"Ris? Kok malah bengong? Gak suka ya gue ajak bolos ke Dufan? Ah, harusnya gue sadar."
Sekarang Rafa jadi lesu. Dia yang tadinya semangat nuntun gue buat nyeberang jalan jadi lemes total.
"Eh, bukan gitu, Raf!"
Sekarang kami berdua lagi neduh di bawah pohon besar. Masih belum masuk ke area halte.
"Terus kenapa?"
Gue ngeluarin uang selembar dari kantong, "Nih liat. Gue cuma bawa uang dua puluh. Seperempat dari harga tiket aja gak nyampe."
"Ha-ha-ha-ha!" Rafa malah tertawa ngakak.
Dia ini lagi ngejek gue kismin apa gimana sih?
"Ya gue bayarin, kan gue yang ngajak ke sini. Lagi pula gue punya annual pass, jadinya tinggal beliin tiket lo aja," jawabnya enteng.
"Gila lo, ya? Tiket Dufan gak semurah tiket bioskop. Ya kali lo bayarin gue."
Gue menolak ajakan Rafa, walaupun sebenernya gue pengen banget ke Dufan. Tapi, Rafa malah kembali narik tangan gue buat masuk ke dalam halte dan isi ulang kartu busway.
"Gak terima penolakan. Anggep aja traktiran karena perayaan hari jadian kita," bisik Rafa saat dia selesai isi ulang.
Rafa ninggalin gue dan langsung memberikan kartunya kepada petugas yang lagi berjaga. Lagi dan lagi gue cuma bisa ngikutin Rafa dari belakang sambil berusaha nenangin jantung yang terus berdebar gak keruan.
Rafa dari tadi cuma mesam-mesem sambil terus ngelirik gue.
Gue? Makin salah tingkah. Rasanya udara di sekitar gue kayak panas banget karena saking malunya. Busway-nya gak dateng-dateng pula.
Berapa lama lagi gue harus diem-dieman sama Rafa karena salah tingkah?
"Ris, yuk."
Akhirnya kita berdua sama-sama diem di sepanjang perjalanan. Bahkan, sampai di pemberhentian terakhir karena gue ngerasa canggung banget.
Jadi, tadi gue dan Rafa harus transit tiga kali untuk menuju ke Dufan. Dan sekarang, Ancol Raya udah ada di hadapan gue. Gerbang Dufan semakin dekat.
Gue bener-bener gak percaya karena udah bolos berdua sama, ekhem, pacar.
Akhirnya, gue memberanikan diri untuk membuka obrolan.
"Besok gue ganti, ya?"
"Apa sih? Dari tadi masih mikirin itu? Gak usah, gue traktir. Gak ada penolakan dan tawar menawar."
Akhirnya gue diem, dan terus berjalan di samping dia. Maklum, takut kesasar.
"Kita nunggu dulu, masih belum buka soalnya," ucap Rafa yang akhirnya gue sesali karena padahal gue pengen cepet-cepet masuk ke Dufan dan nyobain semua wahananya.
Kita berdua duduk mengampar, persis seperti anak sekolahan yang ilang di pinggiran kota Jakarta.
"Untung kita sama-sama pake sweater, gak keliatan banget seragamnya. Bawahan kita juga warna item, standar lah ya, bukan abu-abu."
Lagi-lagi gue cuma manggut-manggut. Entah kenapa gue ngerasa Rafa banyak omong sekarang, dan gue malah jadi kayak orang gabisa ngomong karena saking bahagianya.
"Kita udah kelas dua belas, tapi malah bolos pelajaran. Nanti kelas tambahan Matematika, ya?" tanyanya lagi.
"Iya," jawab gue singkat dan setelahnya gue natap Rafa horror.
Rafa langsung berdiri, membersihkan debu serta tanah yang menempel di celananya, "Ris, loket udah buka. Gue ke sana dulu, ya!"
Gue diem, natap hampa ke arah Rafa yang udah lari ke loket.
Jadi, setelah ninggalin kelas tambahan Fisika kemarin, gue bakal ninggalin kelas Matematika juga?
Kalo nyokap gue sampe tau ... bisa abis gue!
Gue pasrah. Ini Rafa baru jadi pacar gue beberapa jam aja udah bikin gue dalam masalah yang besar.
Ini salah gak sih?
Apa hidup gue terlalu kaku, ya?
"Hei! Dari tadi gue panggil dari sana gak nengok. Mikirin apalagi sih, Sayang?" ledek Rafa.
Setelah itu, gue membekap mulut.
"Huek! Geli, Raf! Makin pusing nih gue jadinya!"
Rafa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya, "Sama! Gue juga mual ngomongnya. Yaudah yuk masuk, sebelum rame wahananya."
Gue mengangguk antusias. Malah, gue ninggalin Rafa dan terus lari ke bagian stempel tangan. Rafa yang tepat di belakang gue langsung memberi tiket yang sudah dibeli ke petugas.
"Ini fast track, ya. Untuk jalurnya bisa ambil di sebelah jalur reguler, yang tanpa antri," jelas petugas itu kepada gue.
Gue manggut-manggut sambil melongo. Rafa sultan atau gimana? Tiket yang reguler aja lumayan mahal. Dia lagi hedon ceritanya?
"Raf! Lo kok malah beli yang ini si? Kenapa gak yang biasa aja? Sayang, Raf!" omel gue ketika kami udah sepenuhnya masuk ke area Dufan.
"Iya, sayang juga kok sama Rissa," jawabnya sambil terkekeh.
Gue gak merduliin omongan Rafa. Karena gue terpesona dengan pemandangan yang ada di depan gue.
Kalo gini caranya sih, gue gak akan nyesel bolos sekolah!
"Raf, Raf, tolong fotoin gue dong sama badut yang itu!"
Gue berlari ke badut Dufan yang lagi melambaikan tangannya ke pengunjung. Ternyata walaupun baru dibuka, Dufan udah ramai pengunjung.
Rafa tersenyum, kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai mengambil gambar gue dengan badut Dufan yang lucu itu.
"Ih, lucu! Nanti kirimin ke gue, ya!" ucap gue sumringah setelah melihat hasil jepretan Rafa di ponselnya.
Jiwa pengembara gue meliar. Gue terus asik berlari ke sana ke sini dan nentuin wahana apa yang akan kami tuju pertama kali.
"Raf, ice age dulu, yuk?" ajak gue saat melihat antrean yang lumayan panjang di sana.
Rafa menggeleng, "Jangan, itu wahana basah-basahan. Terakhir aja."
Rafa kayaknya udah hapal banget sama wahana yang ada di sini.
"Halilintar gimana?" ajak gue lagi saat melihat orang-orang yang teriak karena wahana berbentuk seperti ulat panjang itu bergerak dengan sangat cepat.
"Yuk." Rafa menyetujui.
Langit sudah semakin terik. Jam menunjukkan pukul sebelas siang. Tapi, kalau ada Rafa di sebelah gue, rasanya tubuh gue jadi adem entah kenapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Kelas, 42 Rasa ✔️
HumorDi sinilah gue berada, dalam 1 kelas yang dipenuhi dengan 42 murid luar biasa. Dengan watak-watak yang selalu membuat gue menggelengkan kepala, tapi setidaknya mereka yang membuat masa putih abu-abu terasa indah. Mau tau rasa apa aja yang ada di ke...