Bab 5

7.8K 701 66
                                    

"Rehan jadi jemput?"

Aku yang sedang memakai jaket, menoleh ke arah Mas Bagus yang juga sedang memakai dasinya. Segera, Aku mendekat dan menggantikan tangannya. Memakaikan dasi memang sudah jadi kebiasaanku tiap pagi. Pertama kalinya melakukan itu, aku masih agak canggung dan gugup. Kalau sekarang sudah biasa, walaupun detak jantung tetap selalu melonjak.

"Iya, paling sampai sini sejam lagi," kataku, menjawab pertanyaannya tadi.

Mas Bagus mengangguk. Dia diam, sementara tanganku sibuk membuat simpul dasi di lehernya. Jarak wajah kami yang sangat dekat, membuatku mati-matian berdoa agar kerasnya detak jantungku tidak terdengar olehnya. Apalagi, napas hangatnya terasa sekali di puncak kepalaku. Huft.

"Nah, udah." Kubenarkan kerahnya, lalu tersenyum lebar.

Mas Bagus balas tersenyum lebar. Telapak tangannya menepuk-nepuk puncak kepalaku, sebelum berlalu menyiapkan tas kerjanya. Aku sendiri mengecek koper kecil berisi beberapa potong pakaian dan barang barang lainnya yang akan kubawa ke Jogja. Setelah itu, kami sama-sama keluar menuju ruang makan. Tadi subuh sekali aku sudah menyiapkan sarapan beserta bekal untuk Mas Bagus.

"Segini?" Aku menunjuk piring yang sudah kuisi dengan nasi putih.

"Cukup."

Aku mengangguk, menaruh lauk berupa telur mata sapi dan tumis kacang panjang di atasnya. Lalu kuletakkan di depannya.

"Susu almond atau infused water?"

"Infused water aja."

Segera, kutuang infused water berisi potongan lemon bercampur madu dari botol ke gelas. Aku sendiri memilih botol susu almond. Setelah sarapan Mas Bagus siap, barulah aku menyantap sarapanku sendiri. Dalam diam, kulirik suamiku yang fokus ke makanannya itu. Setelah permintaanku malam itu, Mas Bagus tetap bersikap seperti biasa. Dia tidak marah. Yang justru membuatku tersentil karena itu berarti dia tidak terganggu dengan masalah itu. Mungkin dia sebenarnya juga sudah tidak sabar ingin melepasku. Hanya saja, karena aku tidak juga membawa pria baik-baik di depannya, itu jadi halangan.

"Anin."

"Ya?"

Mas Bagus menatapku tanpa kedip. "Jangan melamun. Kamu nggak akan tahu apa yang akan terjadi di saat kamu tidak sadar."

Aku mengerjap, lalu terkekeh. Membuat Mas Bagus menatapku bingung. "Rehan juga sering bilang gitu. Hehe."

"Oh." Mas Bagus menjawab pendek, kemudian fokus kembali ke makanannya.

Aku tersenyum sumir. "Oh ya, Mas, Anin udah tempelin sticky notes ke lemari sama kulkas. Jadi kalau mau cari baju atau kaus kaki atau ganti jam, bisa lihat itu. Sama itu di dalam kulkas ada susu almond sama infused water yang Anin bikin semalam. Itu nanti tahan kok sampai Anin pulang. Terus apa lagi ya? Oh itu, ada kering tempe di kulkas. Kalau Mas males beli lauk, bisa pakai itu aja."

"Nasinya?" Entah kenapa nada Mas Bagus terdengar aneh saat menanyakan itu.

"Anin udah pesen ke Bu Widya buat siapin nasi sama lauk tiap pagi sama sore. Mas Bagus ambil di warungnya bisa, kan?" Aku meringis. "Tiga hari aja tahan masakan luar, ya?"

"Iya." Mas Bagus menghela napas sebelum menandaskan minumannya.

Aku beranjak mencuci bekas makan kami. Biar kuberitahu satu hal tentang Mas Bagus. Dia memang sempurna: pintar, pekerjaan bagus, dan good attitude. Tapi di balik itu semua, sebenarnya dia pemilih. Aku tahu itu dulu dari Ibu—mertuaku. Pemilihnya itu dalam hal masakan. Mas Bagus kurang cocok dengan masakan orang lain. Dia lebih suka masakan keluarganya, yang tentunya sudah sangat cocok dengan lidah dia. Bahkan hal sesederhana nasi saja, dia tidak terlalu suka buatan orang lain. Hal yang membuatku heran kenapa dia tidak protes dengan masakan buatanku. Karena dulunya dia hanya suka hasil tangan Ibu. Kalau kata Bina, itu karena masakanku cukup mirip dengan punya Ibu.

Split Up (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang