Bab 4

4.9K 645 35
                                    

Mas Bagus menerima perjodohan denganku karena dulu almarhum Ayah pernah mendonorkan salah satu ginjal untuknya. Asas balas budi. Hal yang membuatku tidak bisa apa-apa, bahkan sekadar mengusahakan agar perasaanku padanya terbalas. Ditambah, Mas Bagus masih mencintai mantan kekasihnya yang dulu pernah meninggalkan dia dan menikah dengan orang lain. Aku tahu karena Bina pernah bercerita tentang itu. Aku benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk mencoba memenangkan hatinya.

Tapi selama ini aku berpikir itu tidak masalah asal Mas Bagus ada di sampingku dan tidak pernah lagi bertemu mantannya itu. Kupikir, kami akan baik-baik saja meski cintaku hanya sepihak. Tapi sekarang, bagaimana setelah wanita itu tidak lagi bersuami dan sekarang menjadi tetangga kami? Dan ... selama seminggu ini, aku sering memergoki Mas Bagus memandangi rumah Riyani.

Aku benar-benar ketakutan. Meski sikap Mas Bagus padaku tetap tidak berubah, tapi itu tidak mengurangi kecemasanku. Bagaimana kalau ucapan Mas Ical akan jadi kenyataan? Bagaimana kalau mereka akan kembali bersama? Aku harus bagaimana?

"Anin."

Aku mengerjapkan mata, terkejut karena tiba-tiba Mas Bagus sudah berbaring miring menghadapku. Padahal tadi dia masih menonton pertandingan sepakbola ketika aku memutuskan tidur lebih dulu. Dan sekarang dia sudah di sini.

"Mikir apa?" tanyanya.

Aku menggeleng. Posisi kami yang berbaring saling berhadapan membuatku sedikit gugup. "Mikirin naskah."

Mas Bagus mengangguk. "Minggu besok jadi ke Jogja?"

"Iya, dong. Acaranya kan udah siap."

"Cuma sama Rehan?"

"Sama penulis lain yang ada meet and greet juga di sana," balasku dengan sedikit mengerutkan kening. Padahal aku ingat betul seminggu lalu sudah mengatakannya dengan jelas soal itu. Apa kepindahan Riyani membuatnya tidak fokus?

"Tiga hari ya?" Dia kelihatan menerawang.

Aku tersenyum sumbang. "Mas kenapa sih?"

"Apanya?" Dia mengerjap bingung.

"Anin kan udah jelasin semuanya sejak seminggu lalu. Mas Bagus lagi banyak pikiran ya?"

"Hm?" Dia terdiam sebentar sambil terus menatapku. "Bukan gitu. Hanya saja ... baru pertama ini kamu ke luar kota."

"Mas khawatir?"

"Tentu saja. Mas pasti khawatir kalau adik Mas pergi jauh selama berhari-hari."

Adik, ya? Aku tersenyum simpul mencoba menekan rasa nyeri di dada. "Kata Rehan, kalau novel yang mau selesai ini juga nanti best seller, Anin bakal sering-sering ke luar kota buat meet and greet."

"Kamu nggak capek?"

"Justru Anin senang. Itu artinya banyak orang yang suka sama karya Anin. Impian Anin tercapai, jadi nggak ada kata capek."

Mas Bagus tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Memandangnya begini, tiba-tiba membuatku teringat ketika dia terdiam selama bermenit-menit memandangi rumah Riyani sebelum berangkat kerja. Meski hanya melukai hati sendiri, tapi aku tidak bisa untuk tidak mengintip tiap pagi. Bodoh? Aku akui.

"Mas."

"Hm?"

Aku meremas jemari di bawah selimut. Menguatkan diri untuk menanyakan hal yang disarankan oleh Rehan. "Kalau secepatnya Anin lepas, boleh?"

Sepasang alisnya menyatu. "Maksudnya?"

Aku mengalihkan pandangan dari matanya. "Kita ... pisah."

"Hm?" Dia terdiam lama. "Kamu sudah ketemu laki-laki yang mencintai kamu dengan tulus, baik, dan bertanggung jawab?"

Aku menggeleng jujur. "Belum."

Dia langsung bangkit duduk. Menatapku dengan bibir terkatup rapat. "Lalu kenapa minta pisah?"

Kupandang guling yang sedari tadi dipeluk lengan kananku. "Anin nggak mau menahan Mas Bagus. Kalau kita pisah, Mas Bagus nggak akan terhalangi untuk bersama dengan orang yang nantinya diinginkan Mas." Dan kemungkinan itu Riyani.

"Setelah itu kamu gimana? Kembali ke rumah Paman? Dan merasakan siksaan fisik lagi? Kamu kira itu yang terbaik?" Aku bisa melihat sorot geram di matanya.

Aku menggeleng. "Anin nggak akan balik ke sana. Anin bisa cari tempat tinggal lain. Tabungan hasil royalti lebih dari cukup buat hidup Anin."

"Hidup sendiri tanpa keluarga, itu cukup untuk kamu?"

Aku tersenyum tipis. "Memang dari dulu sudah seharusnya begitu, Mas. Anin harus terbiasa hidup sendiri."

"Mas nggak akan biarkan." Dia berkata tegas sambil turun dari ranjang. Tubuhnya menjulang tinggi di tepi ranjang, masih menatapku tajam. "Sampai ada laki-laki yang mau bertanggung jawab atas kamu, dan menyayangimu dengan tulus, Mas nggak akan pernah lepas kamu. Nggak perlu kamu pikirkan nasib Mas dengan orang yang Mas inginkan. Itu bukan urusan kamu. Seorang kakak nggak akan membiarkan adiknya sendirian tanpa dijaga. Ingat itu."

Dengan gumpalan air yang siap tumpah, aku membalikkan badan memunggungi pintu tempat Mas Bagus baru saja keluar. Tak bisa lagi kubendung air yang meleleh dari sudut mata. Tanpa isak dan suara, aku menangis. Andai Mas Bagus tahu bahwa ini bukan tentangnya. Tapi tentangku yang tidak akan kuat jika melihatnya kembali bersama Riyani. Ini tentang hatiku yang sakit tiap kali dia mengatakan bahwa aku dianggap adik. Aku tidak mau jadi saudaranya. Aku istrinya. Kenapa dia susah sekali melihat itu di mataku?

***

Split Up (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang