"Mas pulang."
Kalimat itu membuatku mendongakkan kepala, lalu tersenyum ke arah pria yang berdiri di ambang pintu ruang tengah itu. Aku segera bangkit, mencium punggung tangannya lalu beralih mengambil tas miliknya.
"Kenapa baru pulang selarut ini?" tanyaku, ketika menyadari bahwa sekarang sudah lebih dari pukul sepuluh.
"Mas ada lembur tadi."
"Ooh." Aku manggut-manggut. "Udah makan?"
"Udah, sih." Dia menepuk singkat perutnya. "Tapi lapar lagi."
Aku tersenyum geli. "Mau mandi atau makan dulu? Anin udah bikin semur telur sama bakwan jagung."
"Mandi." Dia melirik laptopku di atas meja. "Kamu nulis?"
Aku meringis malu sambil mengangguk. "Rehan minta tiga bab selesai malam ini. Jadi ya ... gitu."
"Jangan capek-capek." Telapak besarnya mengusap puncak kepalaku.
"Enggak, kok." Aku menyengir. "Mas mandi sana. Anin siapin makan malamnya."
Dia beranjak menuju kamar mandi, setelah memberikan jaketnya ke tanganku. Sedangkan aku segera menaruh barang-barang itu ke kamar—milik kami. Lalu menaruh kaus dan celana bersih di atas kasur, untuknya berganti pakaian. Setelah itu, aku langsung keluar lagi untuk memanaskan semur telur yang pastinya sudah dingin karena kumasak siang tadi.
Tak perlu menunggu waktu lama, dia sudah selesai dengan acara bersih-bersihnya dan kini duduk di meja makan. Aku segera membalik piring, mengambilkan nasi beserta lauk pauknya. Dia menggumamkan terima kasih lalu menyantap makanannya dengan lahap. Aku hanya memperhatikannya dalam diam. Kenapa tidak ikut makan? Karena dia pernah bilang untuk tidak menunggunya ketika dia tidak juga pulang setelah lewat jam makan malam. Dulu pernah sekali aku melanggar ucapannya, dan berakhir dengan dia yang mendiamkanku seharian. Aku jadi kapok.
"Enak?" tanyaku begitu dia mengakhiri makannya dengan segelas air putih.
Dia mengangguk. "Selalu."
Aku menyengir. Dia mengeluarkan ponsel, sedangkan aku mencuci piring dan gelas kotor itu di wastafel. Tidak ada pembicaraan setelah itu, dan aku sudah terbiasa dengan itu selama lima bulan ini. Dia memang tidak banyak bicara, bukan berarti jutek dan dingin. Hanya saja, dia selalu memilah-milah kata dan lebih banyak jadi pendengar. Untungnya, aku bukan orang pendiam meski juga tidak cerewet. Setidaknya, ketika kami berdua, hening tidak akan sepenuhnya menguasai.
"Lanjut nulis lagi?" tanyanya saat aku mengeringkan tangan dengan lap.
"Iya. Tinggal sedikit, kok. Mas tidur aja duluan. Nanti Anin nyusul."
Aku bisa melihatnya menghela napas, sebelum berjalan menuju ruang tengah dan mengambil laptopku yang masih dalam keadaan terbuka. Aku memandangnya dengan bingung.
"Nulis di kamar aja," katanya singkat sambil membawa pergi 'teman kerja'ku itu.
Aku hanya geleng-geleng kepala dan menurut. Dia menaruh laptop di atas kasur, lalu berbaring di tepi kiri ranjang. Aku sendiri duduk di tepi kanan ranjang, memilih melanjutkan tulisan sebelum ide-idenya berhamburan dari kepala.
"Selamat malam, Anin."
Aku menoleh begitu mendengar ucapannya. Dia sudah berbaring miring memeluk salah satu guling yang tak pernah absen berada di tengah-tengah kami tiap malamnya. Mata gelapnya sudah terlihat sayu.
"Selamat malam, Mas Bagus."
Setelah itu matanya benar-benar terpejam. Dan bukannya kembali fokus ke layar laptop, aku malah menghabiskan beberapa menit untuk memandangi wajahnya yang terlihat sangat lelap.
Bagus Adipura. Laki-laki yang menyebut nama lengkapku saat ijab qobul, lima bulan lalu.
Wajahnya menarik, meski tidak setampan aktor-aktor Korea yang selalu menemaniku ketika kehabisan ide cerita. Rambutnya dipangkas pendek dan rapi, khas orang-orang kantoran pada umumnya. Dia memiliki struktur rahang yang tegas tapi juga terkesan lembut. Sepasang alis lebat serupa ulat bulu. Bola mata tajam yang membuatnya sekilas tampak punya pribadi galak. Hidung pinokio dan bibir tebal. Kulitnya agak gelap, dan itu menambah kesan macho pada sosoknya.
Mas Bagus adalah pria baik dan selalu menghargai wanita. Tak pernah sekali pun dia meninggikan suara saat berbicara, entah denganku atau ibu dan adik perempuannya. Juga orang-orang lain yang ditemuinya. Sebagai seorang arsitek yang cukup mapan, dia memilih mencicil rumah sederhana tipe minimalis satu lantai yang ukurannya tidak terlalu luas. Hanya punya dua kamar yang salah satunya digunakan sebagai gudang. Sederhana memang. Tapi dia berprinsip untuk tidak menyusahkan orang tua, meski Ayah dan Ibu pernah berniat membangunkan rumah.
Siapa yang tidak bangga punya suami sebaik itu, bukan? Begitu juga aku. Orang-orang selalu mengatakan bahwa aku beruntung dinikahinya. Apa benar?
Entahlah. Mari kita lihat.
***
Hai hai hai. Aku nggak tahan buat nggak publish ini, jadi mohon maklumi yaaa. Ini cuma miniseri kok. Besok atau lusa naskahnya juga udah selesai. Dan setelah tamat aku publish di wattpad, langsung akan aku unpublish untuk nantinya diterbitkan dan aku sisain 5 part di wattpad. Jadi yang mau baca, harus saat masih on going yaaa. Ramaikan yuk. Dijamin ceritanya nggak bikin kecewa wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Split Up (Terbit)
Short StoryMiniseri #1 Anin harus menikah dengan Mas Bagus karena kesepakatan antara Paman Feri dan Ayah Adi. Ia menerima dengan lapang, termasuk perasaan yang tumbuh cepat pada laki-laki itu. Tapi bagaimana jika Mas Bagus malah memiliki rencana untuk melepasn...