part 28

391 50 6
                                    

*Author's POV*

Sorry ya POV gue ngilang dulu, mau kencan ama Rafa. Bye. -Rissa

"Rum, Rissa sama Rafa beneran gak balik?"

Di sanalah Arum, Bunga, Manda dan jejeran teman sepermainannya. Di dalam kelas duduk membentuk sebuah lingkaran kecil, berniat mendiskusikan suatu hal yang lumayan menggegerkan.

"Gue udah hubungin Rissa, tapi gak dibales dan gak diangkat. Kayaknya dia masih marah sama gue," jawab Arum.

"Bentar lagi udah bel masuk, mereka ke mana dari jam pertama sampe jam istirahat gini coba? Si Rissa yakin mau bolos kelas tambahan lagi hari ini?" Bunga ikut pusing memikirkan temannya yang tiba-tiba hilang entah ke mana.

"Ya mana gue tau, kenapa lo nanya ke gue?" Arum sewot karena dari tadi Bunga bertanya sembari menatapnya.

Bunga mencibir, "Ya kalo bisa nanya langsung ke Rissa sama Rafa mah gak akan gue nanya ke lo dan kita semua gak akan ngumpul di sini rela-relain gak jajan nasi goreng Bu Husen."

Hening. Mereka sibuk berkelana mencari kemungkinan jawaban ke mana tepatnya Rafa dan Rissa bolos sekolah.

Dewi memajukan kepalanya, matanya memicing membuat yang lainnya ikut penasaran. "Kalo Rissa diapa-apain sama Rafa gimana?" tanya Dewi khawatir.

Arum menggelengkan kepalanya yakin, "Gak mungkin Rafa kayak gitu."

"Tapi bisa jadi Rafa yang diapa-apain sama Rissa."

PLAK.

Arum malah mendapat tabokan maut karena omongannya yang super ngawur.

"Gue serius. Kemaren si Rissa pernah dibawa ke kuburan, kan?" tanya Dewi lagi.

Semuanya mengangguk. "Nah, kalo nanti Rissa dibawa lagi ke kuburan tapi dengan niat yang berbeda gimana? Kayak yang kemarin kita takutin itu." Dewi semakin was-was, tatapannya gelisah. Tangannya tak berhenti bergerak karena bingung temannya dibawa ke mana.

"Maksud lo si Rissa beneran dikubur hidup-hidup gitu?" tanya Putri yang kemudian dibalas anggukan oleh Dewi.

"Imajinasi lo terlalu liar, Dew. Lo tau lah, Rafa itu satu-satunya cowok yang lumayan normal di kelas ini, ya kali dia diem-diem psikopat," ujar Nopi.

"Eh, tapi," ujar Lilia terjeda.

Semuanya langsung menoleh ke arah Lilia, "Tapi apa, Li?" tanya Mellin penasaran.

"Justru psikopat gak akan nunjukin jati diri dia yang sebenarnya, kan. Kayak kebanyakan psikopat di drama-drama deh, keliatannya baik, sosialisasinya bagus, ganteng, eh gataunya itu sengaja buat nutupin sifat dia yang sebenernya." Lilia melanjutkan ucapannya.

Semuanya mematung, diam-diam menyetujui ucapan Lilia. Kalau memang itu benar gimana? Apa mereka harus lapor ke kepala sekolah?

"Kita mesti lapor ke ketua kelas kalo begini!" usul Arum.

Manda meneloyor jidat Arum, "Ketua kelasnya kan si Rissa, somplak!"

"Apa? Rissa diculik sama Rafa?!"

Suara cempreng yang tiba-tiba ikut nimbrung membuat perkumpulan itu menoleh. Billy menutup mulutnya dramatis dengan selampe yang selalu ia bawa.

"Are you sure? Bahan gosip terbagus buat disebar ke kembaran gue nih!" Setelah berucap demikian, Billy langsung kabur keluar kelas.

Mereka yang sedang berkumpul hanya bisa menghela napas. Mereka sudah cukup lelah untuk mengejar Billy dan menghentikannya. Apalagi, Joshua, kembarannya Billy, juga sama hebohnya.

"Eh! Itu Billy teriak-teriak Rissa diculik beneran?" Sang pangeran alias Hafiz yang baru masuk kelas dengan satu botol soft drink menyela.

Manda mengangguk pasrah. "Hah? Kok bisa? Kenapa kalian masih diem aja? Kita mesti bilang ke guru, orang tuanya Rissa, sama ke polisi!" seru Hafiz. Ia ikut panik karena bawang putihnya diculik tiba-tiba.

"Masalahnya yang nyulik Rissa itu si Rafa," ucap Nopi.

"Astaghfirullah. Ya Allah berikan kami petunjuk-Mu. Bantu kami menemukan Rissa dan Rafa." Badak, yang belakangan ini jarang bergaul dengan teman sekelas akhirnya ikut berkomentar.

Jadilah mereka membentuk sebuah lingkaran besar, di mana semua anak sekelas berkumpul kecuali Rissa, Rafa, Billy, dan Oman yang masih absen karena sakit gatel-gatel.

"Ada yang udah coba hubungin keduanya?" tanya Ambon.

"Gue barusan telfon Rafa tapi gak diangkat," jawab Agus serius. Ternyata bisa serius juga dia.

"Elo sih yang nelfon. Gue juga ogah ngangkat kalo lo yang nelfon," celetuk Putri.

"Jih! Gue juga ogah kali nelfon elo! Mending nelfon Bang Suho yang jaga gerbang sekolah!" jawab Agus tak mau kalah.

Mereka tetaplah mereka. Bukan mereka kalo gak ada minimal satu bahan yang bisa dibikin ribut.

Bernard berdeham, "Hm, udah bel masuk, kita fokus dulu. Nanti lanjut pas udah jam pulang sebelum kelas tambahan."

Akhirnya mereka menyetujui dan kembali ke tempat duduk masing-masing dengan langkah yang sedikit gontai. Apalagi Arum, ia menatap hampa kursi kosong yang di sebelahnya.

"Ya ampun! Woi ada yang udah ngerjain PR belom?!"

Satu kelas terdiam. Bisa-bisanya mereka lupa mengerjakan tugas Biologi.

Siap-siap dapat hukuman dari Bu Wati yang gak main-main.

(Kalau kalian lupa hukuman Bu Wati, inget bagian si Agus nyanyi sendirian di depan kelas ya).

1 Kelas, 42 Rasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang