"Tuhan memberiku masa lalu terpuruk, tetapi bukan berarti ia juga menyiapkan masa depan yang buruk."
-Bintang Shareeza-***
"Menjauhlah nak! Dia adalah anak dari seorang pembunuh."
"Hei! Bukankah dia adalah anak dari seorang pembunuh?"
"Pembunuhan di daerah Rajawali oleh Toni Triano. Bukan begitu?"
"Apakah dia juga akan membunuh kita?"
Aku sedikit jengah ketika orang-orang membicarakan tentang kejadian itu. Lagi dan lagi, peristiwa empat tahun yang lalu diulang kembali. Bukan hal yang mudah untuk menghilangkan ingatan tentang seorang pahlawan bagi anak dan istrinya mendadak jadi pembunuh yang menggemparkan satu wilayah. Jikalaupun ada yang lupa maka satu dari mereka akan mengingatkannya kembali.
Aku tak mengindahkan ucapan mereka, kaki-ku terus saja melangkah dengan gontai, bukan berarti aku betah berlama-lama untuk mendengar perkataan mereka, tetapi memang begini. Disaat semua orang kembali membisikkan nama Ayahku maka langkahku akan lambat, sakit hati seiring dengan waktu tak kunjung sembuh, luka yang dulunya ku lupakan perlahan datang.
Perlahan, kepingan-kepingan memori itu berkumpul menjadi utuh. Bagaimana Ayah mengangkat pistolnya lalu mengarahkan tepat di kepala pegawai bank saat itu.
Empat tahun yang lalu.
Tigor. Dia adalah pegawai bank yang menjadi musuh Ayahku, hanya karena kesalahpahaman lalu berujung pada kematian.
Hari dimana kelahiran Adikku, saat itu keluarga kami sangat membutuhkan uang, Ayah berpikir bahwa kita harus meminjam uang kepada bank. Namun Ibuku kembali mengingatkan jika meminjam kepada bank tersebut sangat berbahaya. Bagaimana tidak? Jika hutang tidak dibayar, maka nyawa menjadi taruhan. Sedikit tidak logis memang, tapi itulah yang mereka inginkan.
Ayahku hanyalah seorang petani biasa. Bukan hal yang mudah mendapatkan uang saat itu, ujian selalu datang, kadang padi yang ia tanam dimakan hama, kadang kualitas nya kurang bagus, dan banyak lagi. Hal itulah yang membuat Ayahku menyerah, meminjam uang adalah jalan utamanya.
Ayah berangkat pagi saat itu, ia menyuruh agar kami duduk dirumah, sementara Ibuku dijaga oleh Nenek di rumah sakit. Saat itu aku bersama dengan Nagita, dia adalah sepupuku.
Kelahiran adikku mungkin kurang empat jam lagi, begitu kata dokter. Hal itu membuat Ayah bersyukur, karena ia masih memiliki waktu untuk meminjam uang.
Aku masih setia duduk di samping telepon rumah, menunggu kabar dari rumah sakit. Namun perasaan tak enak itu muncul, mendadak pikiranku terus mengarah kepada Ayah, bagaimana jika Ayah tidak mendapat pinjaman? Bagaimana jika sesuatu terjadi kepada Ayah? Kucoba untuk menepis pikiranku itu. Namun tidak ada gunanya.
Aku beranjak pergi dari rumah namun sesuatu memegang pundakku sehingga aku menoleh ke belakang.
"Kamu mau pergi ke mana, Bin?" Tanya Nagita yang mungkin menyadari bahwa aku tidak ada di tempat.
"Aku ingin menyusul Ayah. Kamu disini sebentar tidak apa-apa kan?"
Nagita mengangguk pelan. Ia membiarkan aku pergi. Aku segera menyusul ke Bank yang tak jauh dari daerah ini, berjalan dari rumah ke bank hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Teen FictionNamaku Bintang. Tapi semua orang menganggapku adalah hal yang buruk dan menjijikkan. Hanya karena orangtua ku ternilai sebagai seorang pembunuh.