Makan Malam

13 4 0
                                    

Happy reading....





Sepulang sekolah tadi Atta mencoba untuk menyembunyikan wajahnya dari ibunya. Setiap diajak berbicara dia menolak untuk bertatap muka dan memilih menundukkan kepalanya hingga rambut pendeknya menutupi wajahnya.

“Atta tolong ambilkan piring, Nak.” Perintah ibunya ketika Atta tengah mengelap meja.

“Iya, Bu.” Jawab Atta patuh, lantas mendekati ibunya. Atta menyodorkan piring masih dalam keadaan menunduk. Anita yang merasa aneh dengan tingkah Atta pun bertanya.

“Enggak papa, Bu.” Jawab Atta singkat yang malah membuat ibunya semakin penasaran, disibakkannya rambut Atta ke belakang kemudian tangannya menyentuh dagu Atta supaya mendongak menghadapnya.

Atta hanya pasrah ketika ibunya terkejut dengan sebelah tangan menutup mulutnya. “Astaghfirullah Nak, kamu kenapa ini!” diperiksanya plaster yang melekat di bagian pipi Atta. “Atta enggak papa kok, Bu. Tadi Cuma jatuh.”

“Jatuh dimana?” tanya ibunya tanpa menurunkan nada bicaranya. “Di tangga, keseleo Bu.” Atta menggigit bibir bawahnya menyadari ketidak logisan alasannya terluka.

“Siapa yang buat kamu kaya gini, nggak mungkin jatuh dari tangga.” Suara Anita berubah tegas bak singa yang melindungi anaknya. “Bukan siapa siapa Bu,” Atta lantas menjauhi ibunya mempersiapkan alat makan.

“Ibu tidak percaya.” Masih dengan suara tegas ia membuntuti anak semata wayangnya itu.

“Udah, Ibu tenang saja. Atta sudah ke Dokter, oke.” Atta tersenyum tetapi lukanya terasa perih karena senyumannya yang terlalu lebar. “Au ...”

“Tuh kan, kamu ngeyel jadi anak.” Anita menarik kan kursi untuk Atta tetapi Atta menolak dia izin ke kamar untuk mengganti plasternya.



Tok...tok...tok...



Anita membukakan pintu, di hadapannya tengah berdiri sesosok laki laki memakai jeans berwarna pink serta hudi berwarna senada. Sesaat Anita mengernyit tanpa bersuara seolah bertanya 'kamu siapa?’.

“selamat malam Tante, kenalin saya Melki teman Atta.” Dengan lembut Melki meraih tangan Anita untuk bersalaman, sedangkan Anita mematung kaget di depannya. “Tante,” Melki mengibaskan tangannya menyadarkan Anita.

“Eh, iya ya sudah ayo masuk.” Anita mempersilahkan Melki masuk. Tidak berselang lama Risa dan Febri pun datang. Anita menyambutnya tak kalah ramah.

“Tante Atta, Mana?” tanya Risa setelah dipersilahkan duduk di ruang makan. “Masih di dalam kamar, biar Tante panggilkan ya.” Risa mengangguk dengan seulas senyum di bibirnya.



“Atta teman temanmu sudah datang, ayo keluar Nak.” Kata Anita setelah mengetuk pintu kamar Atta yang terkunci. Iya, Bu sebentar.” dari dalam kamar tubuh Atta bergetar membayangkan Reyga yang ikut dalam acaranya malam ini, tanpa ia sadari jantungnya berdetak cepat hanya karena membayangkan kejadian di UKS tadi siang.

Atta menghela nafas panjang lalu membuka pintu dan langsung bertemu dengan ibunya. Habis ini kamu ceritain ke Ibu, ya.” Anita menghela Atta ke ruang makan. Setelah bercakap dengan Risa, Melki dan Febri. Anita menyuruh mereka untuk segera makan.

Dalam hati Atta bersyukur karena Reyga tidak hadir atau kalau tidak hancur semua acaranya. “Silahkan, Nak dimakan.” Anita membuka hidangannya. Ada sup buntut, tumis kangkung, ikan bakar juga sambal matah.

“Maaf ya, Tante Cuma bisa menghidangkan ini saja.” Kata Anita lirih. “Nggak papa kali Tante, lagian saya jarang makan makanan rumahan kaya gini. Hm, kangen sama sambal matahnya Mama.” Risa menghirup aroma sambal matahnya di hadapannya hingga tersedak.

“Nih minum dulu,” Febri menyodorkan segelas air putih untuk Risa.

“Pelan pelan kali, Sa nafsu amat lo.” Melki terkekeh geli. “Btw, Reyga nggak jadi dateng?” Atta yang tengah tersenyum pun langsung memudarkan senyumnya. Lalu kembali tersenyum senang.

“Allhamdulilah dong.”

“Hus Atta, temannya enggak jadi kesini kok malah senang.” Anita memperingatkan. “Kalau tamunya kaya mereka Atta ya bakalan sedih banget, tapi kalau kaya Reyga ya emang sudah harus seneng, Bu.” Anita hanya menggeleng pelan bersamaan dengan itu terdengar suara pintu yang diketuk. Anita yang hendak berdiri pun mengurungkan niatnya karena Atta yang mengambil alih.

“Biar Atta saja, Bu.” Ketika Atta membuka pintu ia sempat was was Karena takut yang datang itu adalah Reyga.

Ceklek...

Atta memutar kuncinya lalu menarik kenop pintu secara perlahan.

Hap. Atta hampir saja terlonjak melihat siluet hitam tengah berdiri dihadapannya. Memakai jaket berwarna gelap dengan celana jeans senada serta kemeja putih dengan bintik bintik hitam. Laki laki itu terlihat santai mengamati ekspresi terkejut Atta.

“Reyga lo dateng!” Atta menganga tak percaya. “Darimana lo tau alamat rumah gue.” Kali ini suaranya sedikit di pelankan.

“Biasa aja kali kaya enggak pernah liat pangeran ganteng aja.” Sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Atta. Reyga hanya menjawab ekspresi wajah Atta, yang menatapnya kagum. Sedikit.

Atta menggaruk pelipisnya salah tingkah sendiri. “Atta siapa yang datang, Nak.” Tanya ibunya dari dalam rumah. “Di suruh masuk dong,” kata ibunya lagi.

“Tuh, nyokap lo aja nyuruh gue masuk,” pertanyaan Atta masih menggantung di udara karena sepertinya Reyga memang tidak berniat untuk menjawabnya.

“Ya udah masuk.” Atta memundurkan tubuhnya membiarkan Reyga masuk kedalam rumahnya. Reyga mengamati rumah Atta berjalan perlahan menuju ruang makan yang sekaligus menjadi dapur itu.

Di sana Reyga sudah melihat kedua temannya yang duduk nyaman bersama seorang wanita dan seorang laki laki yang dia lupa namanya. Reyga memicingkan matanya meneliti laki laki yang tengah menyantap makanan dan sepertinya tidak menyadari kehadirannya.

“Eh, sini Nak ikut makan.” Anita yang pertama kali sadar. Wanita itu menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Lo dateng Rey. Sini duduk.” Risa ikut bersuara, membuat Febri mendongak. Pandangan Reyga dan Febri bertemu.

“Lo! lo Reyga kan? yang dulu sekelas sama gue.” Dengan semangat Febri berdiri hendak menghampirinya tetapi Reyga sudah berjalan terlebih dahulu mendekatinya.

“Gue lupa.” gumamnya dengan nada seolah mengingat. “Gue Febri anak IPA 1 dulu kita sekelas, sebelum lo pindah jurusan ke IPS.” Reyga hanya mangut mangut lalu mendekati Anita untuk bersalaman.

Atta yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Reyga pun ikut duduk di sebelah Reyga. “Namanya siapa, Nak?” tanya Anita.

“Reyga, Tante.”Ibu Atta mengangguk lalu kembali berujar. “Silahkan dimakan, Nak Rey. Teman temannya sudah pada makan semua itu, Atta juga makan.” Melki yang sudah nambah dua kali pun ikut angkat bicara meskipun mulutnya masih penuh dengan makanan.

“Hm ..., Iyi matan Rey. Enyak banyek macakannya.” (Ini makan Rey. Enak banget masakannya) seisi meja hanya tersenyum melihat Melki.

“Yaelah Mel, enak sih enak tapi enggak usah pake kuah segala kali.” Febri mengelap mukanya dengan tisu. Nasib memang harus berhadapan dengan Melki apalagi di meja makan.

“Pasti Tante ya, yang masak.” Masih dengan senyum di bibirnya Reyga bertanya.

“Iya, Tante yang masak. Tapi kalau tumisnya itu Atta yang masak.” sepersekian detik kemudian Reyga menyendok tumis kangkung di sudut kirinya tepat di depan Atta. “Lho Nak Reyga nggak sama ikannya atau ini supnya.” Anita menyodorkan dua mangkuk berisikan ikan dan sup.

“Sup buntutnya Rey enak banget asli.” Risa ikut menawari.

“Iya Tante nanti pasti saya cobain semua. Saya mau nyobain masakan anak Tante dulu, enak enggak kalau tiap hari jutek mulu.” Reyga lalu menyuap suapan pertamanya.

“Apaan sih, nggak nyambung. Nggak usah nyobain masakan gue.”

“Nggak rugi dan nggak ada untungnya juga.” ketus Atta lalu ikut menyuap makanannya dengan kasar. Reyga sama sekali tidak memperdulikannya dia masih asyik mengunyah makanan di mulutnya.

“Er- masakan Atta terlalu asin nih Tante.” adu Reyga lalu menyendok sup buntut ke dalam piringnya. “kalau ini baru enak.” katanya lagi ketika sup buntut di piringnya sudah berpindah ke dalam perutnya. Anita menggeleng pelan dengan senyum di bibirnya, tentu saja dia tahu kode kode semacam itu apalagi ketika tadi dia memakan tumis masakan Atta yang sama sekali tidak terasa asin.

“Woy lo berisik banget sih, langsung nggak nafsu makan gue.” Atta mengaduk aduk isi piringnya keras keras.

“Sudah sudah. Atta.” Ibunya menegur membuat Atta diam seketika.

“Iya dari tadi ribut mulu, nggak ngenalin orang makan.” sahut Melki. “Tau nggak sih Tan, Reyga sama Atta itu kalau di sekolahan ya kaya gitu. Berisik terus nggak bisa akur.” Risa menambahi. Ditempatnya Atta hanya merenggut ketika Reyga menyeringai lebar.



“ibu undur diri istirahat ke dalam dulu ya, silahkan di lanjutkan kalau masih ingin mengobrol ngobrol.” Ibu Atta pun melangkah masuk ke dalam kamarnya. Atta Dan Risa langsung berdiri untuk membereskan meja makan sementara Reyga, Febri dan Melki Atta suruh pergi ke ruang tamu.



Setelah membereskan meja makan dan dapur Atta termangu di sana. Haruskah ia keluar ke ruang tamu?

Dorongan hatinya ingin masuk saja ke kamar dan tak keluar keluar lagi. Reyga, entah kenapa terlalu menebarkan aura yang terasa aneh kepada Atta, dan itu mengganggunya. Tetapi tentu saja ia tidak mungkin membiarkan temannya duduk di sana tanpa adanya tuan rumah.

Risa yang masih memegang kain lap mengamati Atta lalu menghampirinya. “Udah selesai semua, kan?” Atta hanya mengangguk. “Ya udah sekarang ke depan, yuk.” Risa menaruh kain lapnya di sisi meja. Sambil menghela nafas panjang Atta melangkah menuju ruang tamu.



Ketika Atta masuk ke ruang tamu, Melki tampak sedang membenarkan make up-nya dan Febri tengah bercakap cakap dengan Reyga.

Reyga sedikit melirik ke arah Atta yang memasuki ruang tamu dan duduk di sudut sofa tempat terjauh dari Reyga, lalu melirik arlojinya.

“Kalian mau dengerin lagu nggak?” gumamnya tenang. Semuanya mengernyit bingung. “Ini udah malem kali Rey, yang bener aja mau dengerin lagu.” Melki akhirnya berkomentar.

Febri tersenyum tipis. “Tau deh, bingung gue sama lo Rey.” Risa menggelengkan kepalanya heran. “Gue yang nyanyi tapi kalau kalian nggak mau dengerin it’s okay no problem, gue Cuma butuh satu orang yang harus dengerin lagu gue.”

Atta menyengirkan bibirnya tak mengerti dengan apa yang dikatakan Reyga, hanya saja dia berharap laki laki itu tidak akan berbuat ulah lagi. Semoga. “Dan orang itu adalah lo, Atta.” Dengan gerakan kilat Reyga menunjuk Atta, membiarkan Atta terkejut di tempatnya Reyga bangkit berdiri lantas keluar dari rumah Atta.

Gawat darurat, semuanya memang tidak akan baik baik saja pun dengan jantung Atta yang saat ini sudah berdebar kencang. “Si Reyga kenapa sih? Jadi, kaya gitu.” Risa yang duduk di dekat Febri hanya mendapat senyuman manis dari Febri, dan itu amat sangat berbahaya bagi jantungnya!.

Tiba-tiba terdengar suara orang menyanyikan lagu one call away dengan petikan gitar yang mengiringinya. Melki melongok ke luar rumah di sana, ia melihat Reyga tengah bersandar di depan mobilnya bahkan Reyga mengenakan bucket hat.

Melki memasukan kembali kepalanya dengan tatapan takjub dia mengigit bibir bawahnya seolah kalau terlepas dia bisa berteriak kencang. Atta, Risa dan Febri mengikuti Melki yang sudah keluar tanpa sepatah kata apapun.

Hati Atta berdesir pelan seperti ada tarikan pada suara Reyga agar mendekat. Ketiga temannya melirik Atta heran karena dia berjalan semakin mendekati Reyga. Ia melangkah melewati pagar bambunya. Senyum manis tercetak di bibir Reyga ketika menyadari Atta yang sudah berdiri di hadapannya.

Lagu Charlie Puth sukses ia nyanyikan dengan merdu, senyumnya semakin mengembang karena Atta yang menatapnya tanpa berkedip. Di belakang Melki terpekik karena ketakjubannya hingga tak menyadari Risa dan Febri yang diam diam saling menggenggam jemari tangan satu sama lain.

“Omg Reyga, seumur hidup temenan sama lo baru kali ini gue denger suara emas lo!” seru Melki membuat Atta ikut tersadar lalu mengerjapkan matanya sebelum akhirnya menunduk ketika matanya saling tatap dengan Reyga. Dia sangat malu.

“Suara lo keren banget, gila.” Risa berdecak kagum. Reyga hanya tersenyum sembari menggaruk tengkuknya kikuk. Tanpa di duga Reyga meraih tangan Atta dengan sebelah tangan masih menenteng gitar kesayangannya.

“Ikut gue, bentar.” Atta tidak mampu menolak seakan memang sudah seharusnya ia menuruti perkataan Reyga.

“Ta.” Reyga bingung ingin berkata apa karena biasanya cewek di hadapannya ini akan langsung mengeluarkan ocehan ocehan khasnya tapi kali ini dia hanya diam mengamati Reyga.

Reyga menoleh ke kanan kiri, lingkungan perumahan Atta sangat sunyi mungkin karena sudah malam dan karena rumahnya masuk kedalam gang yang sedikit sempit jadi tidak ada kendaraan yang berlalu lalang seperti di jalan raya.

Udara dingin mulai merambat masuk ke dalam pori pori kulit Atta dan sekarang ia hanya mengenakan dress selutut berwarna hitam dengan rambutnya yang tergerai di atas bahu. Atta mengaitkan kedua lengannya menahan udara dingin. “Udah malem gue balik ya.” Setelah memikirkan beberapa kalimat di benaknya akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

“Gue tau kalau ini udah malem, nggak mungkin juga kan subuh! siapa yang mau lo lama lama di sini, wlee ...” Atta sudah menetralkan nafasnya yang sempat hilang saat Reyga bertanya padanya tadi.

Reyga berdecak sesaat lalu menarik Atta tepat di belakang mobilnya. Risa, Febri dan Melki sengaja memberi waktu berdua untuk mereka, akhirnya tiga orang itu memilih masuk kembali kedalam dalam rumah. “Katanya mau pulang terus kenapa lo nyulik anak orang ke sini.”

“Kalau mau pulang ya pulang aja kali lagian lo dateng ke sini cuma buang buang waktu aja, harusnya tuh ya lo itu di rumah aja belajar kek, nge-game kek atau apa lah itu yang penting nggak datang ke rumah gue.” Atta masih mengocehi Reyga hingga Reyga melepaskan tangannya.

“Gue itu cuma mau bungkam tuh mulut pake kaos kaki.” alih-alih marah atau kesal Atta malah terkekeh geli melihat ekspresi wajah Reyga yang terlihat dongkol.

“Kaya lo berani aja tukang becak.”

“Denger, jangan macem macem sama cowok. Inget kejadian di bukit waktu itu?”  seketika rona merah menjalar di pipi Atta. Udara yang tadinya dingin kini berubah menjadi panas mencekam. “Dasar cewek gue!” mata Atta langsung terbelalak mendengar dua kalimat terakhir Reyga.

“Sumpah demi dewa Yunani, gue bener bener nyesel udah ngundang lo.” Atta sudah merasa naik pitam pasalnya detak jantungnya tidak berdetak normal lagi sekarang.

Reyga balik terkekeh kecil “Sumpah serampah lo itu nggak akan mempan sama cowok ganteng kaya gue, asal lo tau.”

Kesombongan Reyga sudah kelewat batas. Bagaimana tidak! Dia selalu membanggakan parasnya yang yah sedikit, hanya sedikit tampan.

“Kenapa diem? takut sama gue.” Reyga kembali terkekeh sebelum kalimat pedas keluar dari mulut gadis mungil di hadapannya.

“Lo tuh ya udah nggak sopan sama tuan rumah, bikin naik darah mulu bawaannya pake nyanyi nyanyi nggak jelas di rumah orang.”

“Atta, Atta.”

“Apa?!”

“Gimana gue mau sopan orang tuanya rumahnya aja nggak sopan sama tamunya padahal kan tamu adalah Raja.”

“Gue sopan, tuh.” sangkal Atta.

“Nggak.” sela Reyga cepat.

“Sopan!”

“Nggak.” Reyga melangkah maju, menepis jarak antara keduanya.

“Sopan.” Atta tidak mau kalah.

“Enggak.”

“Sopan.” Atta melebarkan matanya ketika menyadari jarak antara dia dan Reyga sudah sangatlah dekat.

“Enggak.” gumam Reyga.

“Sop ...”

Hup  kening Atta terasa dingin oleh sesuatu yang tidak lain adalah bibir Reyga hinggap di sana.

“Nah kalau gini baru diem, kan lo.” Reyga melangkah mundur membuat jarak agar dapat melihat wajah Atta yang terkejut dengan mata melebar.

Reyga menarik tangan Atta agar mengikutinya kembali masuk ke dalam rumah tetapi dengan cepat Atta mengibaskan tangannya. Debaran jantungnya benar benar menggila hingga membuatnya kehilangan nafas. Atta berlari melewati Reyga dan teman temannya yang melihatnya heran.

“Melki, Febri, Risa ayo balik. Tuan rumahnya udah ke dalam duluan tuh.” kata Reyga kemudian.

“Atta kenapa, Rey?” Risa masih mengernyit.

“Lo nggak ngapa ngapain dia kan Rey?” suara lunak Melki membuat Reyga mengangkat sebelah alisnya.

“Gue apa apain, udah ah yuk cabut.” Ujarnya hendak berbalik tapi tertahan karena Risa kembali bersuara.

“Eh- gue mau nginep di sini deh. Feb lo balik duluan ya, nggak papa kan?” Febri mengangguk dengan senyuman manis.

“Ya udah, oke. Sa tutup semua pintunya.” Kata Reyga lantas melenggang pergi.



Setelah semuanya pulang, Risa menutup pintu kemudian berjalan menuju kamar Atta yang tertutup rapat. “Ta ini gue, Risa bukain dong.” Risa mengetuk pintu kamar Atta sepelan mungkin, takut Anita terbangun.

“Ta.” Bersamaan dengan panggilan keduanya, kenop pintu kamar ibu Atta bergerak. Tidak berselang lama Anita keluar dari kamarnya ia sedikit terkejut ketika melihat Risa berdiri di depan pintu kamar Atta. Wanita itu lalu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 22:05 WIB.

“Lho Nak Risa kok belum pulang?”

“Iya tente, Risa mau nginep di sini boleh kan Tan?” Risa meringis.

“Boleh saja kok, tapi itu kenapa Atta tidak mengajak kamu ke kamarnya?” Risa menggigit bibir bawahnya.

“Er- tadi itu, anu, Tante.”

“Enggak papa kok, Bu.” Atta menyahut dengan tenang. Risa menoleh lalu menghembuskan nafasnya lega.

“Ya sudah ibu mau ke kamar mandi dulu, kalian tidur sudah malam besok kalian kan sekolah.” Perintah ibunya. Keduanya mengangguk patuh lantas masuk ke dalam kamar.

Risa melangkah mendekati ranjang Atta yang hanya cukup untuk dua orang. Lantas duduk di tepi ranjangnya. “Ta, lo tadi kenapa?” terdengar helaan nafas panjang dari Atta yang kemudian ikut duduk di samping Risa.

“Enggak papa, kesel aja sama Reyga.” Atta merebahkan tubuhnya berbantalkan boneka panda.

“Btw lo kok nginep di rumah gue.”

“Gue kan udah janji mau cerita tentang siapa Febri itu. karena tadi lo sama Reyga ribut mulu jadi gue nggak enak kan mau ganggu.” Risa terkekeh kecil.

Atta mendengus lalu melempar boneka pandanya tepat mengenai kepala Risa. “Lah kok gue di pukul sih.” dengan kesal Risa mengambil boneka itu lalu di buat bantal.



Keduanya diam tidak ada yang menjawab ataupun bertanya lagi, keduanya hanya berbaring Ngalang dengan pikiran yang leluasa hinggap ke sana kemari. Risa tersenyum senyum sendiri membayangkan Febri yang tersenyum padanya sedangkan Atta memikirkan Ayahnya, dalam benaknya timbul banyak pertanyaan seperti 'Ayah sedang apa di sana?’, 'Ayah sehat kan?’, 'Ayah sudah makan?’. Ayah, ayah, Ayah tiba tiba bayangan ayahnya berubah menjadi bayangan Reyga yang menatapnya lekat. Laki laki itu mengenakan Bucket hat, suaranya merdu, laki laki pertama selain Ayahnya yang berani mencium Atta seenaknya.

Argh! Sial, sial, sial. Atta menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, membuat Risa meliriknya sekilas. “Udahlah  Ta, enggak usah di pikirin mending tidur mimpiin Suga.” Risa kemudian bangkit untuk membenarkan posisinya lalu kembali berbaring membelakangi Atta.



🌺🌺🌺



Burung berkicauan menyambut terbitnya sang mentari pagi yang mulai menebarkan kehangatan di setiap celah penjuru bumi. Sejak Risa datang ke rumah Atta, is merasa bahagia karena  memiliki teman yang bisa dianggap sepertu saudara sendiri. Tentu saja dia tidak akan lagi merasa kesepian.

Pagi itu mereka bertiga tengah menyantap sarapannya dengan khidmat, Anita memperhatikan Risa kemudian beralih ke putrinya lalu berdehem.

“Atta sudah janji buat cerita, kan?” Atta yang hendak menyendok makanan ke mulutnya langsung mendongak menatap ibunya. Perlahan Atta menelan sisa makanan di mulutnya lalu menengguk segelas air putih hingga tersisa setengah.

Risa tahu apa yang Ibu Atta katakan karena sedari tadi ia melihat Anita selalu memperhatikan luka luka di wajah Atta. “Atta berantem sama temen sekelas Atta, Bu.”

“Iya bener Tante, tapi bukan salah Atta kok Tante. Dianya aja yang suka nyari gara gara sama Atta.” timpal Risa.

“Iya, Ibu percaya kalau kamu tidak bersalah, tapi kali lain kalau dia deketin kamu, kamu lebih baik menghindar saja ya.” tutur Ibunya.

Atta terbatuk sebentar karena teringat perkataan Reyga yang hampir mirip dengan perkataan Ibunya yakni tidak boleh berurusan dengan Evi. “Nak Risa kawanmu yang namanya Febri itu ...” Anita sengaja menggantung kalimat selanjutnya untuk melihat ekspresi apa yang di timbulkan oleh Risa. Dia hanya menatap Ibu Atta antusias.

“Hati hati saja, mau bagaimanapun dia itu laki laki normal. Maksud Tante kamu lebih bisa menjaga jarak sama dia, karena Tante perhatikan kamu sama dia itu deket banget, kalian pacaran?”

“Hampir pacaran Tante.” Jawabnya cepat. “Semoga aja bisa cepet cepet pacaran. Amin.” Anita tersenyum kecil.

“Dan makasih Tante atas kepeduliannya, andai Ibu Risa kaya Tante pasti Risa bakal seneng banget.” Risa menertawakan dirinya sendiri.

“Memangnya ibumu seperti apa? Bukannya semua ibu di dunia seperti itu, peduli pada anaknya.” Risa mengangguk namun bibirnya tersenyum kecut.

“Mama Risa perdulinya cuma sama uangnya Papa aja Tan, dia ninggalin papa setelah berhasil mengambil sebagian besar aset Papa.” tidak ada raut terluka dari wajahnya, mungkin karena sudah terlalu lama kejadian itu berlalu.

“Sabar ya, Sa.” Atta mengelus punggung Risa lembut.

“Ah gue mah santuy, iya enggak Tan.” Risa kembali tersenyum lebar. “Ya udah kita berangkat yuk, Ta.” Risa bangkit berdiri untuk menyalami Anita.

“Nak Risa yang sabar ya.” bisik Anita ketika Risa menunduk untuk mengecup punggung tangannya.


~IOMLOVE~

Kosakatanya berantakan? Ya mon maap lagi males revisi yang penting update ye kan:"

Votenya kakak:)

Follow ig
Vivipermatasari0675

If Only Music Love [Akan Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang