A.I. See You [4 - Tamat]

180 42 27
                                    

Aku bangun sambil berteriak. Kepalaku sakit. Kulihat tangan dan kakiku, lalu bercermin. Semua bagian tubuhku masih ada. Aku tertawa, menangis bahagia dan bersujud. Itu satu dari sedikit momen ketika aku benar-benar bersyukur pada Tuhan sudah diciptakan sebagai manusia.

Kulihat jam. Sudah dua belas jam aku tertidur sejak mengonsumsi obat dari resep Riko. Efeknya terlalu kuat untukku sampai-sampai mimpiku terasa begitu nyata. Aku memutuskan untuk menemuinya lagi.

Langit bak saluran televisi digital yang mati. Biru tak berawan. Tidak ada lagi kota bercahaya dan langit yang berkabel-kabel. Semuanya tampak normal.

Aku bercerita pada Riko tentang mimpiku. Terakhir kuingat para malaikat berwajah Zeta memasang bagian-bagian tubuhku. Kemudian mereka memberikan program yang berisi rasa sakit, cemas, dan penderitaan. Semuanya begitu nyata hingga aku tak hanya merasakannya di kulit, tetapi juga di dalam jiwa.

Riko mendesah dan berkata, "Aku tak pernah berpikir bahwa orang di luar AICU juga bisa terkena dampaknya."

"Apa maksudmu?"

"Aku ingin membuat pengakuan," ujarnya. "Akulah penggagas ide Basilisk itu."

"Kau bercanda, 'kan?"

Riko menggeleng. "Jangan salah paham. Aku tak bermaksud menggunakan ide itu untuk memaksa orang berdonasi untuk membuat program, apalagi membuat orang depresi. Justru sebaliknya, aku menyampaikan ide itu di forum AICU agar mereka berpikir dua kali saat hendak membuat AI yang berpotensi melampaui kecerdasan pembuatnya sendiri."

"Jadi kau juga anggota AICU?"

"Ya, dulu. Aku keluar sejak admin memberedel komentarku," jawabnya. "Sebenarnya aku penentang paling keras pelaksanaan proyek itu. Tapi orang-orang mengartikannya lain. Sekarang ide itu sudah memakan banyak korban."

"Lalu bagaimana cara menghilangkannya dari otakku?"

"Sayangnya, kau tak bisa membunuh sebuah ide."

Aku berdiri dan mencengkeram kerah baju toganya. "Kau yang mencetuskannya, jadi kau yang seharusnya bertanggung jawab. Tapi setahuku, obat yang kauberikan malah membuatnya tambah buruk!"

"S-sabar. Aku belum selesai bicara," katanya. "Tenang dan duduklah."

Kuikuti perintahnya.

"Obat itu hanya obat tidur, tak ada hubungannya dengan ide itu. Selain itu, apa kau yakin sudah meminumnya sesuai resep?"

Aku tak bisa menjawab. Sejujurnya, aku tidak ingat berapa butir yang kutelan.

"Satu pertanyaan lagi. Apa kau percaya pada Tuhan?"

"Apa hubungannya?"

"Pascal's wager," balasnya. "Apa Tuhan itu ada, atau tidak? Menurut filsuf Blaise Pascal, orang yang rasional adalah orang yang percaya dan menjalani hidup seolah-olah Tuhan itu ada. Mengapa? Sebab jika Dia tidak ada, orang itu hanya rugi sedikit saat ia mati. Namun, jika ternyata Dia memang ada, orang itu akan mendapat keuntungan tak terhingga (surga) dan menghindari kerugian tak terhingga (neraka)."

"Aku masih belum ... atau jangan-jangan—!"

"Merasa familiar? Meski itu bukan tujuan awalku, banyak yang menganggap ide itu sebagai variasi dari Pascal's wager. Jika AI itu memang ada, kau mungkin disiksa atau tinggal di utopia selamanya—tergantung dari seberapa besar dukunganmu dalam pengembangan AI tersebut. Tapi ada celah dalam pemikiran itu. Misal, kalaupun AI atau 'Tuhan' itu ada, seseorang bisa saja memercayai 'Tuhan' yang salah. Itulah kenapa aku pernah bilang bahwa orang-orang AICU itu seperti pengikut aliran sesat. Perilaku mereka mirip dengan orang-orang yang terjerumus ke kultus penipuan atau pemujaan setan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A.I. See YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang