[3. Masih Adakah Cinta?]

9 2 0
                                    

"Jika hidup adalah cinta. Masih adakah sisa untukku?"
-Bintang Shareeza-

***

Aku beberapa kali mengerjapkan mata, sayup-sayup ku dengar teriakan Bibi dari luar kamar, lebih tepatnya di depan pintu kamarku. Meski ingin kembali melanjutkan tidur namun suara Bibi Sarah sepertinya sangat membutuhkan bantuan ku. Aku menghela nafas panjang, butuh kesabaran yang besar untuk menghadapi sifat Bibi Sarah, aku turun dari ranjangku dan berjalan menuju kamar mandi. Hanya cuci muka dan sikat gigi, lalu keluar dan segera memenuhi panggilan Bibi dibawah sana.

"Males banget jadi orang! Ternyata sifatmu sama seperti pembunuh itu! Malas bekerja dan pekerjaan nya hanya membunuh orang saja." Sarkas Bibi Sarah tanpa melihat ekspresi wajahku saat ini.

Kapan Ayahku membunuh lebih dari satu orang? Ayahku bekerja sebagai petani bukan pembunuh! Ingin aku berteriak seperti itu dihadapan Bibi, namun aku tahan karena langkah Paman terdengar keluar dari kamarnya.

"Pagi Sayang." Paman Reno mencium kening Bibi Sarah. Lalu tatapannya mengarah kepadaku.

"Pagi juga Bintang." Sapa Paman Reno.

Bibi Sarah tersenyum manis. "Pagi juga Mas, eh Bintang, kamu kan tadi Bibi suruh mandi kok ga mandi mandi? Sana, entar telat dimarahin sama guru loh." Bibi Sarah mendadak berubah menjadi manis kepadaku. Kini aku tau mengapa Bibi tak pernah marah jika Paman berada disampingku, aku hanya bisa mengangguk pelan lalu segera menuju kamar mandi.

Selalu seperti ini. Ada drama di pagi dan sore hari, aku sedikit lelah dengan sandiwara semuanya. Tapi bukankah hidup juga sandiwara? Hanya sementara.

"Iyah Bibi, Paman aku mandi dulu." Pamitku lalu segera menuju ke kamar mandi dan siap-siap pergi ke sekolah.

Tak butuh waktu lama, aku sudah berada di depan cermin dengan pakaian seragam yang rapi, rambut ku biarkan terurai serta kalung dengan bandul bintang pemberian Ibuku yang menggantung manis di leherku.

Aku memoleskan bedak tipis serta lipgloss agar bibirku tidak terlihat pucat. Karena sejak kemarin malam aku tidak mendapat jatah makanan, mungkin pagi ini acara sarapan tidak untukku.

Aku keluar dari kamar lalu menuju ruang makan dan menghampiri Paman dan Bibi.

"Paman, Bibi. Bintang berangkat sekolah dulu," ucapku lalu mencium punggung tangan mereka.

"Hati-hati Bin." Ucap Paman Reno, lalu aku bergegas pergi menuju SMA Angkasa. Seperti biasa, pagi yang tak berbeda. Menunggu angkot di depan gang rumah.

***

Hari ini terasa begitu terik. Aku mengusap peluh di dahi dan leherku, olahraga sudah selesai sejak lima menit yang lalu. Jika perempuan pergi ke kantin, dan laki-laki bermain sepak bola, maka aku akan pergi menuju tribune. Karena ini hari Rabu, tak ada pertandingan, aku pun berinisiatif untuk pergi kesana. Sendiri itu sudah pasti tetapi aku merasa lebih nyaman.

Ketika sudah sampai disana, aku melihat sosok laki-laki yang ketemui sore kemarin. Dia Rigel, aku masih ingat dia. Melihat senyumnya saja jantungku berdetak kencang, entah aku menyukainya atau hanya rasa kagum. Hei bukankah itu bedanya sangat tipis?

Kubuka buku diary ku lalu kutulis sesuatu disana.

5/9
Dear diary.
Senyumannya yang indah membuatku candu ingin terus menatapnya. Tak ada obat jika aku sehari aku tak melihat senyum itu. Dia membuat hariku ceria, cerita di sore hari membuatku berani bermimpi ingin memilikinya.

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang