TEARS

242 154 82
                                    

Mulmed: Rava

“ Lo, gak papa kan? Muka lo pucet tadi gue liat,” tanya Rava

“ emm, umm. Gue gak papa kok , Rava” jawab Ersya dengan gugupnya.

“ jujur, sya”

“ Gu-e, mm. Iya tadi gue sedikit pusing, tapi sekarang gak papa” Ersya menundukkan kepalanya tidak berani melihat Rava.

“ yang bener?” tanya Rava memastikan sambal menarik dagu Ersya agar dapat menatapnya.

“ umm, i-ya” jawab Ersya dengan gugup.

“what’s wrong with me?” tanya Ersya dalam batinnya.

Merasa tidak yakin atas pengakuan Ersya, Rava pun mengecek dengan meletakkan tangannya ke jidat Ersya.

“Astaga, sya. Lo demam!”

***
Happy Enjoy Reading sobat, baca!

Vote before reading, euy!

Oh iya, siapin tisu buat baca part ini ya….


Dear, anyone. I need anyone.
-Ersya



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Ersya sekarang sudah berada di boncengan Rava menuju ke rumahnya. Ersya tidak sanggup melawan Rava yang memaksanya untuk pulang. Bayangkan saja, Rava bahkan mau meminta izin kepada gurunya dan mengambil tas Ersya dari kelas sedangkan Ersya menunggu dengan cemas di UKS. Ersya pun sepanjang jalan hanya terdiam, merutuki kediamannya. Ia pun berusaha menarik napas untuk meredakan hal-hal aneh ditubuhnya.
Demam, pusing, deg-degan, dan kedinginan menjadi satu.

“ Rava”

“Hmm?”

“umm, turunin gue aja, ya? Beneran gue gak pap kok.” Pinta Ersya yang akhirnya bersuara.

Rava tidak berniat menanggapi Ersya. Ia hanya terdiam dan fokus membawa motor besarnya. Di sepanjang jalan tidak ada yang bersuara. Ersya pun tidak lagi berani mengajak Rava berbicara karena respons yang tadi ia berikan.
Ketika hampir dekat dengan rumahnya, kira-kira sekitar 15 meter, Ersya melihat rumahnya ramai orang. Di depan halaman, ia melihat bi Inah seperti panik dan menangis memegang handphone.
Ketika tepat sampai di rumahnya, Ersya pun turun dari motor besar Rava, tiba-tiba bi Inah memeluk Ersya sambil menangis. Ersya yang menerima pelukan bi Inah bingung, air matanya turun melihat bi Inah yang menangis seperti itu. Entah kenapa ia merasakan kepedihan yang sangat mendalam.

“Non, kenapa dari tadi ga bisa ditelpon?”

Ersya pun mengecek handphone-nya, ternyata mati karena habis baterai.

“Iya, bi. Baterainya habis jadi mati. Bi Inah, a-da a-pa? Kok bibi nangis? ini lagi kok banyak orang ya, bi? Tumben.” Tanya Ersya pelan.

“Non Ersya, non harus kuat ya,” kata bi Inah semakin menangis.

Deal With HURTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang