bagian

27 3 2
                                    

Aku menemukan mu di baris baris puisi tanpa makna. Dirimu berada di sana, di huruf setelah koma itu, yang berakhir. Iya, di titik, kamu–titik pemberhentianku.

"Otak lo dimana?" balas Alnu setelah Raline menceritakan segalanya, pada dirinya. Alnu bahkan tak sempat bernafas saat Raline–yang mengaku sebagai kembarannya itu bercerita panjang lebar.

"Aku serius, tolong Nu. Cuma satu bulan, aku janji."

Alnu masih belum merespon apa apa. Otaknya terasa berhenti sejenak, memikirkan dan mempertimbangkan keputusan besar ini dengan serius.

"Lo tadi bilang, nyokap kita punya dua anak perempuan lagi ya?" tanya Alnu, dan Raline mengangguk.

"Mereka jahat,  kamu harus hati hati sama mereka berdua." Raline menatap Alnu penuh keyakinan, tatapan memohon pertolongan dari manusia yang bahkan tidak bisa menolong dirinya sendiri itu.

Alnu sebenarnya merasa sangat aneh. Bisa bisa nya Raline ingin bertukar tempat dengan dirinya. Yang dimana, kehidupan Raline jauh lebih baik dibandingkan dengan Alnu, yang serba amburadul ini. Ya walaupun, setidaknya dia tidak perlu bernafas senin dan kamis untuk tetap hidup di bumi.

Setelah mendengar cerita Raline tadi, Alnu mengetahui banyak cerita menarik, ternyata ayah dan ibunya sudah lama berpisah, dan ibunya menikah lagi dengan duda anak 2 yang mempunyai harta berlimpah. Raline hidup di cerita itu, dengan kehidupan penuh harta dan penuh keiri dengkian anak ayah tirinya. Hati Alnu panas membara saat cerita Raline berfokus pada kejahatan saudara tirinya itu. Bisa bisanya kedua gadis aneh itu menyakiti Raline yang terlihat sangat lemah ini.

"Lo harusnya bales, Ral. Kelakuan dua monyet itu gak bisa di toleransi sebenarnya. Lagian apa guna ibu di situ kalau anaknya kandung nya sendiri jadi korban pembullyan anak tirinya."

"Tapi ibu gak peduli, Alnu. Ibu lebih sayang mereka di banding aku,"

"Seenggaknya lo masih ada di dunia ibu, Ral. Lah gue? di inget aja enggak,"

Lalu keduanya terdiam. 

///

"Udah gue pesenin, kita besok berangkat pagi."

Bhumi baru saja memejamkan matanya, "iya ka, iya. Lo diem bisa gak? gue pusing denger lo ngebacot dari tadi."

"Karena lo tolol, goblok, bodoh."

"Mulut lo kayak gak pernah di sekolahin."

"Bodo amat, gue udah rindu emak bapak gue, dan lo seenaknya ngebatalin reuni keluarga gue. Emang paling tolol,"

"Derita lo."

Ingin rasanya Arka menghabisi lelaki paling bodoh sedunia itu hingga babak belur. Tapi dia masih punya akal sehat yang tidak di miliki oleh Bhumi, bisa bisa dia di hajar balik oleh ayahnya Bhumi, jika sampai lelaki itu terluka sedikit saja karena Arka. Arka tahu betul sebagaimana sayangnya Om Kris kepada Bhumi, sayang nya si kepala batu itu terlalu bodoh untuk memahaminya. Bahkan sebelum mereka bener bener memantapkan pilihan untuk melanjutkan pendidikan di luar pulau Jawa ini, Om Kris la yang paling sering menghubunginya untuk terus memantau Bhumi.

"Ngapain lo ngelamun?" teriak Bhumi di ujung sana,

"Kepo amat, mandi deh lo Bhum. Bau lo sampai kesini," sahut Arka.

Bhumi tidak perduli akan ucapan Arka. Dirinya menarik selimut dan kembali melanjutkan dunia mimpi. Semalam Bhumi tidak tidur sama sekali karena memikirkan kepulangannya. Bhumi memikirkan apa saja yang harus di ucapkannya saat bertemu mereka, aneh sekali pastinya. Tapi untungnya hari ini tidak jadi pulang, Bhumi bisa sedikit bernafas lega.

///

"Mereka kayaknya gak bakal tahu deh Ral. Wajah lo sama gue juga hampir gak ada bedanya, dan satu lagi, jangan lupain apa apa aja yang udah gue bilangin sama lo."

Alnu berucap pelan kepada perempuan yang duduk di samping nya itu, Raline hanya mengangguk tanda setuju. Dan Alnu masih sibuk mengemas pakaiannya.

"Gak usah banyak banyak bawa bajunya Alnu, aku pakai apa disini, kalau bajunya kamu bawa semua?"

"Eh iya sih, lupa gue."

Raline membaringkan diri di kasur milik kembarannya ini. Kasur ini jelas jauh lebih kecil dari pada yang ada di rumah nya. Kamar ini terasa pengap dan panas, satu lagi kamar ini sempit sekali rasanya, Raline bahkan merasa sesak. Dan bagaimana bisa Alnu sanggup menjalani semua ini, sedangkan dirinya disana sedang enak enaknya tertidur di dalam sebuah rumah dengan fasilitas yang mewah dan mahal mahal itu?

"Al,"

Alnu yang sedang mengembalikan baju bajunya tadi ke lemari, menoleh sesaat, lantas menjawab,

"Apaan?"

"Maafiin aku ya."

"Maaf apanya sih Ral? Aneh lo,"

"Ya maaf aja,"

Lalu Raline memejamkan matanya sejenak, memikirkan kembali apakah keputusan yang di ambilnya ini sudah benar atau belum. Sebenarnya, Raline juga takut, bagaimana kalau semuanya tidak berjalan sesuai rencana? Tapi sudahlah, mungkin ini memang sudah jalannya.

"Gak usah takut, ada gue. Apapun yang bakal terjadi nantinya, gue akan tetap ada di samping lo Ral."

///

"Bhumi sudah tidur?"

"Sudah om, udah lumayan lama juga."

Arka berjalan menjauhi tempat tidur Bhumi, agar bisa mengobrol lebih leluasa dengan Om Kris.

"Dia baik baik saja kan?"

"Baik kok om, cuma waktu itu dia bilang sama aku, dia ketemu sama orang yang mirip banget sama Raline. Tapi, mungkin itu pikiran dia doang sih, terus Bhumi juga sering ngelamun belakangan ini. Dia sering banget nyalahin diri dia sendiri, dan makin parah kalau udah larut malem. Biasanya juga, jam segini dia belum tidur, masih duduk, sok ngerjain tugas padahal gak ada. Itu doang sih om, yang lain nya baik baik aja. Dia juga udah mulai mau terbuka sama aku."

"Terimakasih Arka, kalau ada apa apa segera telpon saya ya. Oh iya, tiket untuk kalian besok sudah saya pesan, kalian tinggal pulang saja. Bilang saja kamu yang belikan ya,"

Lalu setelah basa basi singkat, telpon itu berakhir. Sudah sejak mereka kuliah disini, Kris selalu menelpon Arka untuk memastikan keadaan putranya. Walaupun Bhumi sendiri selalu membenci  ayah nya. Arka kadang bingung sendiri dengan hubungan Bhumi dan Om Kris, iya, terlalu drama. Padahal bisa saja Om Kris langsung menelpon Bhumi tanpa harus dengan perantara dirinya. Tapi tidak apa apa sih, yang terpenting tiap minggu uang di rekening selalu lancar.

"Lo ngapain Ka?"

Arka terkejut bukan main.

In another lifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang