bab 8

805 36 11
                                    


Tas ransel itu telah diisi penuh dengan perbekalan yang cukup. Begitu juga dengan Ana yang sudah tidak sabar untuk segera keluar dari hutan. Ia melangkah dengan penuh senyuman pada Bagus yang telah menuggunya di tepi telaga. Lelaki itu tidak mengenakan baju, memarkan tubuhnya yang kekar dan berotot. Di lehernya terdapat kalung yang berisi dua buah taring harimau. Pemandangan yang mampu membuat Ana sejenak lupa untuk mengedipkan mata.

“Kita jadi berangkat, kan?”

“Itu tergantung kau saja, mau tinggal di sini selamanya pun tidak masalah.”

“Isss, pokoknya antar aku pulang, aku pasti bayar kamu.”

“Bukan masalah itu. Hanya saja jika kau ragu hutan ini tidak akan menunjukkan jalan pulang, malah akan semakin menyesatkanmu.”

“Aku mau pulang titik. Atau kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku tinggal di kota. Akan kucarikan pekerjaan yang cocok untukmu.”

“Sudah, ayo jalan. Aku tak akan bisa meninggalkan hutan ini. Ada perjanjian yang tidak bisa dilanggar.” Bagus mengenakan baju kaos gelap yang ada di genggamannya.

Sebilah pisau lelaki itu selipkan di pinggang sebelah kanan. Ana yang menemukan pisau lipat kecil di dalam ransel juga melakukan hal yang sama. Berjaga-jaga untuk menghadapi serangan dari binatang buas atau hambatan tumbuhan liar lainnya. Namun, sesungguhnya bukan binatang buas yang harusnya Ana takuti karena ia didampingi oleh manusia harimau yang menjamin keselematannya, melainkan godaan dari alam lain yang bisa membuatnya tersesat.

Tombak sederhana digunakan Bagus untuk menghalau tumbuhan liar yang menutupi pandangan mereka. Ana menuruti setiap langkahnya dari belakang. Wanita itu berjalan sembari mengunyah perbekalan. Tidak mudah baginya yang lebih suka berpetualang dari mall ke mall lalu dipaksakan untuk menjelajahi hutan belantara.

Berkali-kali kakinya tergores lagi oleh duri-duri tajam, belum lagi nyamuk hutan yang seakan tergoda untuk menghisap darah manisnya.
Berulang kali lelaki berambut sebahu itu ingin menggendong Ana di bahunya dan membawanya melompat dengan jangkauan yang luas agar cepat sampai. Kembali nalurinya menolak karena tidak ingin cepat berpisah dengan wanita yang sudah menemaninya selama dua hari ini. Mematung sebentar, dan memindai sekeliling Bagus kembali melanjutkan perjalanan. Tetapi langkahnya terhenti karena kakinya terjerat oleh tali dan membuatnya menggantung dengan posisi terbalik.

Ana yang mundur beberapa langkah segera menjangkau Bagus, mencoba memotong tali yang mengikat kakinya. Sia-sia karena pohon yang menggantung tubuh lelaki itu sangat tinggi. Wajahnya berubah menjadi merah karena menahan aliran darah yang deras ke arah kepala.

“Aku harus apa, Gus?” Ana Panik dan mondar-mandir ke sana kemari.

“Bersikaplah tenang. Kau panik aku juga jadi ikut panik. Ini hanya jerat pemburu yang tertinggal.”

Melihat Ana bersikap tenang walau masih tersisa gurat panik di wajahnya, lelaki itu lalu mengarahkan tangannya ke pisau yang terselip ke arah pinggang. Tubuhnya yang tergantung terbalik ia lekukkan dengan mudah. Tangannya memegang betis dan pisau kecil serta kuku tajamnya memotong tali yang mengikat dengan mudah. Dalam sekejap mata ia sudah mendarat ke tanah dengan posisi lutut dan kedua tangan menyentuh tangan. Kuku kaki dan tangannya tidak terlihat oleh Ana karena terbenam di dalam tanah.

“Wow, kalau kamu tinggal di kota, bisa jadi bodyguard dengan bayaran mahal.”

“Pikiranmu apakah isinya hanya uang dan kesenangan saja?”

“Cobalah tinggal di kota. Pasti kamu gak bakalan mau balik ke hutan ini lagi.”

Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Berkali-kali Ana meminum air perbekalan, berbeda dengan Bagus yang belum minum setetes pun, hal ini menimbulkan tanda tanya di hati wanita itu. Pun dengan Bagus yang tidak menyentuh buah-buahan yang dibawa. Ia ingin bertanya tapi takut menghadapi kenyataan andai kata lelaki di hadapannya ini bukan orang sungguhan. Memilih memendam rasa penasaran Ana hanya menuruti kemana Bagus melangkah.

Bermalam Di Hutan Larangan (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang