bab 6

946 33 14
                                    

Sekian menit berjalan, rumah yang di sebut oleh Bagus tidak juga terlihat. Ana yang mulai kelelahan duduk sebentar di sebuah batu hitam besar. Wanita itu masih enggan untuk melihat ke arah langit, takut melihat pemandangan mengerikan itu. Bagus hanya diam memperhatikannya memijit kaki sendiri.

“Masih jauh lagi rumahmu? Suer aku capek banget,” ucapnya sambil menarik napas perlahan.

“Bagiku ya tidak terlalu jauh. Bagimu yang biasa di kota mungkin akan sangat jauh,” jawabnya memperhatikan Ana dari ujung rambut sampai kaki.

“Bisa mati kelelahan aku kalau begini.”

“Kau pilih mati kelelahan atau mati diterkam mahluk-mahluk di sini?”

“Hah, maksudmu?”

“Sudah, naik saja ke punggungku. Sebentar lagi kau akan lihat sendiri apa yang kuceritakan tadi. Percayalah kalau tidak kupegang kau akan pingsan atau bahkan  mati.” Bagus berjongkok dan menawarkan Ana naik di punggungnya. Baginya membawa wanita itu tidaklah susah.

Ana yang memang tidak punya pilihan lain terpaksa menuruti perintah Bagus. Lagipula ia memang tidak mengetahui sama sekali seluk beluk hutan tempatnya tersesat ini. Entah jenis mahluk apa lagi yang akan dijumpai nanti. Bisa ia rasakan bahu lelaki dengan rambut sebahu ini sangat kokoh dibandingkan Raka. Mungkin karena pekerjaannya sebagai penduduk asli hutan ini yang mau tidak mau membentuk fisiknya jauh lebih kokoh dibanding Raka.

‘Raka, semoga kamu mencariku dan nggak bermaksud sengaja ninggalin aku sendiri di hutan ini.’

Berbekal senter yang ada di kepala Bagus berjalan membelah hutan tanpa rasa canggung atau takut sama sekali. Sesekali lelaki itu berhenti ketika merasakan sesuatu sedang mengintai mereka. Ana yang kelelahan menyandarkan kepalanya di bahu Bagus.

“Ini sudah tengah malam, kau mau lihat pemandangan langka tidak? Yakin hal ini tidak kau jumpai di kota-kota.”

“A-apa, jangan bilang ritual mencari daging dan darah segar lagi.”

“Ya, masih seperti itu tapi tidak sesadis mereka yang mengejarmu. Apa kau tak penasaran?”

“Bisa nggak kita jalan terus aja, nggak usah pedulikan yang lain?”

Bagus tidak menghiraukan permintaan Ana. Lelaki berbadan tinggi besar itu justru menurunkan Ana dari gendongan, mengajaknya bersembunyi di balik pohon besar.

“Sudah, tidak usah takut, ada aku yang menjagamu. Tunggu saja tak lama lagi dia pasti muncul.”

“Dia, siapa?” tanya Ana ketakutan.

Tidak lama setelahnya dari arah lain muncul sesosok tubuh yang dua kali lipat bertubuh besar daripada Bagus. Ana menelan salivanya sendiri, bahkan nyaris berteriak ketika mahluk itu mengeluarkan suara seperti raungan harimau. Beruntung Bagus menutup mulut Ana terlebih dahulu. Senter di atas kepala yang telah ia matikan membantu persembunyian mereka lebih tertutup.

“Jangan berteriak, atau kau mau jadi korban berikutnya?” Ana mengangguk dengan keringat dingin membanjiri pelipis, perlahan Bagus menurunkan telapak tangannya yang menutup mulutnya.

“Mahluk itu mencari apa?”

“Biasanya kepala baru?”

“Hah!” Jerit Ana perlahan. Bagus lalu memberi isyarat telunjuk dibibirnya lagi.

Mahluk dengan geraman suara menyerupai harimau itu melompat ke atas pohon tanpa bantuan apapun. Sejenak kemudian sosok itu turun lagi dengan menggendong tubuh yang terbujur kaku dari pohon tempatnya melompat. Dengan tangan besarnya, mahluk itu memisahkan kepala dan tubuh yang sudah tidak bernyawa itu dengan mudahnya. Tubuh tanpa kepala itu diberikan kepada peliharaannya yang sedari tadi menjulurkan lidahnya menanti majikannya berbelas kasih.

Bermalam Di Hutan Larangan (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang