Bab 2

6.1K 633 31
                                    

"Nanti Anin mau keluar."

Dia yang sedang menyantap sarapan berupa nasi bakar dan ayam goreng yang kubuatkan, seketika mendongak. "Ke mana?"

"Ketemu Rehan."

"Bahas naskah?"

Aku mengangguk sambil menelan roti gorengku. "Iya, dong. Mau bahas yang lain-lain, Rehan sok sibuk sih."

Alis ulat bulunya menyatu. "Bahas apa?"

"Yaa kayak biasanya aja. Rehan kan suka banget cerita banyak sama Anin. Soal atasan, soal keluarga, banyak deh. Termasuk soal pacar." Aku terkikik. "Sayang sekarang Rehan ada dua penulis lain yang diurus, jadi dia sibuk banget."

Mas Bagus hanya mengangguk. Tidak ada raut aneh dari wajahnya, selain ekspresi datar yang khas. Bertanya-tanya apakah dia cemburu tiap aku menyebut nama Rehan? Tentu saja jawabannya tidak. Jangan harap. Bagaimana Mas Bagus bisa cemburu pada laki-laki lain sementara dia tidak mencintaiku? Aneh, kalau itu terjadi.

Ya, kami menikah karena dijodohkan. Itu adalah kesepakatan antara Ayah Adi-ayah Mas Bagus-dan Paman Feri-adik dari almarhum ayahku. Sejak kedua orang tuaku meninggal di usiaku yang menginjak empat belas tahun, aku diasuh Paman Feri dan istrinya. Sejak itu, aku diharuskan menuruti semua perintah mereka. Termasuk menikah dengan Mas Bagus.

Jangan bayangkan aku hidup dipenuhi kasih sayang oleh satu-satunya kerabatku yang tersisa di dunia itu. Di rumah itu, aku diperlakukan layaknya orang asing. Sikap Paman dan Bibi padaku sangat berbanding terbalik dengan sikap mereka pada Dini dan Rani-sang anak kandung. Kondisi ekonomi mereka yang pas-pasan membuatku sering makan maksimal dua kali sehari. Aku juga harus bekerja paruh waktu untuk keperluan sekolah. Untungnya, beasiswa prestasi sedikit mengurangi bebanku. Sayangnya, aku terpaksa tidak bisa melanjutkan kuliah karena tidak lolos jalur beasiswa.

Tapi selalu ada keberuntungan. Sejak belum lulus SMA, aku sudah sering iseng menulis cerita. Dan mendapatkan hasil sebuah novel yang berhasil menang saat ada lomba yang diadakan sebuah penerbit indie. Cukup membanggakan diriku sendiri, meski hasilnya tidak seberapa. Hasil jualnya pun hanya mencapai angka puluhan. Tapi hobi itulah yang membuatku bisa menatap arah impian meski tidak bisa berkuliah. Aku menekuni hobi itu. Tanpa lelah mengirim novel-novelku ke penerbit mayor, dan ada juga yang terbit mandiri namun cukup banyak pembeli yang berasal dari pengikutku di sebuah platform menulis.

Lima tahun berjuang, aku mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Setidaknya untuk diriku sendiri. Aku berhasil dikontrak oleh sebuah penerbit mayor sehingga karya-karyaku selalu terpajang di toko buku resmi di seluruh Indonesia. Bahkan dua novelku tahun lalu menembus best seller. Cukup membuatku bersyukur, bukan?

Sayangnya lima bulan lalu, kebebasanku terenggut paksa karena kesepakatan Paman Feri dan Ayah Adi. Aku tidak ada pilihan selain menerima. Karena melanggar perintah Paman, berarti aku harus siap pasang badan untuk dijadikan samsak. Dan aku tidak sanggup menerimanya setelah masa remajaku diwarnai dengan itu.

"Mas bawa bekal, ya."

Aku mengangguk mendengar permintaan Mas Bagus. Segera aku bangkit, mengambil kotak makan bertingkat tiga di rak.

"Mau dibagi sama teman-temannya juga?" tanyaku sambil membuka kotak terbawah.

"Boleh."

Karena itu aku mengisi kotak ukuran besar itu dengan cukup banyak nasi. Lalu kotak kedua kuisi dengan lauk berupa beberapa potong ayam goreng mentega dan perkedel kentang. Biro arsitek yang Mas Bagus bangun bersama teman-temannya hanya berisi empat orang. Dan aku cukup mengenali mereka. Sering juga aku memang membawakan makan siang.

"Roti gorengnya sekalian ya, Mas, buat cemilan."

"Iya."

Aku tersenyum kecil. Setelah menikah dengan Mas Bagus, aku memang tidak lagi merasakan dibedakan. Kedua mertuaku juga sangat menyayangi seolah aku benar-benar putri mereka. Bina-adik Mas Bagus juga menganggapku kakak. Pun dengan Mas Bagus. Dia menghormatiku, kendati tak ada cinta di antara kami di awal pernikahan. Dan sampai sekarang dia memang tidak pernah mencintaiku dan hanya menganggap seorang Anindia Laras layaknya adik dan teman tidur. Bukan tidur seperti yang ada di pikiran kalian. Tapi benar-benar tidur secara harfiah.

Meski kami tidur seranjang sejak awal nikah, tapi Mas Bagus tidak pernah menyentuhku. Bahkan di tengah-tengah kami selalu ditaruh dua buah bantal guling sebagai pemisah. Dia bilang, merasa sangat bajingan jika dia menyentuh padahal tidak mencintaiku. Meski itu sebenarnya memang haknya. Dia ingin sampai saatnya tiba melepas, aku tetap dalam keadaan suci.

Meski begitu, Mas Bagus tidak pernah melupakan tanggung jawab lahirnya padaku. Dia memberiku nafkah materi yang lebih dari cukup, memenuhi semua kebutuhan hingga aku tak punya kesempatan menggunakan uang royalti bukuku sendiri. Tak pernah protes dengan apapun masakan yang kubuatkan. Menjaga, memperlakukanku sama lembut dan perhatiannya dengan cara dia melakukannya pada Bina.

Ya, di matanya, aku hanyalah adik kecil dengan usia terpaut tujuh tahun darinya. Tapi di mataku tidak. Dia bukan kakakku. Dan tak akan pernah kuanggap sebagai saudara.

***

Split Up (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang