[5. Bertemu dengan Luka]

7 2 0
                                    

Aku masuk kedalam rumah dengan tenang. Karena di depan tadi ada mobil milik Paman, dan aku bersyukur setidaknya hari ini aku tak mendengar teriakan dan bentakan dari Bibi Sarah.

"Paman, tumben udah pulang?" Tanyaku lalu menghampiri Paman yang tengah menonton film sendirian di ruang keluarga. Paman menoleh lalu tersenyum manis.

"Kan nanti jam enam kita akan berangkat ke pesta pernikahan sahabatnya Paman, ih kamu udah mulai lupa yaaa..." Paman menarik hidung ku dengan pelan membuatku tertawa geli.

"Iyah Paman, maaf Bintang lupa. Soalnya seneng banget kemarin dibelikan Paman dua dress sama sepatu. Bintang suka." Ungkapku jujur.

"Alhamdulillah kalau kamu suka. Kamu ga ada masalah kan dengan Bibi?" Tanya Paman tiba-tiba.

"Enggak Paman, memang ada apa dengan Bibi?"

"Bibi terlihat uring-uringan hari ini. Entahlah apa penyebab utamanya. Wanita memang sulit untuk di mengerti."

Itulah Pamanku, ketika ia lelah menghadapi sifat Bibi maka keluar kata-kata mutiara dari bibirnya. Aku sangat salut dengan Paman Reno, ia begitu sabar dan telaten menghadapi sifat Bibi.

"Aku salut sama Paman, kenapa bisa betah dengan Bibi? Kebanyakan pria diluar sana pasti akan meminta cerai." Ucapku polos membuat Paman Reno tertawa sesekali mengusap rambutku dengan pelan.

"Kamu ini, mirip sama almarhum Ayah kamu, selalu begini. Ayahmu dulu juga pernah bilang begitu kepada Paman." Ujar Paman membuatku menatapnya dengan sendu.

"Terimakasih Paman sudah mau merawatku. Semoga Paman dan Bibi selalu di bawah perlindungannya."

***

Langkahku kini sudah berada di kamar bernuansa abu-abu dan putih, yah itu kamarku. Aku lebih suka dengan sesuatu yang simple, disana hanya terdapat fotoku saat kecil mencium pipi Ibu dan satunya lagi foto keluargaku disaat Ibuku hamil.

Aku tersenyum kala mengingat kejadian itu, hal yang paling ku suka.

Kemudian aku merebahkan tubuhku diatas kasur, ada keinginan untuk tidur, cukup lelah, mengingat tadi aku yang sempat dihukum karena ketauan kalau tidur di kelas. Hal yang sangat memalukan.

Baru ingin tidur, bayangan dress yang diberikan Paman terngiang-ngiang di kepalaku, aku berinisiatif untuk mencobanya. Segera aku mengambil tas yang berisi dress beserta sepatu kemarin.

Ketika ku membuka, alangkah terkejutnya, aku tak lagi melihat dress. Yang aku lihat hanyalah potongan-potongan dress yang sudah digunting. Begitu juga dengan sepatu yang sudah patah, tak berupa bentuk.

Ada sesuatu yang menyeruak di relung hatiku, teriris kalau melihat hal ini. Jika Paman melihat ini semua dia pasti akan kecewa, karena aku tau dress seperti itu bukan hal yang murah.

Aku tidak menangis, tetapi aku sedih. Aku malah memikirkan bagaimana perasaan Paman Reno kala melihat dress pemberian dari nya sekarang menjadi potongan-potongan?

Aku tak ingin menduga bahwa ini semua kelakuan Bibi, tetapi hanya dia yang berada dirumah, tapi mungkin bisa jadi orang lain, kan?

Ah! Aku sudah berpikiran buruk tentang Bibi. Apa aku sudah mulai membencinya?

Masa bodohlah. Mungkinkah aku harus berbohong kepada Paman agar tidak menghadiri pesta pernikahan sahabatnya?

Pusing aku memikirkan semuanya.

***

"Bintang, udah mau setengah enam,"

Aku berdiri dari kursi, wajahku mungkin terlihat gelisah namun sebisa mungkin aku mengubah semuanya menjadi normal.

Aku membuka pintu kamar, ku lihat Paman Reno sudah siap dengan kemeja putih yang sangat cocok di tubuhnya. Ia menatapku terkejut, aku sudah tau apa yang ada di pikirannya saat ini.

"Kok belum siap?"

Sudah kuduga.

Aku menggaruk tengkuk ku yang tak ada rasa gatal sama sekali, "maaf Paman mungkin Bintang tidak ikut ke pesta pernikahan sahabat Paman," ucapku dengan lirih, entah asal dari mana perasaan bersalah itu hadir kembali padahal jelas-jelas aku yang tidak salah.

"Tugas?"

Aku mengangguk pelan.

Paman tersenyum lalu mengelus puncak kepalaku dengan lembut, "Paman ga maksa kok, tapi Paman hanya ingin Bintang ikut. Tapi Bintang ada tugas, kalau gitu biar--"

"Tunggu Mas!"

Aku dan Paman menoleh kepada seorang wanita dengan pakaian kebaya yang cukup modern, wanita itu menggulung rambutnya dengan tangan kanan yang membawa kipas dari bulu merak.

"Bukan karena tugas! Aku tadi melihat kalau dia tidak menyukai dress yang kau beri, katanya itu sangat kuno, lalu ia memotong dress yang kamu berikan dan membuangnya."

Aku terkejut ketika mendengar ucapan Bibi.

"Kalau kamu tidak percaya, lihat saja di tempat sampah yang ada di depan rumah." Bibi Sarah menyunggingkan senyumnya, benar-benar Jahannam! Hatiku panas dan air mataku tiba-tiba mencelos keluar tanpa seizin dari ku.

"Paman maafkan Bintang, Bintang tidak ingin Paman kecew--"

Aku tidak melanjutkan ucapanku karena Paman Reno pergi begitu saja, itulah tanda bahwa Paman kecewa denganku. Aku melihat kearah Bibi, dia seolah-olah puas dengan semuanya.

"Apa mau Bibi?!" Sentakku tepat di hadapannya, hilang sudah rasa hormat ku yang ku berikan kepadanya.

"Sederhana. Tinggalkan rumah ini dan jangan pernah mengganggu hubungan ku dengan Mas Reno!"

"Dasar ular! Kalau itu maumu segera malam ini aku akan pergi dari rumah ini!"

Wanita itu tersenyum meremehkan, "silahkan saja, tanpa harus membawa uang dan harta dari Mas Reno."

Cih!

Memikirkan harta dan uang nya saja tidak. Aku membuktikan bahwa ucapanku bukan hal main-main, aku bergegas menuju kamar lalu membereskan semuanya, termasuk foto dan boneka terakhir dari Ayahku.

Sendiri lebih baik, karena bersama itu menyiksa.

***

A/n: untuk part ini segini dulu ya sayang karena aku lagi ga enak badan😞
See you💕

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang