu yang bisa membawanya pergi dari sini, dengan terpaksa dia mengakui jika Meiren itu namanya.

"Ah, aku baru ingin menemuimu," jawab Zhan langsung menuju pemuda itu yang menyambutnya dengan mengulurkan tangan.

"Bawa aku pergi dari sini secepatnya," Zhan berbisik pelan sambil menerima uluran tangan Yibo.

Sekilas Yibo melirik ke arah brandal itu lalu meninggalkan mereka tanpa banyak bicara dan protes dari kelompok itu.

Pada akhirnya mereka menaiki bus menuju rumah Zhan. Wang Yibo duduk di sebelah Zhan mencuri-curi pandang memperhatikan sosok indah di sampingnya.

"Apa yang sedang kau lihat?"

"I-itu jalanan di sampingmu," jawab pemuda itu gugup karena tertangkap basah sedang memperhatikan Zhan.

Zhan terlihat tak acuh lalu memilih menghadap kaca dan memperhatikan jalan.

Tidak beberapa lama Zhan bicara, tanpa menoleh, dia berkata, "Wang Yibo, terima kasih."

"Apa yang kau katakan? Aku tak dengar!"

Akhirnya Zhan berbalik dengan sedikit kesal, dia terkejut saat mendapati wajah Yibo begitu dekat dengannya.

"Aku bilang, terima kasih! A-apa k-kau tidak bisa duduk menjauh sedikit." Zhan gugup dan wajahnya tampak memerah.

"Terima kasih kembali, karena sudah mau mengingat namaku."

Tiba-tiba Zhan teringat nama panggilan yang tadi Yibo berikan kepadanya.

"Wang Yibo! Jangan panggil aku Meiran lagi! Aku seorang lelaki. Namaku Xiao Zhan!"

"Owh, jadi namamu Xiao Zhan! Hehehe ... jika dari awal kau mau memberitahu namamu, jelas aku akan memanggil namamu ... Xi-ao Mei-ren."

"Ka-kau .... Sudahlah."

Zhan dibuat tak berkutik dengan lelaki ini, dia begitu pintar bersilat lidah.

Dia kembali cemberut, ekspresi kesalnya jelas menambah kadar imutnya menjadi berkali-kali lipat di mata Yibo, membuatnya semakin menyukai lelaki itu.

Perjalanan kali ini begitu berisik, Zhan sampai berkali-kali membuat gesture menyuruh Yibo diam dengan meletakan jari telunjuk di bibirnya. Namun, lelaki itu tetap saja bicara.

Sebenarnya jika boleh jujur, Zhan begitu tertarik dengan semua dongeng yang lelaki itu katakan. Sebuah pengalaman hidup seperti kisah di film-film, ya, Zhan sangat tahu itu, jika lelaki di hadapannya ini tengah mengarang cerita.

Lagipula mana ada seorang anak yang dibesarkan oleh seorang mafia melarikan diri dari kelompoknya hanya untuk mencari cinta sejati katanya. Sungguh dongeng yang lucu.

Tak lama, akhirnya bus berhenti ditujuan, setelah mengucapkan perpisahan Zhan turun dari bus yang ternyata diikuti oleh Yibo.

Tak merasa terganggu, Zhan berjalan di depan, mengabaikan Yibo yang berjalan di belakangnya seolah tak tahu.

Yibo sendiri berjalan santai memberi jarak nyaman, memastikan kembali jika Zhan pulang dengan selamat.

Setelah menutup pintu dan masuk, Zhan segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya, lalu membuka jendela, matanya menyusuri langkah Yibo yang saat ini tengah berjalan menuju halte kembali dari lantai 2 itu.

Beberapa saat sebelum menghilang dari pandangan Zhan, Yibo sempat menoleh, dari jarak yang agak lumayan jauh Zhan dapat merasakan tatapan Yibo tembus ke arahnya, membuatnya spontan menutup gorden takut ketahuan.

.
.
.

Setibanya di markas.

"Bagaimana Bos? Apa kau berhasil mengetahui nama pemuda cantik itu?" tanya anak buahnya.

"Jangankan nama, rumahnya pun aku sudah tahu." Akuinya sombong.

"Wahh kau sungguh kerennn!! Tidak sia-sia kami berakting tadi."

"Lain kali, jangan menggertaknya seperti itu! Kau cukup menakut-nakutinya saja."

"Ah, itu tadi kami tak sengaja Bos."

"Juga singkirkan tanganmu darinya, jika aku melihat kau menyentuhnya lagi, aku akan memotong tanganmu." Sambil Yibo memukul kepala salah satu dari mereka yang tadi mencoba memegang tangan Zhan.

"Hehehe kami tak berani Bos."

.
.
.

Keesokan hari, seperti biasa Zhan ingin pergi ke kampus, tetapi mobil yang harusnya mengantarnya tidak berada di depan seperti biasa.

"Apa yang kau tunggu? Bukannya kau lebih suka naik bus, jadi mulai sekarang kau bisa naik bus setiap hari." Bibi Xiao berjalan meninggalkan Zhan setelah mengatakan itu.

"Terima kasih Bibi! Aku memang lebih suka naik bus!" teriak Zhan yang membuat Bibinya semakin kesal.

"Kelakuannya seperti anak brandal sekarang, teriak-teriak tidak jelas."

Sejak kejadian tempo hari, secara kebetulan Zhan akan selalu bertemu dengan Yibo, dia akan berkeliaran di sekitar kampus juga halte di mana Zhan sekarang lebih sering berada di sana.

Mereka akan bercakap-cakap sebentar sebelum Zhan memasuki kelasnya.

"Bos! Boooosssss!!!"

"Eh, apa?"

"Segitu fokusnya matamu melihatnya, aku memanggilmu dari tadi tidak kau hiraukan."

"Sudah beberapa kali kubilang, jangan menegurku di tempat di mana Zhan bisa melihat."

"Tenang aja, Bos. Dia tidak melihat kok. Btw, Bos, kau sungguh pintar Bos mencari target anak orang kaya yang sepertinya lugu pula, mudah untuk ditipu."

"Apa maksud perkataanmu?"

"Bukannya kau mengincar dia untuk memanfaatkannya?"

"Jaga ucapanmu!" Yibo tampak murka. "Dari mana kau tahu dia anak orang kaya?"

"Anuuu .... Bos, sering keluar malem ke tempat itu, menatap kamar di lantai 2 di rumah mewah itu. Kami pikir ada orang yang membuat Bos marah, maka kami diam-diam mengikuti Bos, dan tahunya itu rumah lelaki cantik itu."

"Itu ... dia bukan orang kaya, dia hanya tinggal di sana sebagai anak pelayan, tetapi bosnya sangat baik telah menyekolahkannya." Yibo menjelaskan seperti apa yang Zhan katakan sebelumnya.

"Owh, pantes, aku juga mikir, mana ada anak orang kaya pulang pergi naik bus, juga pasti baju yang dipakainya KW bukan asli."

"Entahlah, aku harus percaya atau tidak."

"Tapi jika diperhatikan lagi, wajahnya tidak pantas jadi orang miskin seperti kita ini," ucap Hao jujur.

"Jadi maksudmu, tampang kita pantas jadi orang miskin?" lelaki yang memiliki codet di pipinya itu memperjelas.

Yibo hanya melirik tidak berminat untuk menimpali, tetapi Hao sepertinya peka.

"Ah, benar juga, lebih tepatnya tampang kami saja, Bos Yibo tidak."

Hahaha tawa pecah menertawakan kemiskinan mereka.

Bersambung

Lavender Promise (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang