Yang salah

23 2 4
                                    

kalian percaya takdir?

"Walaupun lo bukan anak gue, tapi gue sedih Nu kalau lo bakal pergi kayak gini, hati gue ngilu rasanya dari semalem."

Mereka semua sedang berada di Bandara. Om Rahman, tante Rani, serta Rio yang sedang menatap sedih pada gadis yang sedang membawa koper hijau nya itu. Raline? Perempuan itu tidak ikut, jika dia ikut penyamaran ini jelas saja akan terbongkar.

"Aku bakal kangen banget sama sapi sapi kita om, jaga mereka baik baik ya. Idul Adha nanti aku udah pulang kok,"

"Astagfirullah, lo bukannya mikirin gue, malah sapi sapi yang lo pikirin Nu. Kebangetan lo Nu,"

Alnu tertawa mendengarnya, "maaf om. Jaga Tante Rani ya om, kalian sehat sehat disini. Dan uhmm, kesayangan Nunu, jangan nakal nakal ya, nurut kata ibu nya biar gak di omelin."

Alnu mengusap lembut kepala Rio, mata anak lelaki itu sudah di genangi oleh air mata yang sebentar lagi akan tumpah ruah. Tak lama, Tante Rani tiba tiba memeluk Alnu dengan erat. Dia menangis disana, seolah tak rela berpisah dengan gadis itu.

"Kamu harus janji, jaga diri baik baik disana. Jangan sering telat makan, kalau minum harus banyak banyak, kalau makan jangan asal makan aja, periksa dulu, siapa tau ada nanasnya. Pokoknya harus bener bener, jangan ceroboh Nu. Kamu di kota orang, walau disana ada ibu kamu,"

Alnu meneteskan air mata, cepat cepat dia menghapusnya. Ibu? perasaan asing menggerogoti hatinya, waktu kecil dia sering berkhayal untuk bertemu ibunya, memeluknya serta tak akan membiarkannya pergi lagi. Namun seiring waktu berlalu, perasaan itu hilang dengan sendirinya. Rindu itu berubah benci yang semakin hari semakin pekat.

"Kok jadi mellow gini sih? Aku sebentar kok disana, sebulanan doang."

Tak lama Om Rahman pun ikut bergabung di acara peluk memeluk itu.

Sementara tak jauh dari Alnu dan keluarga berada, ada Bhumi dan Arka yang sedang duduk santai sembari makan keripik ikan yang di bungkuskan oleh Pak Damar, orang yang mengurus mereka selama berada di kota ini.

"Gila, belum pernah gue makan keripik seenak ini. Enak banget deh jadi Pak Damar, pasti tiap hari dia makan makanan enak buatan istrinya," kata manusia yang kini sedang menghabiskan bungkus ketiga makanan itu.

Bhumi tersenyum kecil, "Tadi aja lo gak mau makan in8, sekarang tiga bungkus lo sikat."

"Soalnya penampakannya b aja sih, gue kira rasanya juga bakal gitu," jawab Arka.

"Lo selalu gitu. Udahkan duduknya, ayo pergi."

Lalu di ujung sana Alnu sedang berdada dada sedih dengan om dan tantenya, dan Bhumi serta Arka yang terlihat sedang tertawa kecil menuju tempat pemeriksaan tiket. Mereka menuju tujuan yang sama, namun dengan perasaan yang berbeda.

Setelah pemeriksaan tiket selesai, kini berganti dengan pengecekan tas, Alnu meletakkan jam tangan serta telepon genggam milik Raline yang kini sudah beralih pemilik.  Usai lima orang setelah Alnu kini giliran Bhumi dan Arka, lalu selesai.

Mereka sudah berada di ruang tunggu, baru saja memasuki tempat itu, Alnu terdiam spontan, suara berisik dan kesendirian menikamnya dengan begitu kuat. Kakinya terasa berat melangkah, suara orang orang membuat nya tak bisa fokus, kepalanya terasa sangat pusing, jantungnya berdegup kencang, keringat mengalir di dahinya. Alnu takut, takut sekali. Dia ingin membuka maskernya, tapi tidak boleh, walau dia pengap sekalipun. Dia takut dengan keramaian dan kesendirian seperti ini. Ini pertama kali baginya.

"Lo baik baik aja?" Alnu yang sedang memejamkan matanya kuat kuat segera menoleh, dan memeluk pemilik suara itu. Tak peduli siapa itu, Alnu hanya butuh seseorang.

Bhumi bisa merasakan dengan jelas suara degupan jantung milik perempuan di pelukannya ini. Perempuan aneh yang tiba tiba terhenti saat semua orang menuju kursi tunggu. Sebenarnya tadi dia tidak ingin ambil pusing masalah orang lain, tapi entah kenapa ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya tiba tiba bertanya pada perempuan ini.

"to...tolong, sebentar aja. Gue janji, gu...gue cuma takut."

Alnu membuka matanya dengan perlahan, lalu mencoba tenang dengan situasi seperti ini. Ketakutan nya dengan suara orang orang seperti ini, sudah di deritanya sejak dirinya masih kecil. Karena dulu, dia pernah terjebak di keramaian selama berhari hari, dan kesendirian. Ketakutan itu ternyata masih ada di dirinya. Lalu setelah sadar, Alnu segera melepasnya, dan cepat cepat berlari. Ini memalukan, pasti orang itu sedang berpikir bahwa dia aneh dan gila.

"Lo ngapain lagi sih Bhum? Lo apain anak orang?" tanya Arka,

Bhumi masih diam, serta menatap lurus perempuan yang tengah berlari itu. Bhumi merasa tidak asing dengan mata itu, mata indah yang tidak semua orang memilikinya.

"Bhumii!"

Bhumi melirik Arka sekilas lalu meninggalkannya.

///

Alnu duduk di dekat jendela, perasaan kosong tadi kembali menghantuinya. Bagaimana bisa dia mengambil langkah sebesar ini tanpa pikir panjang? bagaimana bisa dia segegabah ini? Alnu menangis. Jantungnya terasa teriris iris, dia baru menyadarinya sekarang, pilihan apa yang sudah di ambilnya sekarang. Dia akan bertemu ibunya, seseorang yang membuangnya demi harta dunia, yang bahkan sekarang tidak mengingat nya lagi itu. Air mata Alnu semakin deras.

Tak lama suara grasak grusuk terdengar ketelinganya, dia mengintip sedikit dengan sebelah matanya. Dan ternyata, lelaki tadi, lelaki yang tiba tiba datang menanyai keadaannya, yang tiba tiba Alnu peluk tanpa alasan yang jelas. Alnu segera membuang pandangannya kesamping, malu sekali. Bagaimana mungkin mereka bisa bertemu lagi? Takdir macam apa ini.

"Gue salah kursi."

Alnu menoleh lagi, "ah iya."

"Da—

Alnu dengan cepat memotongnya, "gue tahu gue salah, maafin gue. Gue bener bener gak sengaja meluk lo tadi, dan tolong jangan berpikir macem macem, karena gue cuma refleks aja. Gue bener bener minta maaf soal itu."

Bhumi berkedip beberapa kali, padahal bukan itu yang ingin di omongkannya. Ya walaupun dia penasaran juga soal itu.

"Oh iya gak apa apa."

Dan setelah itu tak ada lagi yang bersuara. Semuanya sibuk dengan diri masing masing. Namun tidak, Bhumi dari setengah jam yang lalu sibuk memperhatikan orang di sampingnya itu, yang terlihat sangat gelisah, serta bulir bulir keringat di dahinya. Bhumi ingin sekali memeluknya lagi, tapi Bhumi menggeleng, apa apaan dirinya ini.

"Gue baru pertama kali naik pesawat sendirian."

Tidak ada angin tidak ada hujan, namun ada awan, tiba tiba perempuan di sampingnya bersuara. Bhumi segera menoleh,

"Gue beneran takut sebenarnya, cuma keberanian gue yang nolong gue sampai sekarang."

"Lo mau kemana?"

Keduanya saling pandang, lalu Alnu menjawab, "gak tahu, gue cuma mau ke tempat dimana  gue pertama kali ada di bumi."

Bhumi tak membalasnya, dia menyodorkan sebungkus tissu kepada Alnu, Alnu sempat terkejut namun tetap menerimanya.

"Gak usah takut, lo gak sendirian."

In another lifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang