Bab 3

5.2K 621 47
                                    

"Meet and greet besok, bisa kan?"

"Iya."

"Seyakin itu?" Rehan menatapku ragu. "Emang suami kamu ngijinin?"

"Ya ampun, kayak baru kenal Mas Bagus aja sih, Re." Aku terdiam sebentar melempar pandangan ke jalan sebelum menoleh pada Rehan yang sedang menyetir. "Suamiku bukan yang tipe posesif, kamu tahu?"

"Kali aja berubah gitu, Nin."

Aku terkekeh. "Posesif itu buat suami yang cinta istrinya."

"Kali aja udah cinta gitu, Nin."

"Nggak akan ada kata 'udah', Re." Aku mengangkat tangan saat Rehan kembali membuka mulut. "Jangan bilang 'kali aja', Re, kalau kamu nggak mau aku kasih piring cantik."

"Boleh. Jangan cuma satu tapi, sepuluh lusin sekalian."

"Mentang-mentang baru beli rumah, terus pamer kalau dapurnya masih kosong." Aku mencibir, membuat Rehan tergelak.

Kami memang seakrab itu. Bukan tanpa sebab, karena memang sejak SMP dan SMA kami sudah berteman. Tidak saling bertemu saat dia melanjutkan kuliah di luar kota. Lalu saat aku menandatangani kontrak dengan Star Publishing dua tahun lalu, kami dipertemukan kembali. Aku sebagai penulis, dan Rehan sebagai editor. Sungguh tidak disangka, bukan?

Itulah kenapa aku nyaman-nyaman saja bercerita tentang hubunganku dengan Mas Bagus padanya. Karena sejak sekolah, aku juga sering cerita pada Rehan, selain dengan Ina-sahabatku satunya lagi yang kini sudah tinggal bersama suaminya di luar kota. Hanya mereka berdua teman yang benar-benar mengertiku. Membuatku bisa sedikit saja merasa dihargai.

"Tapi serius, Nin, Mas Bagus nggak pernah kelihatan cemburu gitu kalau kamu aku antar pulang gini?" Rehan kembali bertanya ketika mobilnya memasuki gerbang perumahan Mas Bagus.

"Nggak, Re." Aku tersenyum kecut. "Udahlah, aku nggak mau bahas itu." Lalu kukerlingkan mata ke arahnya. "Kecuali kalau kamu mau menghadap Mas Bagus dan minta izin buat ambil alih tanggung jawabnya atas aku."

"Lovita mau dikemanain?" Rehan mengangkat kedua alisnya.

"Makanya jangan bahas itu."

Rehan menghela napas, menatapku iba. "Oke-oke."

Aku serius soal ucapanku tadi. Bukan tentang meminta Rehan menghadap Mas Bagus-aku masih waras soal itu. Tapi soal Mas Bagus yang akan dengan senang hati menyerahkan tanggung jawabnya atasku jika ada laki-laki baik yang meminta. Itu adalah satu perjanjian yang kami buat sehari setelah menikah.

"Kamu mencintai saya?" tanyanya malam itu.

Aku yang saat itu diliputi kebingungan, hanya menggeleng jujur. "Enggak. Tapi kalau Mas minta, Anin akan berusaha buat-"

"Jangan."

"Ha?"

"Jangan pernah berusaha untuk jatuh cinta pada saya. Karena saya tidak mencintai kamu. Dan tidak akan pernah berencana untuk itu." Dia berkata tegas dengan sorot mata tajam yang saat itu membuatku ciut. "Kamu tahu, saya menyetujui pernikahan ini karena ingin balas budi. Jadi jangan berharap lebih. Maaf kalau kata-kata saya ini menyinggung kamu."

Aku memang sedikit tersinggung, tapi mampu berekspresi sedatar mungkin. "Jadi ... Anin harus bagaimana ke depannya?"

"Ayo kita tetap hidup serumah. Sebagai teman seatap. Kamu lakukan tanggung jawab sebagai istri dan saya akan lakukan sebaik mungkin sebagai suami. Tapi hanya lahiriah. Saya nggak akan menyentuh kamu, karena jika tiba saatnya saya harus melepas, saya ingin kamu masih utuh. Saya tidak akan memanfaatkan status kita ini untuk membuat kamu kehilangan kesucian. Saya akan bebaskan kamu dekat dengan laki-laki lain, tapi pastikan dia baik dan bertanggung jawab. Kalau tiba saatnya, ajak dia ke saya untuk minta izin. Setelah saya pastikan dia benar-benar baik dan pantas buat kamu, maka kita akan pisah."

"Jadi ... pernikahan ini hanya sementara?"

"Tentu saja. Kita tidak mungkin hidup selamanya dengan orang yang tidak mencintai dan kita cintai, kan?" Dia tersenyum tipis. "Jadi untuk sementara, saya akan bertanggung jawab atas kamu, agar kamu tidak lagi harus kembali ke rumah yang penuh kekerasan itu. Setuju?"

Yang bisa kulakukan saat itu hanya menyetujuinya. Aku tidak bisa apa-apa, kan? Meskipun sejujurnya bersedia hidup bersama selamanya dan belajar mencintainya, tetap saja aku tidak bisa memaksa Mas Bagus. Dia tidak menginginkan pernikahan ini. Jadi apa boleh buat.

Meskipun setelah pembicaraan kaku itu, sikap Mas Bagus menjadi bersahabat dan jauh dari dingin seperti kesan pertamaku ketika berkenalan dengannya. Lalu, hanya butuh waktu sebulan untuk hatiku yang rapuh jatuh padanya.

"Nggak turun?"

Pertanyaan Rehan membuat lamunanku buyar. Aku menoleh ke luar, dan baru sadar jika kami sudah sampai di depan rumah Mas Bagus.

"Jangan kebiasaan melamun, Nin. Kamu nggak akan tahu apa yang akan orang lakukan waktu kamu nggak sadar."

"Iya, maaf." Aku menyengir sambil melepas sabuk pengaman. "Mau mampir?"

"Enggak, deh. Aku mau langsung ke tempat Lovi."

"Kapan-kapan ajak Lovi juga makanya. Aku kan pengen jalan sama dia juga."

Rehan mencebikkan bibir. "Yang pacarnya tuh aku, ya."

"Memang. Masa aku?" Aku tertawa. Lovi memang pacar Rehan. Tapi tiap kali bertemu, aku dan Lovi akan sibuk sendiri membicarakan hal-hal berbau cewek yang jelas akan membuat Rehan kesal karena tidak mengerti topiknya.

"Oh ya, ada yang pindahan ya?"

Aku mengikuti arah telunjuk Rehan, dan memang di seberang rumah Mas Bagus ada sebuah mobil pick up yang memuat barang-barang. Di pintu gerbang yang terbuka, ada seorang wanita cantik berambut sepunggung sedang mengarahkan dua orang yang menurunkan barang barang itu dari mobil. Mungkin memang wanita itu pindah ke sini, mengingat rumah itu selama ini kosong.

"Tetangga baru, nih," gumamku.

Lalu aku benar-benar turun dan melambaikan tangan pada Rehan. Setelah mobilnya pergi, aku kembali menoleh ke arah rumah seberang. Sedikit tertegun saat ternyata wanita itu juga menatap ke arahku. Aku mengangguk sopan dan tersenyum, yang dibalas hal sama olehnya. Setelah itu baru aku masuk ke rumah. Mobil dan motor di beranda membuatku sadar bahwa Mas Bagus sudah pulang, dan di dalam ada Mas Ical-temannya.

Langkahku terhenti di ambang pintu ruang tamu ketika mendengar ucapan Mas Ical.

"Wah Gus, itu Riyani bisa pindah ke depan gimana ceritanya? Bahaya ini, Gus. Dia baru jadi janda, lho. Bisa-bisa kamu jatuh cinta lagi ke dia."

Seketika, dadaku terasa seperti ditonjok. Riyani? Janda? Jatuh cinta ... lagi?

***

Split Up (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang